Oleh : Germanus S. Atawuwur
Alumnus STFK Ledalero
KUPANG : WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih,
Hari ini kita memasuki Minggu Pra Paskah IV. Minggu Pra Paskah IV disebut juga Minggu Laetare, Hari Minggu Sukacita. Pertanyaannya adalah Apa dasarnya kita bersukacita? Mengapa kita harus bersukacita di masa tobat ini? Inikah yang disebut dengan sukacita pertobatan?
Kita tentu memiliki alasan mengapa hari ini disebut sebagai Minggu Sukacita. Alasan pertama, karena kita sudah berhasil melewati tiga minggu masa pra paskah. Dalam tiga minggu itu, kita sudah berhasil masuk dalam “padang gurun” kesunyian diri kita untuk bertemu dengan Allah Bapa yang telah mengumumkan Putra Tunggal-Nya sebagai “Anak yang Dikasihi-Nya yang Patut Didengarkan.” Karena Putra-Nya itu patutlah didengarkan, maka “kemarahan suci” yang dinyatakan Yesus di Bait Allah, telah berhasil tidak saja karena mengusir para pedagang itu pergi dari Bait Suci, tetapi lebih dari itu, bahwa Bait Suci telah dikembalikan fungsinya menjadi Rumah Tuhan, Rumah Doa.
Alasan yang kedua adalah karena warta sukacita khusus dalam bacaan II dan bacaan Injil yang kita dengar tadi. Dalam bacaan II Paulus menulis surat kepada jemaatnya di Efesus bahwa Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita. Oleh kasih karunia Tuhan kita diselamatkan di dalam Kristus Yesus.” Melalui jalan penderitaan dan salib itulah Yesus Putra-Nya ditinggikan dan kita yang percaya kepada Dia yang ditinggikan itu diselamatkan Allah. Kita yang diselamatkan Allah mendapat hidup yang kekal, demikian intisari injil hari ini. Inilah alasan utama, mengapa akhirnya kita harus bersukacita pada minggu pra paskah IV ini.
Pertanyaannya adalah, apakah yang dimaksudkan dengan kata “kekal” pada diksi memperoleh hidup yang kekal? Kata “kekal” bukan saja mengacu kepada keabadian. Kekal tidak saja juga dimengerti sebagai sesuatu yang tiada akhirnya, tetapi kekal juga berkiblat kepada kualitas kehidupan. Kualitas kehidupan yang dimaksudkan di sini adalah Kehidupan Ilahi, kehidupan yang membebaskan kita dari kuasa dosa dan Iblis serta meniadakan yang duniawi di dalam diri kita supaya kita dapat mengenal Allah (bd. Yoh 8:34-36). Kualitas kehidupan ilahi, artinya selalu memandang Allah, selalu merujuk pada-Nya, mengikuti seluruh ajaran-Nya. Ajaran-Nya sebagai pelita bagi kaki dan terang bagi langkah hidup kita, sebagaimana dilukiskan dalam Mazmur 119:105:” Firman-Mu adalah pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku. Bahwa Firman Tuhan menjadi pelita bagi kaki kita dan serentak itu pula menjadi suluh pada jalan kita. Maka arah jalan kita, titik tujuan kita, hanya pada Allah, yang pada hari ini telah mengangkat Putra Tunggal-Nya menjadi Sumber Keselamatan. Inilah sumber sukacita kita yang terdalam. Inilah alasan kita untuk bersukacita. Inilah dasarnya Gereja Katolik membaptis Minggu Pra Paskah IV sebagai Minggu Laetare, Minggu Sukacita.
Saudara-saudaraku, kita tidak boleh berhenti pada sukacita hari ini. Sukacita kita harus menjadi sukacita abadi. Dia harus jadi sukacita kekal. Dan untuk mencapai sukacita kekal, tidak bisa tidak, satu-satu jalan adalah menjadi Anak Terang. Anak Terang berarti harus selalu memandang kepada Sang Terang yang telah Datang Ke Dunia untuk Menjadi Penyelamat Manusia. Atau dalam injil Yohanes,” Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat. Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak; tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah.”
Dengan kata lain, kita tidak boleh mengasihi kegelapan, kita tidak boleh menikmati dosa dan imoralitas (bdk. Rom 1:18-32; Fili 3:19; 2Tim 3:2-5; 2 Pet 2:12-15).
Dosa yang paling sering dilakukan umat Allah sepanjang sejarah penebusan ialah selalu berpihak pada orang-orang yang fasik. Fasik berarti menunjukkan ketidaksetiaan kepada Allah dan karenanya mencemarkan rumah Tuhan. Dampaknya yang menyedihkan ialah kebinasaan umat Allah karena mereka menyesuaikan diri dengan cara-cara fasik dunia ini (2Taw 36:5-21).
Kita juga sering masuk dalam kategori orang fasik maka kita masih saja bergelimang dalam noda dosa. Namun pada hari ini, kini dan di sini, kita mendengar Allah yang Meninggikan Putra Tunggal-Nya untuk menyelamatkan manusia yang percaya kepada-Nya, sebagaimana Musa meninggikan ular tembaga di padang gurun. Setiap orang Israel yang dipagut ular tedung, bila memandang Ular Tembaga itu mereka akan tetap hidup. Demikian pun manusia yang telah tercemar dalam dosa, Dia akan selamat bila percaya pada Yesus yang ditinggikan di atas Kayu Salib. “Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.”
Maka kita sebagai pengikut Kristus tidak boleh memandang salib sebagai simbol penghinaan atau tanda kebodohan, melainkan diyakini sebagai Tanda Keselamatan, karena daripadanya bergantung Tubuh Suci, Yesus Kristus Putra Allah, satu-satunya Juruselamat kita. ***