ADVERTISEMENT
google.com, pub-9566902757249236, DIRECT, f08c47fec0942fa0

“Hendaknya Seorang Menganggap Yang Lain lebih Utama.” Dari Pada Dirinya Sendiri” Bacaan I. Yeh. 18:25-28, II. Flp. 2:1-11, Injil Mat. 21:28-32

Oleh : Germanus Atawuwur

Bapak, ibu, saudara-saudari yang terkasih,  

Perumpamaan tentang dua anak yang baru saja kita dengar dalam injil tadi adalah perumpamaan  yang khas milik penginjil Mateus. Dikatakan unik karena perumpamaan ini  tidak kita jumpai dalam penginjil yang lain.

google.com, pub-9566902757249236, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Perumpamaan ini dimulai dengan pertanyaan “apakah pendapatmu tentang ini?” (Mat. 21:28). Suatu pertanyaan yang mengundang para pendengar Yesus untuk memikirkan perumpamaan ini dari perspektif mereka, perspektif dari orang-orang yang sebenarnya menjadi salah satu karakter dalam kisah tersebut. Hal seperti ini bertujuan untuk membawa orang-orang yang melakukan kesalahan keluar dari dirinya sendiri dan mencoba menilai perbuatan mereka sendiri dalam perspektif yang baru, sehingga mereka bisa melihat kesalahan mereka sendiri.  Tatkala Mateus menampilkan dua figur dengan karakter yang berbeda, sejatinya Mateus meminta untuk kita harus bercermin diri. Maka sebetulnya juga Mateus menekankan betapa pentingnya mengambil kesempatan untuk berjalan kembali ke dalam dirinya sendiri, untuk melakukan tidak saja introspeksi diri melainkan juga retrospeksi diri. Kita mengintrospeksi diri terkait dengan lekak-lekuk dan kelok berliku tentang siapakah kita di hadapan Tuhan.

Sementara itu retrospeksi diri menjadi urgen tatkala kita melihat diri dalam kebersamaan dengan sesama, entah itu di dalam rumah tangga, di tengah lingkungan masyarakat dan di tempat kerja kita masing-masing. Maka begitu berjumpa dengan diri sendiri, kita malah ingin bersembunyi di balik kekeliruan, kesalahan dan dosa-dosa  karena kita tidak rela dan  kurang bersedia untuk berjumpa dengan kelemahan, kekeliruan, cacat, kesalahan dan dosa-dosa; padahal perjalanan ke dalam diri sendiri mustinya paling menarik karena inilah jalan dan sikap hidup yang darinya seseorang  dapat memperoleh inspriasi  dan seketika itu juga mendapat kekuatan untuk membarui diri kita. Karena itu, marilah secara jujur kita berjalan kembali ke dalam diri sendiri sambil bercermin pada dua sosok anak dalam injil hari ini.  

RelatedPosts

“Apakah pendapatmu tentang ini?”

Pertanyaan ini ditujukan Yesus kepada imam-imam kepala dan tua-tua. Pertanyan ini menyangkut dua hal. Hal pertama, Yesus mengakui otoritas manusia dan karena itu memberikan kebebasan kepada mereka untuk menyatakan pendapat mereka tentang diri mereka sendiri.  Hal yang kedua, Yesus hendak menguji mereka apakah orang-orang yang memiliki otoritas keagamaan ini bersikap realistis dan jujur menilai diri sendiri atau tidak? 

Sehingga karakter kedua anak itu ditampilkan dengan narasi sebagai berikut:” Seorang mempunyai dua anak laki-laki. Ia pergi kepada anak yang sulung dan berkata: Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur. Jawab anak itu: Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi.  Dan anak itu menjawab: Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga.

Menariknya, tokoh-tokoh yang ditampilkan kisah ini tanpa nama. Baik sang ayah/ibu maupun anak sulung dan anak bungsu mereka tidak diberi nama, alias anonim.  Apa maksudnya?  Maksud Matius jelas, teristimewa untuk dua anak itu. Dua anak tanpa nama, adalah cermin yang diberikan Matius kepada para pembaca dan pendengar kisah ini untuk  melihat dirinya sendiri.  Di kala Yesus masih hidup, cermin itu diberikan Yesus sendiri kepada Imam-imam kepala dan tua-tua, yang nota bene memiliki otoritas dan praktek keagamaan yang tidak diragukan lagi. Maka dari itu mengapa Yesus memulai kisah itu dengan pertanyaan “Apakah pendapatmu tentang dua anak itu baru diakhiri dengan pertanyaan: ”Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?”

Tanpa pikir panjang, kedua kelompok ini seolah dalam satu paduan suara yang harmonis menjawab:”yang terakhir.”

Jawaban mereka seratus persen benar. Maka untuk menyadarkan mereka, Yesus menjelaskan siapakah yang dimaksudkan dengan anak  bungsu itu. Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah.

Maka baru sadarlah mereka bahwa anak sulung itu adalah mereka sendiri, kelompok imam-imam kepala dan tua-tua, representasi orang-orang Yahudi yang senantiasa hanya melihat sebelah mata bahkan mengisolasi dan meminggirkan orang-orang  seperti para pemungut cukai dan perempuan sundal karena mereka adalah para pendosa. Imam-Imam dan tua-tua  adalah kaum agamawan yang selalu membaca Taurat Musa dan mengatakan/mengkotbahkan hal-hal yang itu kepada jemaatnya. Mereka kira dengan itu, mereka akan menjadi yang pertama, didahulukan untuk masuk dalam Kerajaan Surga. Padahal figur anak bungsu yang ditonjolkan untuk menyadarkan mereka bahwa betapa pentingnya berbuat apa yang baik daripada sekedar hanya mengatakan apa yang baik.

Ditonjolkan figur anak bungsu mau sadarkan mereka bahwa mereka harus berbalikmenilai dirinya sendiri. Mereka musti berjalan kembali ke dalam dirinya untuk menyadari siapakah mereka. Mereka tidak boleh sibuk menilai dan mendiskreditkan “anak bungsu” yang tidak lain adalah kelompok pemungut cukai dn perempuan pelacur, yang memilih untuk betobat dan kembali ke jalan yang benar. Jadi figur anak bungsu ditampilkan sebagai cermin diri untuk mengeritik kaum imam kepala dan tua-tua bahwa:” “Mengapakah mereka harus sibuk melihat selumbar di mata saudaranya, sedangkan balok di dalam mata mereka tidak mampu bidik?”

Bapa, ibu, saudara saudari yang terkasih,

Bila saban hari kisah Yesus ini untuk mengoreksi dan bahkan mengeritik sikap dari imam-imam kepala dan tua-tua maka hari ini, ketika kita membaca dan mendengarkan kisah ini, maka Mateus  sebenarnya sedang menyampaikan  juga cerita itu untuk  kita semua, untuk Anda dan saya, baik yang ada di dalam rumah Tuhan ini, maupun mereka yang karena alasan protokol kesehatan memilih untuk beribadat di rumah. Kisah ini mustinya jadi moment yang berrahmat untuk bercermin pada dua anak yang ditonjolkan dalam kisah suci hari ini.   Apakah kita adalah anak sulung yang hanya gemar mengatakan dan mengotbahkan serta menasehati orang lain tentang hal-hal yang baik, tanpa kita sendiri berusaha untuk menerjemahkan, untuk melakukan, untuk mempraktekan hal-hal baik yang dibicarakan, yang dikotbahkan dan dinasehatkan itu? Ataukah, kita adalah kelompok anak sulung yang punya hobby memelototi kesalahan orang lain lalu pura-pura meniadakan atau diam-diam memaafkan diri yang juga penuh dengan salah, noda dan dosa?

Atau, kita jugakah masuk dalam anak bungsu itu? Anak yang berhasil  berziarah masuk dalam dirinya. Ia akhirnya menemukan kesalahannya, lalu pada akhirnya dia membaruinya.  Injil mencatat:” Lalu orang itu pergi kepada anak yang kedua dan berkata Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur. Dan anak itu menjawab: Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga.”

Saudara, siapapun dan apapun kita, dua hal yang pasti. Pertama, bahwa kita semua manusia rapuh dan lemah. Mudah berkubang salah dan dosa.  Kedua, Tuhan tetap melukis lurus di atas liku berkelok hidup dan kehidupan kita  dan memberi warna-warni indah di atas kekelaman nista dan dosa kita. Sehingga sebagai citra Allah kita tetap patut saling memuliakan satu dengan yang lainnya, karena barangsiapa memuliakan sesamanya, dia memuliakan Penciptanya tetapi sebaliknya, barangsiapa merendahkan orang lain, dia merendahkan Tuhan sendiri. Hal mana sebagaimana dinasehatkan oleh Paulus kepada jemaatnya di Filipi: “Hendaknya  Seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada diri sendiri.”

Related Posts

Next Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *