Germanus S.Attawuwur *
Alumnus STFK Ledalero
KUPANG : WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih ,Hari ini kita memasuki Minggu Adven III. Minggu yang ditandai dengan penyalaan lilin adven yang berwarna merah muda. Merah muda melambangkan sukacita / kegembiraan. Maka minggu adven ketiga diperingati sebagai Minggu Sukacita atau dikenal juga dengan nama Minggu Gaudete.Mengapa disebut Minggu Gaudete? Karena orang-orang kristen bersukacita atas rahmat pengampunan yang dialaminya dari Tuhan setelah selama dua minggu berturut-turut “meluruskan jalan” bagi Tuhan, dengan meratakan gunung kesombongan serta meratakan lekak lekuk egoisme, masa bodoh, acuh tak acuh dan ketidak-pedulian. Kita telah berhasil membersihkan diri dari kepekatan dosa dan kemudian dengan penuh sukacita menantikan Natal Yesus dan Kedatangan Tuhan pada akhir zaman. Inilah alasan, mengapa kemudian gereja katolik menyebut minggu adven ketiga sebagai minggu Gaudete.
Untuk mewarnai minggu adven ketiga ini sebagai minggu sukacita, maka pilihan bacaan-bacaan suci juga memberikan kesaksian biblis tentang sukacita.
Misalnya secara tegas dalam bacaan kedua, Paulus meneguhkan umatnya di Tesalonika dengan kalimat pembuka suratnya yang mengajak mereka untuk selalu bersukacita di dalam Tuhan. Gaudete in Domino Semper.
“Saudara-saudara, bersukacitalah senantiasa! Tetaplah berdoa dan mengucap syukurlah dalam segala hal.” Paulus memberikan peneguhan kepada umat di Tesalonika untuk selalu bersukacita di dalam Tuhan. Agar sukacita itu tidak melenceng dari alasan yang sebenarnya maka ajakan peneguhan tadi langsung diikuti dengan nasehat-nasehat pastoral dari Paulus. Tetaplah berdoa dan mengucap syukur dalam segala hal. Mengapa tetap berdoa? Karena doa adalah proses menguduskan hati dan diri, dalam rangka menselaraskan diri di dalam rancangan, rencana dan kehendak Tuhan sendiri. Karena DIA sendiri menginginkan kita menjadi kudus. “Hiduplah di hadapan-Ku dengan tiada bercela” (Kej.17:1). Jadi doa itu menjawabi panggilan kekudusan dari Allah sendiri.
Melihat begitu pentingnya efek dari doa inilah maka Paulus menasehati kita semua melalui jemaat di Tesalonika agar tetap berdoa dan mengucap syukurlah dalam segala hal. Artinya apapun kondisi manusia terkini, doa dan ucapan syukur harus selalu dilakukan. Maka dalam untung dan malang, dalam sakit dan sehat, dalam suka dan duka, dalam penderitaan dan kebahagiaan dua hal ini: berdoa dan bersyukur harus tetap dilakukan. Jika ini sudah dilakukan maka jiwa dan tubuh kita, – raga dan roh- kita terpelihara sempurna dengan tak bercacat sampai pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita. Dalam keadaan kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya dalam kasih (Ef.1:4) itulah kita pantas bersukacita sambil menyongsong Natal Yesus.
Selain doa adalah jawaban manusia terhadap panggilan kekudusan dari Allah, doa juga adalah credo kita secara penuh kepada janji keselamatan Allah bagi manusia, yakni mengutus Putra Tunggal-Nya untuk menyelamatkan manusia.
Doa juga berarti meleburkan diri dalam rencana dan kehendak Tuhan untuk berpartisipasi dalam rencana Tuhan dalam proses keselamatan manusia sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Yesaya dalam bacaan pertama:” Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati. Aku diutus untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara. Tuhan Allah berkenan kepadaku untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan dan hari pembalasan Allah kita.”
Nabi Yesaya menerangkan kepada orang-orang Israel untuk meyakinkan mereka bahwa dia adalah nabi yang diutus Allah untuk menyampaikan kabar baik, untuk mewartakan sukacita tentang Rahmat Tuhan dan Hari Pembebasan Allah kepada orang-orang yang sengsara dan merawat orang-orang yang remuk hati serta untuk mewartakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan kepada orang-orang yang terkurung dalam penjara. Karena pekerjaan-pekerjaan Tuhan inilah menjadi alasan sukacita Nabi Yesaya. “Aku bersukaria di dalam Tuhan, jiwaku bersorak-sorai di dalam Allahku.”
Warta pembebasan yang semula dinubuatkan oleh Nabi Yesaya, terpenuhi dalam dri Yohanes Pembaptis. “Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan Tuhan.”
Bapak, ibu, saudara, saudariku yang terkasih,
Seluruh lingkaran adven kita tahun ini tidak saja berada dalam wabah pandemi corona virus tetapi juga bencana alam, misalnya letusan gunung berapi. Mereka yang mengalami semua derita ini masih terperangkap dalam kecemasan, duka dan lara serta stigmatisasi akibat serangan pandemi corona virus. Cukup banyak orang menjadi miskin bahkan jatuh ke dalam kemiskinan ekstrim karena kehilangan pekerjaan oleh karena badai pandemi covid-19;
Dalam situasi yang sedemikian mencemaskan, mereka pun suka tidak suka, mau tidak mau, ikut merayakan Minggu Sukacita ini. Maka pertnyaannya adalah apakah mereka benar-benar bergembira di minggu adven gaudete ini? Inilah ontologi Minggu Sukacita bagi mereka. Mereka bergembira dan bersukacita dalam duka yang belum menepi, dalam lara yang terus mengiris, dalam bara letusan yang terus bererupsi. Saudara-saudarakita ini akan mengalami sukacita penuh pada minggu gaudete ini apabila kita terpanggil untuk mengulurkan tangan, memberikan diri untuk membantu mereka. Kehadiran kita entah secara fisik, entah dalam materi maupun secara rohani, adalah model partisipasi kenabian kita untuk membangkitkan kembali kegembiraan di dalam hati mereka.
Minggu Adven III akan benar-benar dirasakan sukacitanya oleh seluruh umat kristen, baik yang terkapar lantaran corona virus ataupun karena bencana alam, maupun kita yang masih luput dan lolos dari kemalangan itu, apabila semua kita semua, -tanpa kecuali-, tanpa pandang suku, agama dan ras, kita membumikan universalitas cinta. Universalitas cinta adalah menyatukan diri dan mengulurkan tangan untuk berbelarasa, untuk peduli bersesama dalam kepedulian individual yang harus menjadi satu-kesatuan dalam kepedulian global bagi kemalangan dan kemelaratan masyarakat dunia.
Dalam himbauan apostolis Paus Fransiskus pada Hari Orang Miskin Dunia ke-4:” Di masa ketidakstabilan dan ketidakpastian ini, umat Katolik harus mengambil resiko untuk membantu jutaan orang di seluruh dunia karena pandemi global saat ini. Janganlah kita menyia-nyiakan hidup kita hanya dengan memikirkan diri sendiri. Saya katakan, tidak berbuat baik itu tidak baik. Orang katolik wajib berbuat baik. Keluar dari diri kita sendiri dan lihat. Lihat mereka yang lebih membutuhkan. Rentangkan tanganmu kepada mereka yang sedang menderita, melarat dan miskin. Ulurkan tanganmu kepada mereka karena kamu sendiri sudah menerima banyak.”
Perintah untuk memberi diri dan mengulurkan tangan menantang sikap individualistik, mengeritik sikap mereka yang lebih suka menyimpan tangannya di saku atau malah berpangku tangan lalu malas tahu terhadap kemiskinan, penderitaan dan kemalangan yang ada di sekitar mereka. Maka dibutuhkan kedermawanan hati. Kedermawanan mendukung yang lemah, menghibur yang menderita, meringankan penderitaan, dan mengembalikan martabat mereka yang dilucuti adalah syarat untuk kehidupan manusia seutuhnya, yang kemudian menjadi alasan untuk bersukacita dan bergembira. Inilah hakekat dari minggu adven III, minggu Sukacita: Gaudete et gaudentibus, et flere cum flentibus (Bergembiralah bersama orang yang bergembira dan menangislah bersama orang yang menangis).Inilah sukacita injili, kegembiraan imaniyah.
___________________________
Penulis, Putra Desa Warawatung, Kecamatan Nagawutung. Tinggal di Kupang. Alumnus STFK Ledalero. Penyuluh Agama Katolik pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi NTT. Anggota Komisi Informasi NTT