Oleh : Marselus Molan,S,Sos
Saat merayakan International Coruption Day tangggal 9 Desember 2019 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempublikasikan para kepala daerah di Indonesia yang terjaring dalam kasus korupsi.
Dilihat dari profilnya, kepala daerah lulusan sarjana (S1) yang terjerat kasus korupsi paling banyak yakni berjumlah 50 orang (42,6 persen). Adapun, kepala daerah jebolan magister (S2) yang terjerat ada 49 orang (41,9 persen), dan 14 orang (12 persen) yang merupakan lulusan doktor (S3). Sementara, mereka yang lulusan SMA ada 2 orang (1,7 persen, serta Akabri dan Akmil masing-masing 1 orang (0,9 persen). Data ini versi analisa yang dilakukan Litbang Kompas berdasarkan data KPK dari 121 kasus dan dari jumlah itu ada 117 kepala daerah yang diproses).
Dari data ini kita bisa berasumsi bahwa semakin banyak pengetahuan yang didapat melalui pendidikan tidak menjamin siapapun untuk tidak melawan hukum maupun moral.
Maraknya kasus korupsi sili berganti sebagaimana ditayangkan di media audio visual dan media cetak dari waktu ke waktu, seakan memberi kesan bahwa bangsa Indonesia tidak pernah akan keluar dari permasalahan korupsi jika tidak diupayakan langkah-langka strategis untuk memutuskan mata rantai korupsi pada satu generasi.
Disatu sisi korupsi terus ada dengan angka bernilai miliaran rupiah yang dilakoni oleh para petinggi negara dan daerah yang nota bene memiliki segalanya, di sisi lain ribuan masyarakat miskin sedang susah mmpertahankan hidup dan keluarganya sesuai situasi dan kondisi hidupnya masing-masing. Dalam bahasa medis para koruptor seolah-olah menderita Schizophrenia sehingga mereka tidak dapat membedakan yang benar dan yang salah, yang halal dan yang haram, yang baik dan yang jahat. Kenyataan ini membutuhkan keberanian berpikir (savere aude) dalam menyikapi dan mengembalikan cita cita luhur reformasi. Rakyat Indonesia saat ini menggantungkan harapan pada Lembaga Komisi Peberantasan Koprupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang diharapkan dapat bkerja secara profesional, intensif dan koverhensif.
Mengapa Terjadinya Korupsi ?
J. Kokoh Prihatanto seorang rohaniwan katolik dalam bukunya M.A.P . 2007.416) melukiskan secara makro tiga causa prima korupsi di Indonesia. Pertama, mengabaikan konflik kepentingan dimana tidak adanya pemisahan yang tegas antara Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Hal ini nampak dari maraknya kompromi politik. Tidak heran jika suatu kasus korupsi mencuak kepermukaan dan ketahuan pelakunya, akan melibatkan oknum diberbagai institusi dan lembaga negara lainnya. Kedua, tidak efektifnya pengawasan terhadap pemerintah pusat maupun daerah oleh lembaga legislatif. Malahan yang terjadi adalah perluasan jaringan korupsi.
Memakai istilah Hannah Arendt (Human Condition 128) para Eksekutif dan Legislatif masih bermental Animal Laborans, mereka memanfaatkan politik sebagai mata pencaharian. Tidak mustahil jika seorang menteri negara bisa meminta fulus proyek dari pihak ketiga bernilai Miliaran rupiah. Ketiga, Pengambilan keputusan politik publik tidak hanya dilakukan oleh pejabat yang berwenang tetapi juga oleh pemilik modal.
Inilah gejala yang disebut State Capture dimana kapasitas legitimasi badan publik menjadi tawanan para pemilik modal. Tidak heran permasalahaan korupsi begitu mengurat akar di Indonesia. Selain aspek fungsi kelembagaan negara sebagai mana disebutkan Rohanwan Katolik J.Kokoh Prihatanto di atas, faktor rendahnya motivasi dan kecintaan terhadap negara, rendanya kesadaran akan keluhuran tugas dan pengabdian, tingginya rasa egoisme dan materialisme dari individu yang bersangkutan, telah menjadi penyebab tingginya korupsi di Indonesia.
J.Kokoh Prihatanto juga menuliskan pemikiran Paul Ricoeur, yang menyebutkan hal ini sebagai tindakan kejahatan kriminal. Para koruptor kerap disebut sebagai white collar crime adalah sama dengan penjahat kriminal. Implikasinya mereka harus bisa di adili dan menerima hukuman ( Retribusi) atau harus membayar ganti rugi (restitusi).
Disinilah mutlak suatu institusi hukum menjadi legitim dan bebas dominasi karena hukum dibuat untuk melindungi yang lemah dan memperkuat institusi untuk mendapatkan keadilan.(Kokoh Prihatanto.M.A.P.417) Hal ini berbanding terbalik dengan hukum Indonesia, pencuri sendal jepit bisa dihukum sesuai aturan yang berlaku sedangkan koruptor yang menghabiskan ratusan miliaran rupiah diproses dengan proses hukum yang berbelit-belit dan bisa bebas atau menjalani hukuman namun diperlakukan berbeda.
Dalam menghadapi situasi ini masyarakat kecil, dunia pendidikan, generasi muda dan ruang publik penting untuk berjuang melawan korupsi. Karena korupsi apapun bentuknya merupakan pengkihanatan terhadap kepercayaan, penyalahgunaan wewenang, mengabaikan rasa tanggung jawab yang diberikan negara, dan merusak sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia.
Berani berpikir melawan korupsi!
Sapere Aude !!! berani berpikir. Seruan cicero ini menggema keras di dataran eropa abad ke -18. Ketika itu dunia eropa memasuki gerbang pencerahan. Seruhan ini hendak menggaris bawahi mentalitas zaman yang berlomba menyatakan razio sebagai cahaya yang menepis segala kegelapan ilusi.
Jika seruan pada saat itu bernilai pencerahan, memotivasi untuk mencapai kemajuan, maka seruan sapere aude( berani berpikir) saat ini justru relevan untuk menantang kejahatan, korupsi, kolusi dan nepotisme yag terus tumbuh dan berkembang. Berpikir itu sendiri adalah sebuah action. Dan sepakat dengan Heidegger, (Kokoh Prihatanto. M.A.P 417) bahwa tindakan, sungguh membutuhkan pemikiran. Dengan berpikir kita berdialog yang khusuk antara saya dan diri saya sendiri.
Aktivitas berpikir juga merupakan refleksi antara pengalaman hidup dengan lingkungan sosial ditengah masyarakat kita. Dengan semakin banyak pihak yang peduli untuk berpikir maka akan tumbuh kesadaran untuk melawan korupsi. Mminjam pemikiran Rosemary Ruehter bahwa, saatnya berpikir realitas. Ibarat suatu tarian, suatu bagian yang digerakan setara vitalnya pada keseluruhan. Pada hakekatnya persoalan politik negara dalam pemikiran Ruehter tidak berjalan dalam model kompetitif linear yang mana di atas terus berjuang maju dengan mengalahkan dan menekan yang ada dibawahnya.
Para penguasa dan pemegang kekuasaan cenderung mempraktekkan hal ini yang berakibat tingginya kesenjangan dan pemisahan yang jauh bagi kaum marjinal.
Memutus matarantai Korupsi di Indonesia
Mencermati berbagai macam persoalan korupsi, maka menjadi pertanyaan bagi kita, adalah sampai kapankah generasi kita akan lahir, hidup, bekerja bebas dari korupsi ? Inilah saatnya berani berpikir (sapere aude) melawan korupsi. Berikut ini beberapa pemikiran sederhana penulis sebagai bentuk refleksi sekaligus keberanian untuk berpikir melawan korupsi yang selalu ada sebagai berikut ; pertama, Mengkampanyekan gerakan mencintai Indonesia (Aku Cinta Indonesia) secara terus menerus dan berkesinambungan.
Ini merupakan salah satu gerakan moral bagi setiap individu, lembaga pemerintah, dunia pendidikan dan masyarakat umum untuk memandang Indonesia dengan sepenuh hati dan mencintai. Penulis kontemporer Inggris Iris Murdoch dalam bukunya The Sovereignty of Good, menekankan pentingnya memandang seseorang/ sesuatu atau situasi sosial penuh perhatian.
Dengan perhatian dan mencintai seseorang akan mencapai pengertian yang sungguh dan ia tahu bagaimana harus bersikap. Hal ini terjadi karena jiwa selalu terarah pada hati : “idea yang baik”.
( kokoh Prihatanto.M.A.P. 36) Jika saja semua kita bisa memiliki idea yang baik tentang ke Indonsiaan kita masalah korupsi bisa diatasi.
Kedua, Masalah korupsi perlu diajarkan lembaga pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Dick Hartoko (“Memanusiakan Manusia Muda”) menuliskan, gambaran manusia ideal dirumuskan dengan “kalos kagatos” (indah dan berbudi luhur). Nilai pokok pendidikan adalah kemanusiaan paripurna yang secara seimbang mengembangkan cipta,rasa dan karsa. Dalam dunia pendidikan akan tertanam nilai-nilai luhur dan mereka terus berkembang sebagai masyarakat kecil.
Di sini korupsi disosialisasikan kepada masyarakat kecil itu. Jika dari kecil mereka tahu bahwa korupsi sebagai tindakan kejahatan dan bertentangan dengan nilai-nilai luhur dan budaya kita maka mereka akan berusaha menghindarinya. Menjadi tantangan bagi kita adalah peralihan tingka laku (behafioral) setelah berada diluar lembaga pendidikan. Sekedar contoh, seorang mahasiswa yang giat berdemonstrasi dan berorasi melawan korupsi saat berada di bangku kulia, bisa saja menjadi koruptor setelah masuk dalam dunia kerja. Secara faktual korupsi hanya dilakoni orang penting dan nota bene berpendidikan tinggi sebagaimana disajikan data diawal tulisan ini. Dari sini bangsa Indonesia tidak saja kehilangan uang tapi bangsa ini telah kehilangan, kesadaran, motivasi dan dedikasi untuk bangsa dan negaranya.
Ketiga, Tegaknya supremasi hukum di Indonessia. Dalam persoalan ini hukum harus benar-benar di tegakkan dan tidak ada seseorangpun kebal hukum. Siapapun yang melanggar hukum apalagi melakukan kerugian bagi negara harus ditindak sesuai hukum yang berlaku agar menimbulkan efek jerah.
Pada akhirnya kita sadar bahwa ditengah kesibukan kita kesana dan kemari (mobilitas) dalam memeprtahankan hidup kita masing-masing diantara orang orang yang mungkin saja tidak kita kenali (aninimitas) kita patut bersyukur bahwa kita dapat menemukan diri kita sendiri. Seorang pelawak kawakan Inggris Charlay Chaphin pernah berkata, hari dimana kita tidak tertawa dan gembira adalah hari yang hilang. Olehnya mari kita berani berpikir agar generasi kita dapat menemukan hari esoknya dengan gembira karena mereka tidak ingin tahu bahwa mereka sedang ada di negeri nya yang penuh koruptor.
(Penulis ASN Tinggal di Lewoleba NTT, Sumber : Mimbar,Altar,Pasar; J.Kokoh Prihatanto, 2007)