Oleh : Germanus S. Atawuwur
Alumnus STFK Ledalero, Flores, NTT
KUPANG : WARTA-NUSANTARA.COM-Hari ini kita membuka Masa Puasa dengan menerima abu sebagai tanda tobat. Penerimaan Abu sebagai Simbol Pertobatan sekaligus menyatakan credo kita pada Injil.
Hari Rabu Abu tahun ini adalah pengalaman baru kita merayakannya dalam suasana pandemi corona-virus. Kita merayakannya dalam era Tatanan Hidup Normal Baru yang suka tidak suka, harus hidup “berdampingan” dengan vovid-19 musuh bebuyutan itu.
Maka pertanyaannya adalah, bagaimana bentuk pertobatan kita dalam suasana pandemi virus corona ini? Bentuk dan cara puasa serta pantang mana yang masih bisa kita jalankan, sementara sudah dalam banyak hal kita harus membatasi diri, mengurangi kerja dan sumber mata pencaharian kita, bahkan menanggung duka dan derita karena tidak berdaya menolong orang lain. Malahan orang-orang kita yang sedang sepi sendirian di ruang isolasi pun tidak bisa kita dampingi dan tidak bisa kita turut mengusung peti jenazahnya ke tempat peristirahatannya?
Pertama, kita menyadari kerapuhan diri kita. Mungkin karena kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan umat manusia, kita merasa diri kuat, mampu menjamin kesejahteraan umat manusia, mampu menjamin hidup manusia sampai usia paling lanjut. Mungkin kita merasa diri aman karena semua yang kita butuhkan dan kita inginkan ada tersedia. Tahu-tahu virus korona menggoncangkan semua. Yang kaya raya pun tidak bisa tertolong dengan satu tabung oksigen. Dari masyarakat biasa sampai penguasa dan pejabat tinggi, siapa saja bisa dibuat tak berdaya oleh virus yang halus itu.
Kedua, kita menyadari bahwa tidak ada kepastian bagi kita dalam banyak hal. Seseorang mungkin merasa diri baik-baik saja, tidak ada tanda-tanda kejangkitan, tetapi sekali berbaur dengan orang banyak ia dapat kena virus. Tidak ada kepastian mengenai ekonomi keluarga dan negara, tidak ada kepastian kapan anak-anak kita bisa ke sekolah kembali, dan bagaimana masa depan mereka? Tidak ada kepastian kapan kita bisa merealisasikan agenda kerja yang tertunda terus karena kita tidak bisa berkumpul, kapan kita bisa berkunjung satu sama lain. Dalam ketidakpastian itu, timbul banyak hal yang merusak hubungan: emosi tinggi, masa bodoh, goncang kepercayaan kepada pemimpin dan bahkan kepada Tuhan.
Ketiga, kita menyadari bahwa antara kita ada saling bergantung. Kita bergantung secara mutlak pada Tuhan, kita bergantung pada tenaga medis dan pada satu tabung oksigen, kita bergantung pada pemerintah dan lembaga-lembaga sosial yang menyalurkan bantuan; dan sebaliknya, sukses pelayanan petugas-petugas kesehatan bergantung pada disiplin masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan. Kita disadarkan bahwa kita tidak bisa hidup sendiri. Pandemi ini membuat kita menerima dengan rendah hati bahwa kemandirian dan otonomi kita, hanya bisa terwujud dalam ketergantungan satu sama lain.
Keempat, kita menyadari betapa pentingnya kerja sama, solidaritas dan bela-rasa. Untuk menghadapi serangan virus, kita diingatkan berulang-ulang agar kita saling mendukung, kerja sama, merasakan kecemasan dan penderitaan sesama, dan mengulurkan tangan untuk saling membantu.
Pertanyaannya adalah, bagaimana kita,- dalam kerapuhan, ketidakpastian, kebergantungan, kerja sama dan solidaritas-, mewujudkan pertobatan kita? Tiga pokok utama yang selalu dianjurkan agar dilaksanakan lebih cermat pada masa puasa, yaitu berdoa, berderma dan berpuasa. Bagaimana dalam masa pandemi virus corona ini pokok-pokok utama itu kita laksanakan?
Pertama, berdoa. Berdoa adalah ungkapan pertobatan yang utama. Sebab dengan berdoa kita ganti arah; kalau kegiatan kita sehari-hari membuat kita lebih terarah pada diri kita dengan segala urusannya, maka dengan berdoa kita berbalik dari diri kita dan mengarahkan diri kepada Tuhan. Kesempatan Ibadat di Rumah pada masa pandemi ini hendaknya kita menghayatinya secara positif dan disiplin dengan memanfaatkan kesempatan itu untuk membuat keluarga kita menjadi “Gereja Rumah-tangga”. Keluarga adalah Gereja kecil, ”Eklesia Domestika.” Pandemi ini membuat kita menghayati kata-kata Yesus:” Bila hendak berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, kuncilah pintu dan berdoalah.”
Kedua, memberi derma dan melakukan amal-kasih adalah ungkapan pertobatan dari orang yang bersyukur kepada Tuhan atas segala kebaikan-Nya, dan meneruskan kebaikan Tuhan itu kepada orang lain dengan derma, bantuan sosial, sumbangan atau apa pun juga namanya. Pendeknya bertobat artinya tahu memberi dan bukan hanya tahu menerima. Dalam masa pandemi ini kita menyaksikan betapa kuat semangat memberi yang diperlihatkan pemerintah dan masyarakat kita. Pemerintah pusat dan instansi-instansi di bawahnya masih terus merancang dan merealisasikan bantuan sosial, entah berupa bahan makanan, atau bantuan tunai, bantuan obat-obatan dan vaksin.
Supaya derma, sedekah atau amal kasih itu sungguh menjadi tanda pertobatan sejati, Yesus menunjukkan bagaimana sikap dan cara memberi. Berilah dengan diam-diam. Jangan mencanangkannya di jalan-jalan atau melalui media sosial dan konferensi pers; karena semua itu bisa jadi dilakukan dengan hasrat untuk memperoleh pujian dan kekaguman. Tetapi berilah dari hati, dan apa yang dibuat tangan kananmu, jangan diketahui tangan kirimu. Dahulukanlah orang kecil yang sungguh miskin yang pasti tidak mampu membalas kebaikanmu, dengan itu kamu memperlihatkan kasih yang sejati, yaitu berbuat baik tanpa menuntut balas. Berbela-rasalah dalam senyap. Nasihat-nasihat Yesus itu jelas maksudnya: Bertobat itu artinya janganlah berorientasi pada kepentinganmu sendiri, tetapi kepada Tuhan dan sesama.
Ketiga, berpuasa. Puasa merupakan ungkapan pertobatan dari orang yang merindukan kebahagiaan dan sukacita dalam Tuhan. Kita tidak boleh melonggarkan ikatan puasa dengan barang-barang duniawi, dengan makanan dan minuman, dan dengan semua yang hanya mendatangkan kenikmatan sesaat dan semu. Puasa harus dimaknai sebagai satu bentuk pertobatan, motivasinya juga harus berorientasi pada Tuhan dan bukan demi diri sendiri. Yesus mencela sikap lahiriah orang yang memperlihatkan wajah yang lesuh agar kelihatan bahwa ia sedang berpuasa; sebaliknya, kata Yesus, orang yang menjalankan puasa hendaknya menyegarkan mukanya dan meminyaki kepalanya agar orang lain tidak melihat bahwa ia sedang berpuasa.
Berkenaan dengan Masa Puasa ini, saya menyetir kata-kata Paus Fransiskus berikut ini:
“Puasa dari mengatakan hal-hal menyakitkan, gantinya menggantikan kata-kata yang baik;
Puasa dari kesedihan dan ganti jadi penuh syukur;
Puasa dari kemarahan, dan ganti jadi penuh kesabaran;
Puasa dari pesimisme, dan ganti jadi penuh harapan;
Puasa dari kekhwatiran, dan ganti jadi menaruh kepercayaan pada Tuhan;
Puasa dari mengeluh, dan gantinya merenungkan kesahajaan;
Puasa dari tekanan, dan gantinya penuh doa;
Puasa dari kegetiran, dan penuhi hatimu dengan sukacita;
Puasa dari egoisme, dan ganti jadi penuh belaskasih,
Puasa dari dendam, dan ganti menjadi didamaikan;
Puasa dari banyak omong, dan ganti jadi saat-saat hening.” ***