Oleh : Germanus Atawuwur
Bapak, ibu, saudara, saudari, yang terkasih,
KUPANG : WARTA-NUSANTARA.COM-Hari ini kita memasuki Tahun Liturgi yang baru. Kita memasuki lingkaran liturgi Tahun B. Bersamaan dengan itu, kita serentak memasuki Minggu Adventus I. Minggu Adventus kita kali ini terasa lain dari biasanya. Kita merasa lain karena hingga hari ini, kita masih terus dilanda pandemi corona virus yang kian hari malah kian mencekam. Angka-angka pengidap virus ini kian hari kian bertambah. Keadaan ini membuat kita selalu cemas dan tidak nyaman. Sekalipun pintu-pintu gereja dibuka untuk beribadat pada hari Minggu dan hari-hari biasa, tokh kita tetap tidak nyaman. Namun demikian, hendaknya selalu mengikuti protokol kesehatan sehingga kita selalu terhindar dari pandemi ini. Dalam situasi dan kondisi ini kita menanti penuh harap kedatangan Yesus “yang kedua” kalinya.
Masa adventus adalah masa mempersiapkan diri. Masa untuk merefleksikan diri. Masa untuk melakukan tapak-tapak undur. Masa untuk masuk ke dalam hati yang paling dalam, untuk menjumpai kelampauan hati kita, lalu serentak itu pula kita bertemu dengan kinian hati kita. Entah seperti apakah hati kita saat ini? Seperti kain kotorkah? Seperti dedaunan yang layu? Atau seperti tanah yang pecah-retak?
Apapun kondisi hati kita saat ini, saya mengajak kita sekalian untuk memandang ke depan. Lihatlah empat lilin advent di samping altar. Tiga berwarna ungu sebagai simbol pertobatan. Dan sebatang lagi berwarna pink sebagai simbol sukacita di tengah penantian akan kedatangan Yesus. Lilin Ungu yang dinyalakan pada minggu pertama, simbol pengharapan. Disebut juga sebagai lilin nabi. Karena kadatangan Yesus telah dinubuatkan para nabi. Lilin ungu yang dinyalakan minggu advent kedua adalah minggu Kesetiaan dan Cinta. Kita dengan setia penuh cinta mempersiapkan hati dan diri untuk kedatangan Yesus yang kudus. Lilin ketiga berwarna merah jambu disebut juga Lilin Gembala. Simbol Sukacita. Ibarat gembala yang dengan sukacita menyongsong Natal Yesus, demikian pula kita. Lilin keempat adalah Lilin Para malaekat, sombol Perdamaian. Malaekat mewartakan bahwa Dia yang Datang adalah Pembawa Damai, muliakanlah Dia!!
Pada minggu advent I, penginjil langsung mengingatkan para pembaca dan pendengar:” Hati-hatilah dan berjaga-jagalah!” Awasan ini bagi penginjil Markus, sangat penting, karena itu maka kita menemukan sebanyak tiga kali kalimat berjaga-jagalah! Saking pentingnya awasan itu maka, peringatan itu tidak saja ditujukan kepada para pendengar di kala itu, tetapi juga untuk kita semua, termasuk anda dan saya, yang pada hari ini mendengarkan firman ini:” Kukatakan kepada semua orang, berjaga-jagalah!”
Pertanyaannya adalah mengapa musti berjaga-jaga? Ada dua alasan untuk berjaga-jaga. Alasan pertama bersifat antropologis. Bahwa siapapun manusia itu, dia adalah manusia pendosa. Dia adalah manusia najis, yang diibaratkan oleh nabi Yesaya sebagai kain kotor atau daun yang layu.“ (Yes. 64:6). Nabi Yesaya mengidentikan manusia najis seperti kain kotor. Dia bahkan mengatakan lagi:” kami sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan kami seperti daun dilenyapkan oleh angin.” Kedosaan dan kenajisan membuat manusia nampak layu seperti daun yang jika tidak segera diperbaiki, akan lenyap diterpa angin.
Karena itu yang hendak dikritik oleh nabi Yesaya adalah bahwa ada manusia tertentu merasa dirinya suci. Ia mengganggap dirinya sebagai malaekat yang tanpa cacat. Ia melakukan kebajikan-kebajian tanpa henti. Kewajiban-kewajiban sebagai manusia agamis tak absen dia praktekan. Maka kemudian bukan cuma dia sendiri yang merasa saleh tetapi juga orang lain menganggapnya demikian. Padahal mungkin saja, itu cumalah sebuah topeng kemunafikan. Manusia model begitu banyak dijumpai di zaman nabi Yesaya, di negeri Israel. Dan manusia tipe itu, oleh nabi Yesaya dikategorikan sebagai kain kotor dan daun yang layu. Karena serupa kain kotor maka perlu dicuci. Perlu dibilas agar nampak bersih kembali.
Maka, berjaga-jaga adalah ajakan bagi manusia untuk berbuat sesuatu. Himbauan untuk beraksi. Aksi yang terus-menerus. Aksi tanpa henti. Aksi apakah itu? Aksi menata hidup. Aksi cuci diri. Aksi bersih hati. Pertanyaannya adalah aksi cuci diri seperti apakah itu? Aksi bersih hati yang bagaimana? Aksi menata hidup kembali. Bila kemarin kita menggunakan topeng kemunafikan, saat advent ini kita disuruh buka topeng kemunafikan itu. Lalu kita tampil apa adanya. Bila kemarin hidup kita bergelimang noda dan dosa, akuilah dalam penerimaan sakramen tobat. Manfaatkan masa tobat yang sudah disiapkan gereja untuk menerima sakramen tobat, demi sebuah rekonsiliasi yang suci. Dan bila kemarin perilaku kadang melenceng jauh, maka saatnya kita diminta oleh Yesus, berjaga-jagalah dengan meluruskan perilaku. Dan bila selama ini kata-kata kita ibarat silet yang menyayat hati sesama. Perbaikilah tutur-kata. Dengan berani untuk saling memaafkan.
Mungkinkah itu? Itu mungkin bagi orang yang rendah hati. Bagi orang yang sadar diri. Bagi orang yang tahu diri. Bahwa dia adalah manusia, yang terbuat dari tanah liat. Karena terbentuk dari tanah liat, mudah retak, bahkan pecah berkeping-keping lantaran noda dosa yang dibuatnya. Kadang juga hidup kita seperti kain kotor. Maka butuh waktu untuk mencuci kain itu untuk digunakan kembali. Karena itu, berjaga-jaga dalam konteks manusia, adalah menata hidup, membasuh diri, menyucikan bathin. Berjaga-jaga juga secara ekologis adalah panggilan manusia kepada kepedulian dengan lingkungan.
Membersihkan lingkungan yang kotor dan kumuh dengan membuang sampah pada tempatnya. Berjaga-jaga adalah juga panggilan untuk berbelarasa dengan mereka yang tertimpah kemalangan dan kesusahan hidup. Berjagaj-jaga adalah juga panggilan untuk menaruh empaty, untuk peduli bersesama: dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit. Kalau demikian maka teruslah berjaga-jaga seolah-olah kita akan meninggal besok. Maka bila demikian, saudara-saudara, kita dijumpai tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus datang kembali, sebagaimana yang diharapkan oleh Paulus kepada jemaatnya di Korintus (1 Kor. 1:8).
Bapa, ibu, saudara, saudari…..bila berjaga-jaga dalam konteks manusia adalah moment untuk menata hidup kembali, untuk membasuh hati dan mencuci diri, panggilan kepada ekologi serta peduli bersesama, maka berjaga-jaga dalam konteks kristologis adalah Dia Sang Kristus, adalah Kudus. Maka Dia yang Kudus, Dia yang suci itu, harus dinantikan oleh orang-orang yang bersih hatinya. Dia yang Kudus itu harus ditunggu oleh orang-orang yang memiliki kesucian hati dan kekudusan diri.
Dia yang Kudus itu telah datang dan memanggil kembali kita ke dalam persekutuan bersama Putra Tunggal-Nya kita benar-benar sudah siap karena kita sudah bersih. Maka berjaga-jaga secara kristologis, adalah panggilan kepada kekudusan untuk berpartisipasi dalam kekudusan Kristus sendiri. Panggila kepada kekudusan adalah panggilan untuk mengenakan “pakaian rohani.”
Bila kita telah mengenakan pakaian rohani, maka pantaslah kita ulangi kata-kata nabi Yesaya sebagai doa kita kepada Dia yang sedang kita nanti-nantikan kedatangan-Nya:”
Tetapi sekarang, ya TUHAN, Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu.