ADVERTISEMENT
google.com, pub-9566902757249236, DIRECT, f08c47fec0942fa0

“Adakah Sesuatu Yang Baik Datang Dari Gelong?”

RelatedPosts

  • elong, sebuah desa di Adonara Timur yang terletak pada ketinggian bukit,tempat sang mentari pertama kali menyapanya dengan sinar kelembutan.Gelong, barangkali kampung yang jauh dari jangkuan sinyal dan mungkinjuga jauh dari pantauan orang-orang sekitar. Tetapi karena letaknya beradadi ketinggian, Gelong selalu menampakkan diri pada ribuan mata yangmemandang ke atas perbukitan itu. “Adakah sesuatu yang baik datang dariGelong?” Pertanyaan ini sebenarnya merupakan pertanyaan pelesetan dariteks Injil. “Adakah sesuatu yang baik datang dari Nazareth? Pertanyaan inisengaja penulis pelesetkan dengan sebuah tujuan, yakni bahwa Gelong yangselama ini tidak masuk dalam sebuah hitungan kemajuan desa tetapi saat inisedang “mendandani diri” untuk menyongsong sebuah perubahan. Penulistidak mensejajarkan Gelong dengan Nazareth. Tetapi yang perlu ditarikbenang merah adalah bahwa dari Nazareth bisa melahirkan seorangpenyelamat dan Gelong mulai belajar untuk bertindak protektif danmenyelamatkan warga-warga, yang tidak hanya bernaung di bawah kepakkampung tetapi juga yang kini sedang berjuang mencari ilmu di kota-kotabesar. Gelong, tidak hanya sekedar berdandan dan memamerkan dandanannya kehadapan publik tetapi lebih dari itu, mereka sedang memikirkan orang-orangdi luar kampung. Bagaimana nasib anak lewo tanah yang kini berjuangmelalui jalur pendidikan, terutama di Kupang? Ini pertanyaan penting yanglahir dari lubuk nurani seorang Frans Soge Malen, Kepala Desa Gelong yangsedang berjuang untuk memulangkan sebagian besar mahasiswa asal DesaGelong, yang sedang studi di Kupang. Kepala Desa Gelong, tidak hanyamemikirkan bagaimana mengkarantikan kampungnya tetapi lebih dari itumemikirkan keselamatan anak-anak muda yang sedang menempuhpendidikan. Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan bahwa beberapa mahasiswadipulangkan melalui jalur udara. Mahasiswa yang diizinkan pulang kekampung halaman adalah mereka yang merasa diri sehat agar bisa lolosdalam pemeriksaan pihak bandara. Kesehatan yang baik menjadi kunciutama kepulangan mereka ke kampung halaman. Selain itu mereka dimintauntuk mematuhi peraturan pemerintah dan bersedia untukmengkarantinakan dirinya di dalam rumah selama 14 hari. Tindakanmemulangkan anak-anak muda (Mahasiswa) merupakan tindakankemanusiaan atas dasar dorongan nurani yang luhur. Bahwa selama
  • merebaknya pendemi corona, hampir setiap kampung dan desa, baik aparatdesa maupun orang-orang kampung seolah-olah menggaungkankebersamaan untuk menolak kedatangan orang-orang dari luar. Hal ini berbeda dengan keramahan kepala Desa Gelong, Frans Soge Malen.Barangkali nurani Frans Soge Malen telah melumat koda kirin, “Lewo nabesoron lodo, tanah nabe tapin balik.” Ungkapan bernada sastrawi inimembahasakan secara sederhana bahwa Lewo Tanah (kampung halaman)selama ini merestui anak-anak untuk pergi merantau sambil mengenyampendidikan dan pada saat ketika mereka mengalami kesulitan maka Lewotanah harus membuka diri, dan “tapin balik” (menerima kembali) anak-anakyang dilahirkannya. Ketulusan masyarakat Desa Gelong dan tentunya dimotori oleh Frans Sogemerupakan “Rahim semesta” yang berani merangkul mereka menjangkauirahim sang ibu. Dari pantauan penulis bahwa ada dua gelombangpemulangan mahasiswa dari Kupang. Ketika tiba di Larantuka, berkatkoordinasi dengan Petrus Sanga yang kini bekerja pada dinas perhubungan,karena itu anak-anak mahasiswa langsung diantar kapal menuju Tobilota. Dibibir pantai Tobilota, beberapa aparat Desa Gelong dan team kesehatansudah menyediakan pick up untuk menjemput mereka menuju kampung. Tindakan ini juga memperlihatkan bahwa revolusi mental yang menjadiperhatian pemerintahan ini semakin jelas terlihat. Bahwa revolusi mentalyang didengungkan selama ini tidak perlu dimaknai sebagai revolusi secarabesar-besaran tetapi untuk menuju ke sebuah titik puncak revolusi, mestinyabermula pada tindakan yang kecil. Sebuah adagium Latin yang mengatakanbahwa setitik air bisa melubangi batu, bukan dengan kekuatan tetapi denganjatuh setetes demi setetes (Gutta Cavat lapidem, non vi sed saepecadendo). Ungkapan ini mau membahasakan bahwa program revolusimental boleh bergema secara global tetapi harus ditempuh dengan hal kecildan dilakukan berulang-ulang kali. Gaung revolusi mental4 menjadi gemaakbar saja ketika kita belum memperlihatkan tindakan kecil yangmenunjukkan mental keterlibatan penuh dalam melayani. Revolusi mentaltidak lain adalah sebuah proses panjang untuk beralih ke hal kurang baikkepada hal yang baik bahkan proses internalisasi diri bisa menemukanrevolusi batin tetapi juga tindakan positif yang bisa membantu sesama kearah pengembangan diri, komunitas, masyarakat dan negara secarakeseluruhan.
  • Mental masyarakat saat ini tidak bisa dibina secara verbal dan melaluiseminar-seminar ilmiah. Namun yang jauh lebih penting adalah keteladananpetinggi desa ini untuk memulai sebuah tindakan nyata, tanpa perlu banyakberbicara. Masyarakat kita adalah masyarakat yang sudah jenuh mendengarjanji-janji para pejabat dan wejangan panjang dari para motivator.Mendengar para motivator itu penting tetapi jauh lebih penting adalah setiaporang menjadi motivator untuk dirinya sendiri. Dengan memotivasi diri makagerakan batin secara personal dan mengarah pada gerakan bersama dalammembangun keadaban baru bisa dimulai dan mencerminkan sebuahrevolusi mental secara kolektif.Frans Soge Malen telah memperlihatkan tindakan rasa peduli terhadaporang-orang sekitarnya, memulangkan mahasiswa. Tindakan sederhana inimenjadi contoh untuk para petinggi desa ini agar melalui hal baik yangdimulai dari hal kecil sekaligus mengkonstruksi sebuah revolusi mentalsecara pribadi dan pada akhirnya menyebarkan virus kebaikan pada desa-desa sekitarnya.*** (Valery Kopong

Related Posts

Next Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *