Oleh : Germanus S. Atawuwur
Alumnus STFK Ledalero, Flores, NTT
KUPANG : WARTA-NUSANTARA.COM-Kejadian 9:8-15; 1 Petrus 3:18-22. Injil: Markus 1:12-15 Bapa, ibu, saudara-saudariku,
Pada Minggu Pra Paskah I ini kita dengar dalam bacaan I tentang:”Busur Allah yang ditaruh Allah sendiri di awan.” Ada ahli tafsir Kitab Suci yang menganalogikan “busur” itu dengan Pelangi. Mereka kemudian menjelaskan lebih jauh makna teologis-biblis dari kehadiran pelangi itu. Bahwa pelangi adalah tanda perjanjian Allah. Pelangi adalah tanda bahwa Allah tidak meninggalkan manusia dan ciptaan-Nya. Pelangi adalah tanda Allah sendiri yang memulihkan luka-luka manusia. Bahwa Pelangi adalah tanda kasih setia Allah yang bestari.
Dalam Kejadian 9:12-13, Allah berfirman: “Inilah tanda perjanjian yang Ku-adakan antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, yang bersama-sama dengan kamu, turun-temurun, untuk selama-lamanya: Busur-Ku Ku-taruh di awan, supaya itu menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi.”
Istilah pelangi digambarkan dalam kitab Kejadian 9 seperti “busur seorang pemanah”. Busur adalah senjata perang yang ditakuti, karena dapat melukai lawan walaupun di tempat yang sangat jauh dan tersembunyi. Namun dalam kitab Kejadian ini disebutkan bahwa Allah sendiri meletakkan senjatanya seraya mengumumkan damai. Senjata perang diubah menjadi tanda perdamaian. Senjata yang seringkali melukai, membuat musuh takut, gentar dan bersembunyi, sekarang dipakai sebagai alat perdamaian sorga dan bumi. Bahkan tanda itu dipakai sebagai alat pemulihan luka-luka manusia dan ekologi. Tanda ini perkasa menghias bumi dengan warna-warna indah menawan kalbu.
Pelangi sesudah air bah melambangkan kasih pemeliharaan
Sang Khalik yang melengkung di atas segala ciptaan”. Memang Air bah, bukan bencana alam semata, tapi bermula dari bencana moral yang nyata sebagaimana kita baca dalam Kejadian 6:5-6b: “Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata,maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya”. Maka kemudian dirancangkan-Nya Allah membasmi manusia melalui Air Bah.
Namun sebagaimana janji Allah, DIA tidak membasmi manusia dengan segala ciptaan-Nya. Karena itu Allah sendiri mengutus Putra Tunggal-Nya untuk menyelamatkan manusia melalui missi yang dipercayakan Tuhan kepada-Nya.
Injil hari ini mencatat missi itu mulai dilaksanakan Yesus dengan terlebih dahulu menyiapkan diri di Padang Gurun. Mengapa Roh harus membawa Yesus ke Padang Gurun? Ada apa di Padang Gurun? Bukankah di Padang Gurun hanya ada kekeringan dan kegersangan? Tetapi mengapa musti di Padang Gurun? Bukankah tempat itu dipenuhi dengan pasir, daerah berbatu, tidak ada pohon, dan tidak ada air dan yang ada cumalah fatamorgana? Lalu, mengapa musti di padang gurun?
Dalam Perjanjian Lama Tuhan suka berbicara kepada manusia di padang gurun. Kepada Musa IA memberikan “sepuluh perintah” di padang gurun. Dan ketika bangsa Israel menjauhkan diri daripada-Nya, menjadi mempelai yang tidak setia, Allah bersabda : “Lihatlah, Aku akan memikatnya, dan membawanya ke padang belantara, dan berbicara dengan lembut kepadanya. Dan di sana ia akan menjawab seperti pada masa mudanya (Hos 2:16-17).
Ternyata di padang gurun orang merasakan hanya kesunyian. Cuma ada keheningan. Maka padang gurun menjadi tempat yang cocok untuk mendengarkan Sabda Allah. Dalam keheningan padang gurun Yesus membangun intimitas yang kudus dengan Bapa-Nya dalam doa (bdk. Luk. 5:16).
Pasca berjumpa dengan Bapa-Nya dalam intimitas-Nya yang kudus di padang gurun, Yesus berangkat ke Galiela untuk melaksanakan missi-Nya di depan umum. DIA memberitakan Injil Allah, kata-Nya: “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.
Saudara-saudara….. mencontohi puasa Yesus, kita pun sedang berada dalam Masa Puasa, masa perjalanan empat puluh hari menuju Paskah, menuju pokok Tahun Liturgi dan pokok iman kita. Kita berpuasa selama 40 hari. Dalam puasa itu tentu banyak ragam cobaan. Kita bisa saja ada dalam kelompok tukang gosip untuk menggosip tentang orang lain, apalagi didasari atas suka atau tidak suka; Mungkin saja hari ini kita masih tergoda untuk menghina orang lain. Kita barangkali masih tenggelam dalam kata-kata kosong, suka pamer dan publisitas diri dan ketenaran, kita suka menyebar berita-berita bohong alias hoax. Mungkin juga kita masih selalu tergoda untuk memeras lingkungan dengan penebangan hutan rimba. Tetapi kita juga selalu lalai untuk membuang sampah di sebarang tempat. Kita benar-benar kurang peduli pada lingkungan.
Sadar akan segala kelemahan, kekurangan bahkan dosa-dosa manusia inilah, penginjil hari ini mengajak kita untuk “pergi” ke “Padang Gurun.”
Karena Padang Gurun adalah tempat keheningan, di mana kita secara batin bebas untuk mendengarkan sabda Tuhan dan mengalami panggilan-Nya yang penuh kasih. Di dunia kita yang sibuk, betapa kita membutuhkan keheningan seperti itu, untuk bertumbuh dalam keterbukaan yang penuh doa kepada Allah, menumbuhkan ekologi hati dan memusatkan hidup kita pada hal-hal yang sungguh penting serta menjadi manusia alturis, – menjadi sesama untuk bersesama-.”
Keheningan padang gurun membuat kita semua lebih peka terhadap orang-orang yang berada di tengah-tengah kita yang diam-diam berteriak meminta tolong dan pengobaran semangat kita. Masa Prapaskah ini, semoga doa, puasa, dan karya belas kasih kita memperkuat tekad kita untuk mengikuti Tuhan dalam perjalanan-Nya melalui Jumat Agung menuju Minggu Paskah, dan memungkinkan kita untuk memahami kuasa kasih karunia-Nya, yang dapat membuat setiap padang gurun menjadi taman kehidupan yang baru. Maka padang gurun adalah tempat yang hakiki. Karena daripadanya kita menemukan wajah Yesus yang berada di samping kita!
Jadi, puasa sebenarnya adalah berjalan menuju hal-hal yang hakiki dan mengusahakan indahnya sebuah kehidupan yang lebih sederhana dengan senantiasa berjuang untuk selalu menghindari godaan-godaan.
Padang gurun adalah tempat kesendirian. Hari ini juga, dekat dengan kita, ada begitu banyak padang gurun. Mereka adalah orang-orang yang sendirian dan ditinggalkan. Berapa banyak orang miskin dan lanjut usia di samping kita dan hidup dalam keheningan, tanpa berteriak, terpinggirkan, dan tercampakkan. Mereka semua ada dalam minoritas bisu! Padang gurun menuntun kita kepada mereka, kepada semua orang yang, terbungkam, meminta pertolongan kita dalam keheningan. Orang-orang yang sakit baik akibat virus corona maupun penyakit lainnya, orang-orang yang ditinggalkan oleh para kekasih mereka, dan mengalami depresi lantaran jenasah korban covid dikuburkan tanpa ritus agama dan ritus adat adalah kelompok kecil yang dalam keheningan dan kesendiriannya membutuhkan perhatian kita.
Pada gilirannya Padang Gurun akhirnya menghantar kita untuk mengalami Busur Pelangi Kasih Allah yang melingkupi hati kita agar kita hidup dalam moral yang baru, untuk bertekad menciptakan lingkungan yang humanis: yang selalu mengandalkan Tuhan, berlaku jujur dan adil, hidup rukun dan damai, menjadi manusia yang peduli pada sesama dan care pada lingkungan. Padang Gurun pada akhirnya menghantar manusia mengalami Busur Pelangi Kasih Allah melalui pertobatan altruis dan bertindak selaras alam. ***