- Tak Ada Lagi Ratapan dari Timur . Adalah Gisela, perempuan berkebangsaan Jerman itu selalu prihatin ketika melihat orang-orang di sekitarnya yang menderita penyakit lepra (kusta). Dalam konteks biblis dan pandangan lama melihat bahwa seseorang yang terkena penyakit kusta adalah orang-orang yang sedang mendapat kutukan dari Allah. Sebuah pandangan yang diskriminatif dan konsep ini bertahan lama, apalagi waktu itu para agamawan melihat penyakit itu sebagai bagian dari kutukan Tuhan maka masyarakat umum yang awam terhadap tafsir kitab suci semakin meyakini apa yang dikatakan oleh ahli-ahli Taurat. Dikisahkan juga dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, bagaimana Sang Tabib mentahirkan sepuluh orang kusta. Mereka menjadi sembuh dan hanya satu orang saja yang datang mengucapkan terima kasih pada Sang Tabib. Konsep penyakit yang merupakan kutukan dari Allah, perlahan tersibak oleh sentuhan tangan Ilahi lewat tangan Sang Tabib. Lambat laun, ketika modernisasi semakin berpengaruh terutama ilmu kedokteran, menemukan obat sebagai penawar kesembuhan bagi para penderita. Penemuan obat yang bisa menawarkan kesembuhan seakan membawa angin segar bagi para penderita kusta. Tidak hanya sang kusta, tetapi para dokter pun mulai bermunculan untuk belajar bagaimana menangani para penderita kusta. Gisela adalah sosok pejuang kemanusiaan yang dengan gigih merawat mereka yang terluka karena penyakit kusta. Gisela berkebangsaan Jerman itu harus meninggalkan tanah airnya untuk mencari mereka yang terluka. Panggilan luhur ini dijalani dengan tulus penuh makna hingga menyadarkan orang-orang kusta bahwa mereka masih memiliki martabat sebagai manusia, walapun sebagian anggota tubuh mereka putus karena digerogoti oleh penyakit yang ganas itu. Kesadaran Gisela terasah secara baik ketika ia masih duduk di bangku sekolah, dan hampir setiap saat selalu menyempatkan diri untuk membaca riwayat hidup Santo Damian, seorang imam Katolik yang pada akhirnya memutuskan diri dan hidup bersama dengan para penderita kusta di pulau pembuangan, Molokai. Molokai dijadikan sebagai tempat pembuangan manusia-manusia yang terkena kusta. Di mata kebanyakan orang, para penderita kusta adalah mereka yang mendapat kutukan dari Allah karena itu perlu disingkirkan dari ruang pergaulan umum. Bacaan mengenai riwayat kehidupan seorang Damian, memberikan sebuah inspirasi bagi seorang Gisela untuk memulai sebuah pergerakan untuk mendampingi dan menyelamatkan orang-orang yang terkena kusta. Waktu itu, di Pulau Lomblen (Lembata), sebuah pulau kecil di ujung timur Flores Timur, begitu banyak orang yang menderita sakit kusta yang tidak tertangani secara baik. Kabar penderitaan itu dia dengar dari Issabella, seorang perempuan asal Flores yang waktu itu sedang belajar pendidikan kesehatan di Jerman. Perkenalan mereka dan cerita tentang penyakit kusta menjadi sebuah perbincangan hangat di antara mereka. Selepas sekolah, Issabella kembali ke Indonesia dan disusul oleh Gisela, perempuan berkebangsaan Jerman itu. Puluhan tahun lalu, ia menumpangi kapal laut dari Jerman menuju Surabaya dan pada akhirnya berujung di pulau Lomblen (Lembata), sebuah pulau di ujung timur pulau Flores. Misi kemanusiaan yang diemban oleh Gisela merupakan misi keberpihakkan pada mereka yang sakit dan terlantar. Kehadirannya membawa angin segar bagi para penderita kusta. Mereka (para kusta) yang sebelumnya mengalami peristiwa pembuangan yang dilakukan oleh keluarga, seolah menemukan teman baru yang menemaninya dalam mengarungi hari-hari penderitaan. Pada awalnya mereka membuka klinik sederhana yang terbuat dari bambu. Di klinik dengan nuansa kesederhanaan itu mereka belajar untuk memahami para kusta dan memberikan pertolongan. Mereka tidak hanya memberikan obat dan suntikan pada para kusta tetapi lebih dari itu, memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa penyakit kusta bukanlah penyakit kutukan dari Allah dan penyakit itu bisa disembuhkan. Mengapa Gisela berkampanye keliling ke desa-desa? Tujuan sederhana agar keluarga yang terkena kusta tidak lalu dikorbankan bahkan diasingkan dari keluarga. Hari demi hari para penyandang penyakit kusta membawa luka-luka dan memperlihatkan diri pada Gisela yang adalah seorang dokter. Karena pelayanan baik dan merasa dihargai atau dimanusiakan kembali maka kebanyakan mereka yang setelah berobat malah meminta untuk menetap di klinik yang sederhana itu. Gisela, karena luka para kusta, berani meninggalkan benua Eropa untuk berlayar menuju pantai perindu, Lomblen, untuk menjamah orang-orang kusta. Kini, klinik sederhana itu berkembang menjadi sebuah Rumah Sakit Kusta Santo Damian. Kita belajar dari Gisela untuk melampaui diri dan berjumpa dengan mereka yang sakit dan terpinggirkan. Tak ada lagi ratapan dari timur karena sentuhan tangan seorang Gisela dan Isabella.*** (Valery Kopong)
Kemarau dan Kehidupan di Tanah Tandus Ile Boleng
Oleh: Stanis Ola WARTA-NUSANTARA.COM--Ile Boleng, sebuah negeri di bawah naungan gunung Ile Boleng, kini bernafas dengan udara kering kemarau yang...
Read more