Oleh Steph Tupen Witin, Perintis Oring Literasi Soverdi Bukit Waikomo
Keterangan Gambar : Steph Tupeng Witin
Ketika kemanusiaan sebagai bentuk kepekaan konkret atas situasi ini dilakukan dengan tulus, pada waktunya akan menjadi investasi politik. Bukankah segala sesuatu itu indah pada waktunya? — Steph Tupeng Witin
BENCANA GLOBAL pandemi covid-19 telah sekian lama meneror ketenangan hidup semesta. Manusia di planet ini terpenjara dalam ketidakberdayaan. Hidup seolah berada di buritan kiamat. Menakutkan!
Bayangan sirene ambulans yang melarikan jenazah tanpa kawalan keluarga, kenalan, dan sahabat menghiasi kesadaran. Jagat media (sosial) diseraki jutaan pesan, potongan informasi, dan laporan jurnalistik seputar covid-19 yang berkolaborasi merepresi optimisme keberlanjutan hidup.
Jejalan informasi menakutkan ini makin diperparah oleh kebutaan literasi media yang meniscayakan proses verifikasi informasi sehingga kian memperberat beban pikiran manusia.
Kondisi ini makin diperparah dengan kemampuan intelektual publik di bawah rata-rata yang didominasi oleh hasrat (politik) infantil kekuasaan yang didominasi kegesitan mencuri (bahasa Lamaholot: menakang) ketimbang berpikir kreatif untuk “berperang” melawan tantangan sehingga menghadirkan inovasi.
Orang yang telah terbiasa mengasah akal sehatnya dengan berpikir, merenung, berefleksi, membaca, dan menulis tidak akan begitu mudah direpresi oleh teror (politik) sekeras apa pun karena selalu akan hadir solusi kreatif untuk menjinakkan teror. Apalagi kreativitas itu ditenun dalam relasi jejaring sosial kemanusiaan yang kuat.
Salah satu fakta kreativitas dalam masa pandemi global covid-19 ini adalah membandangnya gerakan sosial kemanusiaan. Banyak orang yang “beruntung” dan “sukses” dalam hidup membersitkan harapan hidup baru (new life) bagi sekian banyak orang kecil yang selama ini menapaki hidupnya dengan berat, apalagi pada masa serba sulit sekarang ini.
Mereka menenun jejaring relasi untuk menghadirkan kepedulian yang dahsyat melalui kucuran dana, bantuan sosial kemanusiaan, dan pembagian sembako. Orang-orang ini tidak dipasung untuk berpikir seputar diri dan keluarga tetapi memiliki nurani kreatif karena sekian lama diasah oleh literasi nurani ketika berhadapan dengan realitas yang bisa menumbalkan kemanusiaan.
Saya selalu percaya, literasi nurani kemanusiaan ini adalah buah murni dari gerakan literasi intelektual sepanjang hidup. Celah dan peluang sekecil apa pun akan selalu menghadirkan solusi kreatif yang berkiblat pada kemanusiaan. Zaman yang sangat maju semodern apa pun tidak akan pernah menyediakan setitik ruang sepi dari karya kemanusiaan.
Jeritan nurani orang susah di sudut-sudut kampung terpencil sekalipun akan menjadi teriakan yang menggemai nurani orang-orang ini untuk setia mengulurkan tangan untuk menyapah. Uluran tangan orang-orang ini akan dilanjutkan oleh surelawan yang setia mengorbankan waktu, tenaga bahkan melupakan keluarga agar bisa menyentuh tangan orang-orang susah, memasuki rumah-rumah yang reyot dan kumuh, jauh dari kelayakan sanitasi yang menjadi bukti tak terbantahkan bahwa orang-orang susah teramat jauh terpencil dari gapaian kekuasaan yang miskin nurani kemanusiaan.
Orang-orang susah ini tidak pernah dengar apalagi tahu tentang dugaan korupsi belasan miliar proyek mangkrak di pulau tempat mengais siput selama berabad-abad. Mereka hanya merasa heran dan terkagum-kagum memandang rumah mewah milik orang-orang yang menjadi calon tersangka dugaan kasus kejahatan luar biasa ini, mobil banyak, dan selalu paling rajin naik “burung raksasa” di landasan pacu bandara tujuh bintang.
Orang-orang ini tidak tahu berapa banyak kapal mewah (biasanya harga kapal tidak boleh disebut) yang dibeli pemerintah untuk berpiknik ke “kampung sebelah.” Jeritan, penderitaan orang-orang susah ini tidak akan pernah didengar oleh penguasa yang sibuk tebar pesona mengemis dukungan maju pilkada dari rakyat yang selama ini sangat terasing dari sentuhan pembangunan dan hanya mampu merangkak di atas jalan berbatu, penuh lobang menganga siap jadi kolam dekil di musim hujan.
Jeritan rakyat kecil ini tidak akan pernah didengar oleh kekuasaan yang sibuk mengejar jabatan dengan tunduk sembah pada sang paduka yang gemar menebar ancaman akan memecat bawahan. Orang-orang ini patut diduga memiliki nurani yang telah teralienasi dari rasa kemanusiaan.
Bayangkan! Sambil memberi bantuan kepada orang susah, mereka mengemis dukungan politik. Kemanusiaan telah menjadi alat jualan politik. Kemurnian dan ketulusan sedang berada di titik nadir. Hasrat politik begitu menggebu tak terbendung lagi. Mereka tega mengais dukungan politik tak tertahankan di tengah deraian air mata orang susah.
Pragmatisme Politik Sempalan
Kondisi ini makin diperparah dengan gerakan sempalan bertajuk hasrat politik yang bertebaran di negeri salah urus ini selama masa pandemi. Saat orang bergerak atas nama kemanusiaan, selalu saja ada orang yang boleh jadi memiliki hasrat politik yang telah melewati ambang batas kesadaran normal bergerilya ke segala sudut mencari dukungan politik dengan orientasi kekuasaan jelang pilkada.
Politik diartikan begitu sempit hanya sebatas ruang semaian hasrat infantil untuk merebut kekuasaan. Orang-orang ini berlagak seperti pemimpin parpol. Mereka bisa bernarasi dengan urat-urat leher menegang persis tersetrum virus asam urat dan kolesterol.
Substansi boleh kosong karena yang utama adalah suara yang menggelegar dan raut wajah yang sangar persis Soeharto memarahi Harmoko karena setiap hari hanya omong kosong. Istilah anak milenial omong doang (Omdo).
Di tangan orang-orang ambisius dan haus kuasa model manusia kesurupan ini, politik diubah sekadar menjadi ruang merebut peluang untuk meluncurkan hasrat politik infantil seperti jalan tol, tanpa halangan. Mereka lupa atau memang tidak pernah tahu bahwa kiblat politik adalah kebaikan bersama (bonum commune) yang terajut melalui kesejahteraan individu. Dasarnya, politik harus bernurani kemanusiaan karena mengabdi publik.
Ketika orang-orang ini sibuk menggalang dukungan (berumur pendek) untuk merebut kekuasaan di tengah situasi pandemi, saat orang-orang susah yang menjadi akar aktivitas politik ini menderita, patut diduga mereka sedang kmunger (aneh). Mereka mesti “mendengarkan” kuliah “literasi politik kemanusiaan” konkret yang sedang dinarasikan oleh orang-orang yang peka dan peduli kemanusiaan, entah sebagai donatur maupun relawan yang bekerja keras di lapangan sebagai respons substantif atas nilai-nilai Pancasila dan perintah agama-agama, yang sesungguhnya melandasi idealisme gerakan politik.
Artinya, orang-orang ini hanya memiliki libido politik pragmatis tanpa pernah tahu makna profetik politik.
Literasi Politik Kemanusiaan
Masa pandemi covid-19 mesti menghadirkan kreativitas berupa solusi konkret berbasis kemanusiaan. Kita saksikan para dokter, perawat, dan relawan kemanusiaan bertaruh nyawa untuk menyelamatkan hidup sesama. Para donatur kemanusiaan beranjak keluar dari zona nyaman diri, keluarga, dan perusahaannya untuk mengulurkan tangan kepada sesama yang menderita dalam sunyi.
Agama-agama bersinergi untuk merajut ruang keselamatan bagi pemeluk. Segala aktivitas berlangsung dalam protokol kesehatan. Kita menjadi penyelamat bagi diri dan sesama.
Gerakan kemanusiaan ini adalah bagian hakiki dari penghayatan iman yang konkret. Saatnya khotbah-khotbah di mimbar rumah ibadah dan renungan-renungan saleh di medsos kita gantikan dengan perbuatan nyata bagi sesama yang menderita.
Terkadang, renungan saleh di rumah ibadah dan media sosial dengan kutipan ayat kitab suci disertai penafsiran personal yang liar ibarat air yang melebihi kapasitas dan bisa mematikan tanaman di dalam pot yang terbatas.
Kita butuhkan gerakan literasi politik kemanusiaan melalui aksi nyata: lebih banyak berbuat, gandakan sikap memberi, tiadakan pamrih (politik), dan kurangi bicara (kosong), apalagi terkait politik.
Orang yang memanfaatkan situasi penderitaan rakyat untuk mengais pamrih politik itu identik dengan pencuri hati rakyat kecil. Tindakan itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang tidak waras lagi. Kewarasan dalam konteks sosiologis saat ini adalah kepedulian dan kepekaan atas nama kemanusiaan.
Ketika kemanusiaan sebagai bentuk kepekaan konkret atas situasi ini dilakukan dengan tulus, pada waktunya akan menjadi investasi politik. Bukankah segala sesuatu itu indah pada waktunya?*