Oleh : Germanus Atawuwur
Bapa, ibu, saudara, saudari, pada hari Minggu Biasa XXXIII, bertepatan dengan Tutup Tahun Liturgi pada hari ini, kita mendengar bacaan injil yang mengumpamakan kerajaan surga itu dengan seorang raja yang memberikan talenta kepada ketiga hambanya. Yang pertama diberinya lima talenta, hamba kedua diberinya tiga talenta dan hamba yang terakhir diberikannya satu talenta. Kata talenta tentu kita sudah dengar berulang kali. Tetapi apakah kita tahu tentang makna di balik kata itu? Talenta itu bukanlah sejenis mata uang melainkan satuan berat atau ukuran timbangan. Jadi secara literal talenta berarti ukuran timbangan. Satu talenta sama dengan enam puluh mina atau sama dengan 34 kg.
Pertanyaannya, mengapa tuan itu memberikan kepada hamba-hambanya talenta yang jumlahnya berbeda-beda? Mengapa tuan itu tidak memberi kan jumlah yang sama kepada mereka? Apakah tuannya sedang berlaku tidak adil? Bukankah dengan memberi talenta dengan jumlah yang sama lebih berkesan adil?
Tuannya tentu sudah mengenal mereka secara baik. Maka dari itu tuan itu memberi talenta itu atas dasar pertimbangan kesanggupan/kemampuan para hamba. Dia memberikan talenta itu sesuai kemampuan hamba-hambanya. Dia tidak ingin membebani mereka dengan memberi talenta lebih. Jadi pertimbangannya bukan pada soal keadilan, tetapi sekali lagi, pada kesanggupan/kemampuan para hamba-hambanya.
Menarik adalah, tuan itu memberi talenta kepada hamba-hambanya tanpa pesan apapun. Dia juga tidak menyuruh atau menginstruksikan kepada mereka tentang hal apa yang harus dilakukan oleh hamba-hambanya. Dia tidak mau memframing/membingkai para hamba dalam sebuah perjanjian tertentu. Dia benar-benar memberikan “kebebasan” kepada para hambanya. Karena itu, begitu selesai memberi talenta itu dia pun pergi.
Perginya tuan itu, memberikan para hamba itu waktu dan kesempatan tentu untuk memberdayakan talenta itu. Perginya tuan itu memberikan kebebasan kepada para hamba untuk memperlakukan talenta itu seturut mau mereka. Maka di sinilah dituntut kebebasan untuk berinisiatif, kebebasan untuk berkreatifitas, kebebasan untuk berinovasi. Tuannya memberikan kebebasan agar mereka menjadi tuan untuk dirinya sendiri dalam memberdayakan talenta itu. Tuannya memberikan kebebasan untuk mengeksplorir diri mereka. Karena ini soal tanggung jawab. Karena ini berkaitan dengan kepercayaan tuannya maka setiap hamba masing-masing dituntut untuk bertanggungjawab secara maksimal terhadap pemberian itu.
Maka tanpa tunggu lama-lama, hamba yang pertama segera pergi untuk menjalankan talenta itu lalu beroleh laba lima talenta. Hamba yang kedua tidak tinggal diam. Ia tidak bermalas-malasan. Ia pun melakukan hal yang sama. Akhirnya dia pun memperoleh laba tiga talenta. Lalu, bagaimana dengan hamba yang terakhir, yang memperoleh satu talenta? Ia gambaran dari tipe orang yang suka berpangku tangan melipat kaki. Ia tipe manusia yang mudah menyerah. Ia bermental easy going. Ia tidak suka berkeringat-keringat. Dia bukan hard worker, bukan orang pekerja keras. Maka jalan pintas dilakukannya. Ia malah pergi menggali lobang tanah dan menguburkan talenta itu.
Tibalah saatnya tuan mereka kembali. Dipanggilnya mereka satu demi satu untuk melakukan perhitungan. Begitu mendengar pengakuan hamba pertama dan kedua yang “berhasil menggandakan” talenta itu, dia pun memuji mereka:” Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” Ini adalah hadiah yang patut diapresiasi kepada mereka yang sukses melaksanakan tanggungjawabnya.
Namun begitu masuk hamba ketiga, yang didapatkan tuannya adalah penilaian yang justru memojokan dirinya: ” Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam. Karena itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah. Setelah memojokan tuannya, ia mengembalikan talenta itu, katanya:” Ini, terimalah kepunyaan tuan!“
Sebagai tuan, tentu ia marah besar. “ Hai kamu, hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu, bahwa aku menuai di tempat di mana aku tidak menabur dan memungut dari tempat di mana aku tidak menanam?” Maka sangsi pun diberikan kepada hamba ini.” Campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.”
Bapa, ibu, saudara, saudariku….. dua hamba pertama dipuja-puji lantaran keberhasilan mereka mengembang kepercayaan yang diberikan tuannya. Dua hamba ini identik dengan istri yang cakap, rajin dan ringan tangan yang dipuji oleh sang suami sebagaimana bacaan I menampilkan kepada kita:” Istri yang cakap siapakah akan mendpatkannya? Ia lebih berharga daripada permata. Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya. Ia mencari bulu domba dan rami, dan senang bekerja dengan tangannya. Tangannya ditaruhnya pada jentera, jari-jarinya memegang pemintal. Ia memberikan tangannya kepada yang tertindas, mengulurkan tangannya kepaa yang miskin.”
Berilah dia dari hasil tangannya, biarlah perbuatan dia memuji dia di pintu-pintu gerbang.”
Baik model istri sebagaimana diluksikan dalam bacaan pertama, maupun kedua hamba yang sukses melaksanakan tanggungjawabnya, mendapat pujian baik dari sang suami maupun dari tuan mereka. ”Baik sekali perbuatanmu itu!” Hadiah pun dianugerahkan kepada mereka, masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu dipahami dalam konteks nasehat Paulus dalam bacaan II bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia.
Bapak, ibu, saudara, saudari yang terkasih,
Apa pesan besar bagi kita melalui bacaan-bacaan suci ini? Pesannya adalah bahwa Tuhan memberikan talenta kepada manusia sesuai kesanggupannya. Karena itu Tuhan tidak memberikan semua talenta kepada seseorang. Dan bahwa Tuhan juga tahu setiap kemampuan dan kesanggupan manusia. Maka diberikan kepada manusia dengan jumlah yang berbeda. Itu artinya, tak satu pun manusia tak memiliki talenta apapun.
Pada akhir tahun liturgi yang kita tutup pada hari ini, Yesus hendak mengingatkan para pembaca di saat ini, kini dan di sini suatu prinsip penting yang berhubungan dengan pahala dan kedudukan orang percaya di sorga. Bahwa apa yang akan diterima oleh kita senua dalam Kerajaan Allah di masa yang akan datang, di saat kita meninggal, tergantung pada apakah kita sukses menjaga kepercayaan dan berhasil melaksanakan tanggungjawab di saat masih berziarah di bumi ini. Kedudukan dan warisan di sorga akan sebanding dengan pengabdian kita sekarang ini. Untuk itu marilah kita berlomba-lomba untuk menjadi kedua hamba yang sukses tadi. Kita berusaha menjadi seperti istri yang cakap, rajin dan ringan tangan. Kepada kita semua, anda dan saya akan dianugerahkan pujian yang sama:” Baik sekali perbuatanmu itu!” Maka, berkatnya adalah masuk dan bergabung dalam sukacita Surgawi, dikumpulkan oleh Allah bersama-sama dengan Yesus Putra-Nya.”**(Warta-Nusantara.Com).**