Oleh : Robert Bala
“𝑩𝒂𝒑𝒂, 𝒕𝒊𝒂𝒑 𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏 𝒑𝒖𝒍𝒂𝒏𝒈 𝒌𝒂𝒎𝒑𝒖𝒏𝒈, 𝒂𝒑𝒂𝒌𝒂𝒉 𝒑𝒖𝒏𝒚𝒂 𝒎𝒊𝒏𝒂𝒕 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒋𝒂𝒅𝒊 𝑫𝑷𝑹𝑫 𝒌𝒐”, demikian tidak hanya sekali tetapi beberapa kali saya dengar pertanyaan itu. Ada yang malah menempatkan saya lebih tinggi lagi menjadi calon apa lagi. Saya dengar sambil senyum-senyum saja.
“𝓣𝓲𝓭𝓪𝓴 𝓶𝓾𝓷𝓰𝓴𝓲𝓷 𝓽𝓲𝓪𝓹 𝓽𝓪𝓱𝓾𝓷 𝓹𝓾𝓵𝓪𝓷𝓰 𝓴𝓪𝓵𝓪𝓾 𝓽𝓲𝓭𝓪𝓴 𝓹𝓾𝓷𝔂𝓪 𝓶𝓲𝓷𝓪𝓽 𝓪𝓹𝓪-𝓪𝓹𝓪”, demikian mereka semakin berani malah sudah menjawab sendiri pertanyaan yang mereka tanyakan. Terhadap tuduhan itu saya pun tetap diam saja. Terserahlah mau bilang apa, saya tetap ‘no comment’ alias tidak mau memberi komentar.
Karena tidak menjawab, mereka sendiri yang malah coba menerangkan kepada saya sebagai tertuduh: “𝐴𝑑𝑎 𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙 𝑑𝑖 𝐽𝑎𝑘𝑎𝑟𝑡𝑎. 𝑆𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑚𝑖𝑙𝑢 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎 𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒 𝑘𝑎𝑚𝑝𝑢𝑛𝑔 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑐𝑎𝑙𝑒𝑔. 𝑀𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎 𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡 𝑠𝑢𝑎𝑟𝑎 𝑠𝑒𝑑𝑖𝑘𝑖𝑡 𝑑𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑖𝑡𝑢 𝑝𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔. 𝑃𝑖𝑙𝑘𝑎𝑑𝑎 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑝𝑖𝑙𝑒𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑢𝑡𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎 𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑎𝑔𝑖 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑐𝑜𝑏𝑎 𝑙𝑎𝑔𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑔𝑎𝑔𝑎𝑙 𝑙𝑎𝑔𝑖. 𝐽𝑎𝑑𝑖 𝐵𝑎𝑝𝑎 𝑝𝑎𝑠𝑡𝑖 𝑚𝑎𝑢 𝑐𝑎𝑙𝑒𝑔 𝑗𝑢𝑔𝑎”, demikian sambung mereka.
Saya juga masih terus memilih diam. Saya hanya senyum dan membuat mereka makin penasaran. Dan bukannya mereka diam. Malah mereka semakin menjadi-jadi: “𝑲𝒂𝒎𝒊 𝒚𝒂𝒌𝒊𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒃𝒂𝒑𝒂 𝒂𝒅𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒂𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒊𝒏𝒊…. 𝑺𝒐𝒂𝒍𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒆𝒃𝒆𝒓𝒂𝒑𝒂 𝒕𝒖𝒍𝒊𝒔𝒂𝒏 𝑩𝒂𝒑𝒂 𝒌𝒆𝒍𝒊𝒉𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒎𝒆𝒏𝒅𝒖𝒌𝒖𝒏𝒈 𝒚𝒂”, demikian alasan mereka.
Saya diam saja. Saya heran dengan pendapat mereka. Saya tidak tahu apakah mereka membaca semua tulisan saya atau hanya membaca satu tulisan lalu ambil kesimpulan seperti itu? Seingat saya, saya menulis untuk banyak orang yang saya anggap baik dan pantas menjadi pemimpin. Karena itu seingat saya tidak pernah ada orang khusus yang saya utamakan sambil mencelah orang lain.
Tapi terhadap pendapat mereka saya pun tidak berani menjelaskan. Saya yakin mereka hanya membaca satu tulisan lalu mencari kesimpulan bahwa semua tulisan yang lainnya juga seperti itu. Tetapi untuk apa menjawabnya? Saya lebih baik memilih diam.
Nanti kita lihat…
Mendekati pilkada dan pileg seperti ini memang rasa curiga itu begitu mencuat. Ada banyak orang yang ‘biasa-biasa saja’ selama 4 tahun sebelumnya. Tetapi di tahun kelima mendekati pileg dan pilkada, tiba-tiba mereka menjadi ‘sok akrab’. Mereka gemar menghadiri acara-acara, berikan sumbangan atau malah mengkampanyaken dirinya.
Terhadap hal ini, orang sekampung ku tidak ‘bego-bego amat’. Mereka tidak menolak tetapi balik menyindir tingkat tinggi: “Ada eh…”. Tidak tahu apa yang dimaksud dengan ‘ada’. Hanya si caleg dan orang kampung itu yang paham. Kalau mereka tertawa maka itu tanda bahwa antara mereka sudah ada sintonia untuk mengartikan ungkapan lepas itu.
Kalau boleh merasa, sebenarnya orang kampung dengan pengetahuan terbatas itu ingin bertanya: “mengapa gas gere’ semakin kuat mendekati pileg atau pilkada? Tentu saja ada maunya. “Ku tahu yang kau mau”.
Terhadap hal ini sebenarnya tidak boleh berlebihan untuk menolak. Ada yang belum bisa melakukan sesuatu selama 4 tahun karena memang tidak diberi kesempatan. Tetapi yang dimaksud, apakah hal kecil bisa dilakukan sehingga orang tahu bahwa ‘si caleg’ ini punya keprihatinan? Saya kira itu yang dimaksudkan. Tidak usah terlalu besar tetapi dalam level kecil.
Kalau di kampung, mulailah dengan tetangga untuk jadi ‘rukun tetangga’. Lalu ke tingkat yang lebih luas. Ada kegiatan apapun selalu hadir. Tetapi kalau hal kecil itu hanya begitu lalu apa yang diharapkan untuk hal yang besar? Apakah yang besar itu mungkin? Ya, yang kecil saja tidak bisa, apalagi.
Kalau caleg yang seperti ini sebenarnya tidak usah ‘maju’. Tetapi kalau ‘nekad’ untuk maju juga juga tidak apa-apa. Hasilnya sudah bisa diprediksi umum dan biasanya tidak meleset: “Ya kalah”. Tetapi bisa saja punya prediksi lain, misal para peramal atau dukun juga bisa-bisa saja sih. Nanti baru kita lihat (kata orang buta yang tidak pernah lihat). “Let’s see”… “Buta e ka…”.
Kembali kepada pertanyaan di awal tulisan ini. Sebenarnya jawaban sederhana saja.
Pertama, kalau lihat orang yang tidak buat apa-apa seperti saya, maka sebenarnya jawaban sudah ada. Kalau baru mendekati pileg dan pilkada mau pulang seperti saya (padahal sebelumnya tidak pernah pulang) maka kalau paksa diri boleh-boleh saja. Tetapi logisnya, jangan paksa diri. Apalagi bagi yang sudah pernah pulang dan ‘tes’ satu dua kali caleg dan tidak lolos, sebenarnya ‘cukup sudah’.
Jadi kalau saya tidak pernah buat apa-apa lalu mengapa paksa diri? Mengapa promosi diri sana-sini padahal tahu bahwa dari diri sendiri tidak pernah berbuat sekecil apapun untuk kampung halaman?
Kedua, bagi orang setipe saya yang mau jadi caleg, sebenarnya pertanyaan lain yang sangat perlu adalah: apakah perlu pulang untuk jadi caleg?
Dengan pulang berarti saya ikut berebut peluang dengan mereka yang selama ini tinggal di kampung dan lebih pantas untuk jadi caleg. Sedikit banyaknya mereka sudah berbuat.
Mereka yang lebih pantas mendapatkan tempat. Sementara saya yang dari ‘sina jawa’, ada kemungkinan cepat dipercaya (karena jago mengibuli). Saya dapat kursi ‘horee….’.
Orang kampung akan terpesona dan akhirnya pilih saya yang bisa saja ‘jago di sana’, tetapi ketika terpilih ternyata lebih jelek dari mereka yang lain. Jadi seharusnya dari dalam diri saya ada ‘rem’ untuk mengatkaan, yang jadi caleg kali ini kalau boleh mereka yang sudah tinggal lama di sana. Saya bisa saja telah membuat KTP agar berpenduduk di sana, tetapi itu hanya sekadar tipu muslihat.
Jadi, apakah saya harus jadi caleg? Jawaban saya (dan mereka yang mau adu nasib). “Berhenti sudah ma”. Kasih dorang saja karena mereka lebih pantas. Saya bisa berjuang dari sini dan dengan posisi saya yang sekarang bisa bantu (kalau memungkinkan). Kalau tidak ya, minimal doa saja sambil kirim pulsa seadanya bagi yang minta untuk bisa VC lalu kita lucu-lucu saja karena hidup ini memang lucu, selucu mereka yang baru dekat pileg pulang kampung. Lucu toh?
Ya kita perlu lucu-lucu saja karena artis Edward Langley pernah mengatakan hal ini: What this country needs are more unemployed politicians (Yang dibutuhkan negara ini adalah lebih banyak politisi yang menganggur). Jadi jangan pulang untuk tambah pengangguran di sana. Cukup berhenti berlucu-lucu saja. Edward Langley, Artist(RB. 9/5/2023)
Robert Bala (Alumnus Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Fakultas Ilmu Politik Universidad Complutense de Madrid Spanyol)