LEMBATA : WARTA-NUSANTARA.COM- Bahasa dan budaya lokal merupakan identitas dan jati diri masyarakat setempat sehingga tidak boleh punah tergerus arus global zaman. Bahasa dan budaya merupakan dasar pijak yang mengatur hidup dan kehidupan masyarakat yang diharapkan akan terus hidup dan diwariskan secara turun temurun.
Dasar pemikiran inilah yang coba dirancang dalam seminar nasional mengisi bulan bahasa di satuan pendidikan SMPN 1 Nubatukan Lewoleba-Lembata-NTT bertajuk: “Peluang dan Tantangan Bahasa Lokal dalam Konteks Budaya.”
Sebuah kolaborasi intelektual yang coba dibangun antara manajemen SPENSA Nubatukan, Komunitas Teater Perempuan Biasa Kupang dan Asosiasi Peneliti Bahasa Lokal (APBL), terselenggara dengan baik setelah mendapatkan respon positif dari berbagai kalangan akademisi hebat tanah air. Seminar ini berlangsung di Studio SPENSA FM yang dibuka oleh Samun Silvester, SH., Kadis PKO Kabupaten Lembata-Provinsi NTT pada Jumad (23/10/2020).
Dalam sambutan tertulisnya, Kristoforus Lera, M.Pd., selaku Ketua Panitia Penyelenggara seminar mengatakan, tujuan dari seminar ini adalah membudayakan literasi; memelihara dan melestarikan nilai-nilai akar budaya melalui jalur pendidikan; memelihara unsur-unsur budaya seperti bahasa, dialek, tarian daerah, musik dan tradisi; menumbuhkan cita rasa pada bahasa dan budaya daerah sejak dini; mendukung program pemerintah daerah Kabupaten Lembata sebagai kabupaten literasi; membangun hubungan keilmuan antarlembaga pendidikan dan para akademisi melalui kegiatan literasi, seni dan budaya.
Sementara itu, Melkior Muda Making, S.Pd selaku Kepala Sekolah SPENSA Nubatukan mencoba membeberkan, terselenggaranya even nasional mengisi bulan bahasa di SPENSA NUBA berawal dari tawaran ide Dr. Lanny Koroh. Sebagai penggagas, Pendiri Teater Perempuan Biasa Kupang-NTT ini pun secara teknis membangun komunikasi dengan para pakar dan akademisi.
Menurut Melki, sambutan positif tidak hanya datang dari para pakar yang memiliki spesifikasi khusus pada bidang bahasa dan budaya. Para guru juga antusias mendaftarkan diri untuk mempresentasikan makalahnya secara virtual. “Saya memberikan apresiasi kepada para guru hebat yang dengan sangat siap menggunakan momen ini, membuktikan profesionalismenya sekaligus menunjukkan kepada dunia bahwa budaya Lamaholot dan Kedang di Lembata masih ada. Oleh karena itu, mesti terus digali untuk dibukukan demi menjaga kepunahan budaya dan bahasa lokal,” ujarnya.
Kepada para nara sumber, Prof. Made Budiarsah, MA., Prof. Dr. La Ode Sidu Marafad, MS., Prof. Dr. Aron Meko Mbete., Dr. Robert Merseng, M.Hum., Dr. Lanny Koroh., Christina T. Weking, S.S ia berharap agar boleh menuntun bapak ibu, guru terkait karya yang mereka bawakan dalam seminar tentang budaya dan bahasa lokal di kabupaten Lembata-NTT agar mampu menghasilkan karya yang semakin berkualitas.
Ketua APBL Pusat, Prof. Made Budiarsa, M.A., professor pada Universitas Udayana Bali dalam sambutannya mengatakan, bulan bahasa mestinya menjadi ruang bagi setiap anak bangsa untuk mengekspresikan diri dalam bidang bahasa dan sastra sebagai wujud kecintaan akan budaya Indonesia. Menurutnya, melalui bulan bahasa, masyarakat pendidikan dan masyarakat pada umumnya diharapkan untuk semakin mengerti dan siap sedia melestarikan budaya bangsa juga menerapkan bahasa Indonesia secara benar agar budaya kita menjadi lebih baik.
“Para siswa, mahasiswa dan para guru bahasa Indonesia mestinya berpartisipasi secara aktif agar budaya dan bahasa tetap terjaga dan semangat nasionalisme kita kumandangkan bersama,” katanya. Lebih lanjut menurutnya, di ulang tahun Sumpah Pemuda yang ke-92, rasa cinta terhadap bahasa Indonesia mulai mengendor bahkan berkurang. Generasi muda lebih bangga menggunakan bahasa asing.
Ia menegaskan, perlu ditumbuhkan semangat mengangkat harkat dan martabat bahasa Indonesia. Tingkatkan keterampilan bahasa Nusantara dan bahasa Indonesia. Peran bahasa lokal sebagai pendukung bahasa Indonesia dan memperkuat budaya daerah. Bahasa lokal sebagai alat komunikasi, ciri khas daerah dan kekayaan daerah mesti menjadi alat perekat dan penghubung antaranggota masyarakat. Ia menambahkan, keberadaan bahasa lokal mesti menjadi pendukung bahasa nasional.
“Hilangnya bahasa lokal disebabkan oleh pengaruh global, etnis minor mayor, kurangnya minat mendalaminya dan pengaruh perkawinan silang,” tegasnya. Oleh karena itu, ia berharap, dalam melestarikan budaya lokal, masyarakat mesti semakin sadar mempelajari dengan giat dan benar, mengajarkannya dan terlebih memasukannya ke dalam kurikulum muatan local.
Sebelum membuka secara resmi seminar budaya dan bahasa, Kadis PKO Kabupaten Lembata, Samun Silvester, SH mengatakan, budaya dan bahasa lokal mesti dilegitimasi dalam sebuah kurikulum lokal. Sebab melalui budaya dan bahasa peradaban manusia dapat terbangun dengan baik.
Sil Samun menegaskan bahwa rencana dipatenkannya kurikulum muatan lokal sebenarnya bukan hal baru karena sudah tersurat dalam Perda No. 12 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Menurutnya, dalam BAB X Ayat 75 sudah digariskan tentang kurikulum muatan lokal. Kebijakan terbaru yang tersurat dalam Perda No. 21 Tahun 2013 sebagai revisi dari Perda No. 12 Tahun 2013 belum diimplementasikan.
“Permasalahan tentang budaya dan hbahasa yang makin tergerus bisa kembali pulih sebagai cirri khas daerah membantu pengembangan bahasa Indonesia. Kita berharap agar kurikulum lokal dapat diterapkan di semua satuan pendidikan,” imbuhnya. Ia menegaskan, sebagai sebuah aksi nyata, tahun ajaran baru 2020/2021 mendatang kabupaten Lembata sudah memiliki kurikulum muatan lokal.
Christina Weking, S.S, selaku Penyuluh Kebahasaan dan Kesastraan dari Kantor Bahasa NTT mengatakan, Kantor Bahasa akan siap membantu pemerintah daerah Kabupaten Lembata, khususnya Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga beserta para gurunya dalam upaya menggali serta merumuskan seluruh kekayaan budaya Lembata dan merumuskannya ke dalam sebuah Kurikulum Muatan Lokal yang baik bagi generasi Lembata ke depan.
Christina memaparkan, berdasarkan data belum banyak kabupaten/kota dalam wilayah provinsi NTT yang memiliki kurikulum pendidikan muatan lokal sesuai budayanya sendiri. Salah satu kekayaan budaya daerah adalah bahasa daerah kita yang mestinya bisa digali untuk dibukukan agar menjadi referensi bagi generasi sesudahnya. “Andaikata Lembata sanggup merumuskan sebuah kurikulum pendidikan muatan lokal bagi generasinya, maka Lembata sungguh hebat,” katanya.
Sementara itu, Dr. Lanny Koroh, akademisi di IAKN Kupang-NTT mencoba menguak nilai spiritual budaya yang terkandung di balik kegunaan daun lontar. Menurutnya, daun lontar dan spiritualitas yang terkandung di dalamnya bisa dimasukan sebagai isi dari kurikulum muatan lokal Lembata. Dalam paparannya tentang “Lontar Dalam Komunitas Adat Lewuhala-Lembata“, Lanny mencoba membangun sebuah pemahaman cerdas bahwa hal sesederhana pohon lontar, ternyata punya nilai spiritual-budaya yang sangat sakral di Lembata yang barangkali saat ini sudah tidak dipahami lagi secara baik oleh generasi.
Ia mengatakan, dalam konteks komunitas masyarakat adat Lewuhala dan mungkin juga lainnya, lontar adalah simbol mata air kehidupan yang harus tetap dijaga dan dilestarikan oleh generasi ke generasi. “Ini adalah salah satu contoh teknik pendokumentasian yang baik terhadap nilai-nilai budaya yang dapat diajarkan pada anak cucu tanah Lembata, melalui pemberlakuan Kurikulum Muatan Lokal di Lembata,” tegasnya.
Selain itu, Dr. Robert Masreng, akademisi pada Universitas Cendrawasih (UNCEN) Kota Jayapura-Provisi Papua, mengangkat terkait bagaimana membuat sebuah analisis semantik terkait nilai yang terkandung di balik ‘darah’ dalam konteks budaya. Dalam pemaparannya tentang “Darah Dalam Perspektif Kultur Guyub Tutur Bahasa Kei: Analisis Semantik“, ia mengatakan, banyak nilai yang bisa digali dalam konteks Lembata.
“Orang Lembata tentu punya pemahaman yang berbeda secara adat-budaya terkait makna ‘darah’ dan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya,” terangnya. Dalam kaitan dengan pemberlakuan kurikulum muatan lokal bagi generasi di sekolah, nilai-nilai budaya seperti ini harus digali lebih mendalam.
Sementara itu, Prof. Dr. La Ode Sidu Marafad, M.S., professor pada Universitas Halu Oleo, Kendari-Sulawesi Tenggara mencoba menguatkan para guru di Lembata. Menurutnya, ketika bahasa lokal beserta dialeknya diangkat menjadi salah satu muatan inti dalam kurikulum pendidikan muatan lokal di sekolah, haruslah diingat bahwa pengaruh iptek dan globalisasi telah banyak mengurangi bahkan menghilangkan unsur-unsur inti dari bahasa lokal itu sendiri.
“Banyak nilai dalam unsur kebahasaan dan budaya telah tergerus. Hal tersebut secara sederhana dapat kita amati dalam bahasa tutur setiap generasi,” tegasnya. Oleh karena itu, ia berpesan, gali dan temukan kebenarannya, lalu dokumentasikan secara baik sebagai kekayaan Lembata yang harus dibagikan kepada generasi penerus.
Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. Aron Meko Mbete, professor pada Universitas Marwadewa Bali juga memberikan beberapa langkah praktis yang dapat dijadikan tips dalam merawat budaya Lembata. Menurutnya, berbicara kurikulum muatan lokal suatu daerah, maka substansinya adalah bicara soal budaya. Sebab budaya menurutnya, merupakan inti dari kurikulum mutan lokal.
“Sebab budaya merupakan inti dari kurikulum muatan lokal, maka budaya perlu dirawat. Salah satu bentuk merawat budaya yang baik adalah mendokumentasikan semua unsur dan nilai yang terkandung di dalamnya secara baik dan benar pula,” tegasnya.
Lebih lanjut katanya, Lembata memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. “Kekayaan budaya Lembata ini akan terus dinikmati oleh generasi Lembata, kalau budayanya dirawat. Secara pribadi, saya mengapresiasi sikap pemerintah Lembata melalui Dinas Pendidikan yang menyatakan kesiapannya untuk memberlakukan kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah di Lembata,” pungkasnya.
Selaku Penasihat Asosiasi Peneliti Bahasa Lokal (APBL), Prof. Aron menyatakan kesiapannya untuk bersama barisan para akademisi serta pemerhati budaya-bahasa tanah air lainnya, untuk mendukung Lembata segera memiliki kurikulum tersebut. Semoga Lembata mampu mencatatkan namanya di kancah Nasional sebagai kabupaten yang memiliki kurikulum muatan lokal sendiri. (*/WN-AM)
Pewarta: Albertus Muda