Oleh : Germanus S. Atawuwur
Alumnus STFK Ledalero, Flores, NTT
Kotbah Minggu Biasa VI / 2021/B
Imamat 13:1-2.44-46; 1 Korintus 10:31–11:1.
Injil Markus 1:40-45
KUPANG : WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari, tiga minggu berturut-turut, kita mendengar cerita tentang Yesus menyembuhkan orang sakit. Hari ini yang disembuhkan adalah seorang yang berpenyakit kusta.
Menurut orang Yahudi sebagaimana dilukiskan dalam bacaan I. Orang yang sakit kusta harus berpakaian yang cabik-cabik, rambutnya terurai dan ia harus menutupi mukanya sambil berseru-seru: Najis! Najis! Selama ia kena penyakit itu, ia tetap najis; memang ia najis; ia harus tinggal terasing, di luar perkemahan itulah tempat kediamannya.
Demikian perlakukan orang Yahudi terhadap penderita kusta diasingkan dari keluarga dan masyarakat. Selain karena takut tertular, menurut hukum Musa orang kusta adalah najis (Im 13-14), sehingga menjadi stigma di masyarakat kalau penyakit ini adalah kutukan Allah. Itu sebabnya maka dalam injil tadi, si kusta meminta supaya ia ditahirkan (disucikan), bukan disembuhkan seperti yang lazimnya.
Sebab ia menjadi “buangan” dari orang-orang yang dikasihi, dari lingkungannya, ia kehilangan semua kesempatan dalam hidup; kesempatan berkumpul dengan keluarga, kesempatan bersosialisasi, bekerja, beribadah, dll. Sehingga banyak di antara mereka yang didapati meninggal dunia, bukan karena penyakit kustanya, tetapi karena siksaan batin yang luar biasa menghadapi dampak ganda dari penyakit itu. Dimana ia seolah-olah merasa “dihukum” Allah dan juga manusia.
Perlakuan orang Yahudi terhadap penderita kusta di atas memang amat kejam. Mereka mengucilkan orang-orang seperti itu. Karena mereka takut akan menjadi tidak kudus. Makanya penderita kusta selalu mereka kucilkan tempat tinggalnya jauh dari kota, mereka dilarang masuk ke kota apalagi rumah ibadat. Jika ada orang di sekitar mereka, mereka juga wajib berteriak-teriak “Najis… najis… najis…” Agar orang banyak tidak mendekati mereka. Kepada penderita kusta juga seperti itu, mereka bukan takut ketularan penyakit itu saja, tapi yang paling utama mereka takut menjadi tidak kudus di hadapan Allah.
Penderita kusta di zaman Yahudi masih terus berlangsung hingga zaman Yesus. Injil hari ini menceritakan kisah berani dari seorang yang berpenyakit kusta. Ia berani mendobrak aturan Yahudi, – Taurat Musa -. Bahwa mereka adalah orang-orang kutukan Allah, karena itu harus teralienasi. Mereka harus diasingkan dari masyarakat. Mereka bukan lagi menjadi some body, melainkan no body. Demi pengakuan eksistensinya sebagai manusia citra Allah, dia berani dekati Yesus. Ia berlutut sambil memohon:”Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.”
Orang ini gunakan kata tahirkan yang berarti kuduskan aku, sucikan aku. Dia tidak gunakan kata sembuhkan aku. Maka, orang kusta itu merasa yang paling tersiksa adalah bathinnya. Jiwanya. Karena ketika dia dikucilkan, dia kehilangan kesempatan untuk beribadat memuji Allah. Dari itu dia minta Yesus, kuduskanlah aku. Dia merasa dalam masa pengasingannya, jiwanya ikut terbuang dari intimitas kudus-mesra dengan Tuhannya. Maka permintaannya adalah:”Jika Engkau mau, tahirkan aku!”
Mendengar permintaannya itu, Yesus dengan spontan menaruh belaskasihan.
Belaskasih itu kemudian terekspresi dalam bahasa tubuh-Nya. Ia mengulurkan tangan-Nya dan menjamah orang itu. Kemudian Dia berkata:”Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu mukjizat penyembuhan terjadi, lenyaplah penyakit kusta orang itu, dan ia menjadi tahir.
Tindakan Yesus mengulurkan tangan dan bahkan menjamah orang kusta, adalah tamparan keras terhadap banyak orang yang mengikuti Dia. Bagi mayoritas orang itu, orang kusta patut disingkirkan. Dia tidak boleh ada dalam kebersamaan dengan “orang-orang sehat.”
Perbuatan Yesus mau mengingatkan orang banyak, – juga kita yang mendengar dan membaca teks ini- bahwa komunikasi hati, jumpa personal harus tetap dibangun, apapun kondisi manusia itu. Tindakan Yesus mengulurkan tangan dan bahkan menjamahnya mau menerangkan kepada kita bahwa penyakit apapun itu, bukan kutukan Allah. Maka manusia yang menderita penyakit apapun itu, tidak bisa tidak harus disapa dalam komunikasi hati. Maka tindakan Yesus sebenarnya Dia menyambung kembali komunikasi yang telah terputus akibat tradisi Yahudi.
Bapa, ibu, saudara-saudari yang terkasih,
Masih adakah penderita kusta di zaman post modern ini? Masih adakah perlakuan mengasingkan para penderita kusta? Penderita kusta di zaman super canggih ini nyaris tidak dijumpai lagi. Namun setahun belakangan ini muncul penyakit yang langsung mendunia. Banyak nyawa sudah jadi korban. Itulah virus corona, atau tenar disebut covid-19 yang hingga hari ini tetap menjadi musuh yang tidak kelihatan, yang selalu menghantui manusia sejagat, – termasuk kita yang hadir di sini -.
Virus ini sungguh-sungguh aneh. Yang terserang virus ini diisolasi dan dirawat khusus, tetapi di saat yang sama manusia yang sehat yang mustinya mengunjungi orang sakit, malah harus mengkarantinakan diri. Kebiasaan saling kunjung-mengunjungi orang sakit di rumah-rumah sakit lenyap seketika. Bahkan menjadi semakin aneh, karena manusia yang sehat pun tidak harus saling bertemu. Kita saling mengurung diri di dalam rumah masing-masing. Kegiatan kita pun dibatasi. Fakta ini menggugurkan teori bahwa manusia ada homo homini socius, hari ini sudah berubah rupa jadi homo homini lupus. Manusia yang dulu mengagungkan diri sebagai makhluk sosial sekarang ini, ambruk di hadapan corona virus. Kita berkotbah tentang man for other, – manusia altruis – manusia yang berbela rasa, demi untuk selamatkan diri dan sesama, tidak bisa tidak, kita menjadi manusia individualistik, – penyelamatan diri – adalah utama.
Karena penyelamatan diri demi orang lain adalah yang utama maka yang tersisa kini adalah Kebiasaan Hidup Baru. Hidup berdampingan dengan “musuh yang tak kelihatan.” Dengan itu penerapan protokol kesehatan menjadi mutlak penting: Wajib Memakai Masker bila Keluar Rumah, Mencuci Tangan Pakai Sabun dengan Menggunakan Air Mengalir dan Menjaga Jarak Sosial / Menjaga Kontak Fisik, dengan menghindari kerumunan adalah syarat mutlak yang tidak bisa tidak, harus dipatuhi bila ingin selamat. Hanya orang-orang yang memiliki disiplin tinggi akan terbebaskan dari wabah ini.
Saudara-saudaraku, hadirnya pandemi corona virus membuat hidup normal telah berlalu. Yang normal sudah berakhir. Kita masuk dalam era Tatanan Hidup Normal Baru. Dengan kata lain, kita sedang berada dalam suasana abnormal. Dalam suasana ini, baik para penderita covid-19 maupun kita yang sehat, kita semua saling mengisolasi diri. Kita saling memandang dari kejauhan. Kita tidak ada lagi dalam satu kawanan domba. Maka sejatinya, kita semua, – anda dan saya – adalah Penderita Kusta dalam injil hari ini.
Kalau kita menyadari diri sebagai penderita kusta, maka pantaslah dalam situasi corona virus ini kita datangi Tuhan dalam kesendirian kita, kita sambangi DIA dalam kesunyian malam, kita bertelut sambil mengulangi kata-kata si kusta:”Yesus, kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.”
Tuhan, kalau Engkau mau, lenyapkan corona virus yang sangat berbahaya ini! Kami mohon Tuhan, Ulangilah Mujizat Penyembuhan-Mu, sekarang ini, kini dan di sini!! ***