Oleh : Germanus S. Atawuwur
Alumnus STFK Ledalero, Flores, NTT
Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih,
KUPANG : WARTA-NUSANTARA.COM-Hari Raya Natal kembali kita rayakan di tahun ini. Kita berbagai dalam situasi yang kurang menggembirakan karena masih didera rasa kecemasan akan terpaan corona virus. Belum lagi erupsi gunung berapi, menambah derita perjalanan hidup kita. Namun, apapun situasi kita terkini, entah menggembirakan atau menyedihkan, entah menyenangkan atau menyusahkan, suka tidak suka, senang tidak senang, kita tetap merayakan Natal.
Karena Natal bukan cuma soal perayaan peringatan kelahiran Yesus tetapi juga sebagai penyadaran akan pemuliaan martabat manusia di satu pihak dan di pihak lain adalah perayaan solidaritas Tuhan dengan manusia yang rela menjadi manusia dan berdiam di antara kita. Ketika hadir sebagai manusia. Dia yang Maha Tinggi ternyata hadir kini dalam palungan binatang, berselimut sehelai lampin. Sang Maha Kaya, ternyata kemudian terlihat begitu miskin, bahkan paling miskin di orang-orang miskin. Rupa manusia yang diambil-Nya dengan masuk dalam manusia yang paling miskin, melarat dan sederhana serta diam bersama kita, adalah model pemuuliaan martabat manusia oleh Allah sendiri. Bahwa siapapun Anda, entah miskin entah kaya, entah buta huruf atau profesor sekalipun, punya strata sosial tinggi atau hanya seorang sahaya, entah memiliki harta bertumpuk ataukah hanya seorang gelandangan, semuanya adalah orang kekasih Allah yang terlampau berharga di Mata-Nya, karena kita semua adalah kepunyaan Allah(Yes.43:4).
Saudara-saudara, DIA yang dijumpai oleh para Gembala, hari ini oleh penginjil Yohanes disebutnya sebagai Firman.Penginjil Yohanes menulis:” Pada mulanya adalah Firman. Yohanes memakai kata Firman (dari bahasa Yunani: Logos) untuk menekankan bahwa Firman itu adalah Seorang Pribadi dan sekaligus adalah Sebuah Pesan, sebagaimana dijelaskan dalam Ibrani 1: 1-2 , “ Setelah pada jaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya yang tunggal.”
Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita. Kata “diam” dari kata Yunani yg memiliki arti “berkemah,” atau memasang kemah, “mendirikan kemah”. Ini adalah gambaran yang indah sekali karena mengingatkan kita kepada Kemah Suci di padang gurun (Kel. 25:8-9). Kemah Suci itu adalah lambang penyertaan Tuhan bagi Israel di padang gurun. Tuhan menyertai umat-Nya dan “berkemah” bersama dengan mereka. Dahulu, Israel hanyalah bangsa budak yang melayani Mesir, tetapi setelah Tuhan menyatakan diri kepada mereka, identitas mereka berubah. Mereka bukan lagi budak Mesir, melainkan umat dari Allah yang Mahakuasa. Umat dari Allah yang telah menaklukkan semua dewa-dewi Mesir (Kel. 12:12, 18:11) dan menjadikan Israel anak sulung-Nya (Kel. 4:22-23), serta yang senantiasa menyertai Israel di dalam perjalanan mereka melalui Kemah Suci-Nya di tengah-tengah Israel.
Penyertaan Allah melalui Kemah Suci ini ternyata hanyalah simbol untuk sesuatu yang lebih besar lagi.Ketika Israel telah tiba di Kanaan dan dipimpin oleh raja yang takut akan Tuhan, mulai muncul rencana untuk membuat Kemah Suci menjadi Bait Suci (2Sam. 7:2-5). Tetapi Tuhan tidak mengizinkan Daud yang membangun Bait Suci. Salomolah yang kemudian mendirikan Bait Suci. Tetapi, sebagaimana dikhotbahkan Stefanus, apakah Allah akan berdiam di dalam bangunan buatan tangan manusia (Kis. 7:48-49)? Tidak. Bait Suci pun hanyalah simbol.
Simbol dari apakah? Simbol dari kehadiran Tuhan yang akan menaklukkan raja-raja (Dan. 2:44-45), sekaligus simbol dari Sang Raja itu sendiri (Yoh. 2:19-21). Maka, ketika Yohanes memakai kata “diam” (berkemah) di antara kita, menunjuk pada seseorang yang lebih besar dan agung yakni Tuhan Yang Maha Tinggi yang telah hadir dalam rupa manusia yang paling hina untuk hadir dan menyertai kita, dalam seluruh romantika dan dinamika hidup manusia, yang berkehendak baik dan yang percaya kepada-Nya. Dia itulah Yesus Putra Tunggal Allah.
Bila Allah hadir beserta kita sekarang ini, kini dan di sini (hic et nunc) maka kita adalah orang-orang yang turut melihat Kemuliaan Allah, kemuliaan yang diberikan kepada Yesus sebagai Anak Tunggal Bapa (ayat 14 c). Kemuliaan itu artinya keagungan, kewibawaan, kemegahan. Arti harfiahnya “berbobot” dari kata Ibrani kabod asalnya dari istilah sepasang timbangan dagang yang berar dan ”berat”, “berbobot”. Karena berat dan berbobot maka tentu berharga dan bernilai. Maka setiap orang yang melihat kemuliaan Tuhan dalam diri Putra Tunggal-Nya sejatinya adalah orang-orang yang telah terpapar keagungan, kewibawaan dan kemegahan Tuhan sendiri. Dan karena itu dia mustinya berbobot. Dia bernilai, dia bermutu. Dia berkwalitas.
Saudara-saudaraku,
Kita yang percaya pada Yesus, tidak serta merta memandang kemuliaan Allah hanya karena kita sebagai pengikut-Nya. Tidak sesederhana itu. Melalui kedatangan Allah ke dunia, DIA kemudian memanggil kita keluar dari persembunyian dosa. Kita harus ikuti panggilan-Nya dengan bergerak datang kepada Yesus, seperti para Gembala yang datang menjumpai Yesus di kandang Betlehem. Oleh karena itu, jangan keraskan hati oleh karena egoisme kita, jangan dikalahkan oleh perbudakan dosa irihati dan keserakahan, jangan sembunyi dalam kegelapan mental yang materalis dan hedonis. Jangan larut dalam retorika mimbar, tetapi Natal adalah panggilan kemanusiaan serentak panggilan ekologis, untuk membuat segala sesuatu menjadi sangat baik adanya (Kej. 1:31).
Jadi, kita dituntut untuk harus “lahir kembali” dari dosa. Kita harus menjadi manusia baru. Menjadi manusia natal, agar kita turut melihat kemuliaan Yesus Kristus melalui Firman Tuhan dan mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan, Anak Allah yang Tunggal, Allah yang telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia (Yoh 1: 9). Terang itu adalah Firman yang telah menjadi manusia dan diam di antara kita.
Comments 1