YOGYAKARTA : WARTA-NUSANTARA.COM – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan setidaknya ada tiga tantangan Indonesia sebagai ‘center of gravity’ komunitas global. Pertama, memiliki sekitar 270 juta penduduk dengan 733 bahasa, terdiri dari 1.340 suku, dan 6 agama serta beragam aliran kepercayaan, sehingga sangat rentan untuk ‘diadu domba’.
Kedua, kondisi geografis sebagai negara kepulauan yang terletak di antara dua benua dan dua samudera. Dengan perairan yang menjadi pusat jalur perdagangan laut dunia, menjadikan Indonesia tidak mungkin menutup diri terhadap lalu lintas peradaban global. Kondisi ini membawa dua konsekuensi, bila mampu mengelola dengan baik, membuat bangsa Indonesia semakin matang dalam membangun peradaban. Sebaliknya, bila tidak bisa mengelola maka taruhannya adalah tergerusnya jati diri dan identitas kebangsaan.
“Ketiga, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan 17.504 pulau yang terbentang pada cakupan wilayah seluas hampir 5,2 juta kilometer persegi, menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya potensi sumber daya. Misalnya sumberdaya laut, merujuk data Badan Pangan Dunia/FAO, potensi lestari sumber daya ikan laut Indonesia diperkirakan 12,54 juta ton per tahun,” ujar Bamsoet dalam kuliah umum di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Yogyakarta, Selasa (15/12/20).
Turut hadir antara lain anggota MPR RI/Komisi X DPR RI Robert J Kardinal, anggota MPR/Komisi VII DPR RI Gandung Paradiman, pendiri UPN Yogyakarta Prof. Bambang Soeroto, Rektor UPN Veteran Yogyakarta Dr. Irhas Effendi dan Ketua Senat sekaligus Dekan Fakultas Teknologi Mineral Prof. Dr. Sutarto.
Ketua DPR RI ke-20 ini menekankan, ketiga faktor tersebut harus membuat Indonesia lebih memperhatikan implementasi bela negara agar tidak tergilas kompetisi global. Ditambah berbaurnya ancaman militer dan non militer yang telah mendorong terciptanya dilema geopolitik dan geostrategis yang sulit diprediksi. Apalagi konsepsi keamanan nasional telah mengalami pergeseran paradigma. Ancaman tak lagi bersifat kasat mata, melainkan bersifat kompleks, multidimensional, serta berdimensi ideologis.
“Ancaman yang bersifat ideologis hadir dalam beragam fenomena. Antara lain berkembangnya sikap intoleransi, tumbuhnya radikalisme dan terorisme, hingga munculnya sikap disintegrasi dan separatisme. Melalui derasnya arus globalisasi yang menembus batas teritorial, ancaman ideologis tersebut semakin terasa nyata. Nilai-nilai asing yang merasuk melalui globalisasi mulai menggeser nilai-nilai ke-Indonesiaan,” tegas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini memaparkan, survey CSIS mencatat sekitar 10 persen generasi milenial setuju mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Sebelumnya, survey LSI Tahun 2018 juga mencatat dalam kurun waktu 13 tahun, masyarakat yang pro terhadap Pancasila mengalami penurunan sekitar 10 persen, dari 85,2 persen pada tahun 2005 menjadi 75,3 persen pada tahun 2018.
“Hadirnya berbagai ancaman terhadap ideologi bangsa tidak dapat kita respon hanya dengan cara konvensional. Misalnya hanya dengan memperkuat kekuatan militer dan persenjataan, atau membangun benteng pertahanan fisik untuk memagari wilayah nusantara. Implementasi bela negara juga harus menjadi langkah terintegrasi pada semua lini dan menyentuh seluruh aspek. Di sinilah pentingnya membangun benteng ideologi,” papar Bamsoet.
Wakil Ketua Umum SOKSI ini menegaskan, sesuai amanat Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Dalam menghadapi ancaman militer, Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan berada di garda terdepan sebagai komponen utama, didukung komponen cadangan dan komponen pendukung bela negara.
“Sedangkan menghadapi ancaman non militer, maka lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan akan tampil sebagai komponen utama, sesuai bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi. Didukung unsur lain dari segenap komponen bangsa, termasuk kalangan perguruan tinggi,” tegas Bamsoet.
Wakil Ketua Umun Pemuda Pancasila ini menjelaskan, UU No.3/2002 tentang Pertahanan Negara mengatur keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara. Dapat di implementasikan melalui berbagai cara. Pertama, pendidikan kewarganegaraan, dimana materi wawasan kebangsaan dan kesadaran bela negara sudah tercakup di dalamnya. Kedua, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, yang diselenggarakan sesuai kebutuhan.
Ketiga, pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib. Keempat, pengabdian sesuai profesi, di mana setiap warga negara yang mempunyai profesi tertentu untuk kepentingan pertahanan negara, dapat berkontribusi dalam bela negara.
“Upaya bela negara, selain sebagai hak dan kewajiban dasar, juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab,” pungkas Bamsoet. **(*/WN-VM).**