Oleh Valery Kopong
Beberapa waktu lalu, di tengah terpaan wabah virus corona, Menteri Hukum dan HAM Yasonamembuat kebijakan untuk membebaskan para narapina dari tahanan (penjara). Kebijakan inimembawa angin segar pembebasan bagi ribuan narapidana untuk boleh menghirup kebebasanyang selama ini dirindukan di balik jeruji besi.
Sebagai ungkapan syukur, banyak di antaranarapidana yang bebas harus bersujud syukur di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang selamaini mengurung diri mereka. Di mata ribuan narapidana yang bebas, Menkumham merupakanpahlawan pembebas dan tentunya karena alasan corona.
Memang corona mengubah dansekaligus memporak-porandakan situasi hidup manusia. Tetapi di balik itu semua, coronamengubah cara kerja dan cara berdoa manusia dari jarak jauh, dengan bantuan media. Di balik jeruji besi, para tahanan yang selama bertahun-tahun harus mendekam dan hal inimemungkinkan mereka untuk memandang hidup sebagai sesuatu yang sia-sia.
Hidup tak memiliki makna lagi karena di mata orang-orang dekat, mereka dianggap sebagai “limbahmasyarakat” yang perlu disingkirkan dan tempat penyinggiran yang paling pas adalah Lapas. Setiap kali mengunjungi para tahanan dan mendengarkan kisah hidup, seolah-olah merekaberada pada titik nadir dalam kehidupan ini.
Karena itu memandang hidup yang lebih baik kedepan di balik jeruji besi, sepertinya terbentur pada jalan buntu, Pengalaman keterpurukan hidupseperti dialami oleh para narapida, seakan disambar oleh “kemilau harapan” dengan kebijakanMenkumham. Mereka yang dulunya terpuruk hidupnya dan hari-hari hidup seakan berada dalam“tempurung,” kini mengalami suka cita.
Dengan alasan virus yang mematikan ini maka merekadibebaskan agar bisa mengalami suka cita baru bersama orang-orang tercinta. Memahami peristiwa hidup yang dialami oleh para narapidana yang dibebaskan ini, menjadipintu masuk untuk memahami situasi yang dialami oleh para murid Yesus setelah kematian-Nyadi kayu salib.
Murid-murid mengalami kehilangan harapan karena tidak dapat lagi ditopang olehtokoh iman, Yesus Kristus. Kematian melumpuhkan iman dan harapan para murid yang beberapatahun hidup dan berada bersama dengan Yesus. Kisah dua murid dalam perjalanan ke Emausadalah gambaran mereka yang sedang berjalan pulang ke kampung karena kehilangan ketokohan seorang Yesus yang harus menjalani sengsara dan mati di palang hina.
Para muridyang berada dalam ruang tertutup setelah kematian Yesus, mesti beralienasi diri dari keramaiandan memandang salib sebagai “tonggak kerapuhan” iman dan melunturkan sebuah kepercayaanpublik akan Yesus yang selama ini berjaya dengan sabda dan tindakan nyata dengan melakukanmukjizat. Kematian Yesus tidak dipahami secara utuh oleh murid-murid Yesus.
Tiga hari Ia terbaringdalam kubur setelah melawati jalan kesengsaraan. Kematian Yesus juga menunjukkan ketaatan-Nya akan Allah dan membiarkan kematian itu dalam rencana Allah. Yesus melihat kematian inidengan mata Allah, dan karena kehendak Allah, maut dikalahkan dengan kebangkitan Putera-Nya.
Penderitaan yang dialami oleh Yesus menjadi bentuk “perlawanan dalam diam” agarkehendak Allah bisa terlaksana dalam diri-Nya. Dalam diam, Yesus tahu, kapan penderitaan itumencapai puncak di Golgota dan kematian-Nya di atas kayu salib sebagai bentuk pertanggung-jawaban terhadap Bapa dan kecintaan-Nya terhadap manusia.
Kekosongan kubur Yesus menggambarkan gerak kebangkitan Yesus dan diperkuat denganpenampakan diri-Nya kepada dua orang murid dalam perjalanan ke Emaus. Kebangkitan Yesusmembawa suka cita baru bagi para murid yang sebelumnya berada dalam “ruang tertutup,” ataumeminjam bahasa yang lagi trend, “lockdown” dan mengalami kelumpuhan iman, namun mulaibangkit kembali setelah melihat dan mengalami peristiwa penampakan Yesus.
Kebangkitan telahmengubah titik lesu menuju titik harapan. Petrus yang sebelumnya turut mendekam dalam ruangtertutup, harus beralih keluar dan mewartakan Kristus yang bangkit bahkan bisa menyembuhkanorang lumpuh. Pengalaman pembebasan dalam dua peristiwa yang berbeda ini memberi dampak yang berbeda.
Para narapidana harus mengalami suka cita pembebasan karena tekanan kondisi mewabahnyacorona yang sangat mematikan itu. Mereka beralih dari keterpurukan hidup dalam jeruji besi danboleh mengalami “hidup baru” bersama keluarga. Yesus juga membebaskan manusia darilembah dosa dengan cara paling tragis, menderita dan wafat di kayu salib.
Pesan kebangkitanYesus pada peristiwa Paskah menjadi “kata kunci” bagi setiap pengikut-Nya untuk berbuatsesuatu untuk membebaskan mereka yang tertindas. Bersama Petrus kita berani berkata: “Emasdan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu. . .” Dalam situasi di mana virus corona masih mewabah dan kita “dirumahkan,” membawa dampak terpuruk bagidunia kerja.
Banyak pekerja pabrik harus kehilangan pekerjaan karena pabriknya terpaksa tutup.Ada tangis dan harapan seakan memadu dalam situasi ini. Anggota keluarga terpaksa menangiskarena tidak lagi mampu menyambung hidup karena terjadi PHK tetapi pada saat yang sama,berdiam diri di rumah mendorong kita untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona.
Dalam kondisi tapal batas ini kita perlu membantu mereka yang kekurangan dan menyebarkan“virus kebaikan” bagi mereka yang sedang berjuang melawan virus yang mematikan ini. Di balikbadai corona ini, Tuhan pasti punya rencana sendiri untuk manusia dan dunia.***
(Penulis merupakan Alumnus STFK Ledalero, kini bekerja pada Kantor Kementarian Agama Kabupaten Tangerang)