Oleh Germanus S. Atawuwur
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK), Ledalero, Flores,NTT
KUPANG : WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudariku yang terkasih,
Waktu terus bergulir pergi dan tibalah kita pada minggu pra paskah V, minggu menyongsong Minggu Sengsara. Maka terlihatlah di depan kita, Salib dan patung-patung suci ditutup dengan kain ungu. Penyelubungan ini diatur dalam dokumen gereja yang berjudul “Perayaan Paskah dan Persiapannya” yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat Ilahi pada tanggal 16 Januari 1988.
Tentu kita bertanya, mengapa Salib dan patung-patung diselubungi dengan kain ungu? Alasannya, agark kita focus untuk merenungkan suasana pertobatan dan pengampunan serta merefleksikan penderitaan Yesus sebagaimana kita dengar dalam bacaan injil Yoh 12:20-33 tentang Biji gandum yang harus mati agar menghasilkan buah banyak.
Karena menjadi pekan terakhir masa pra paskah maka hendaknya menjadi pekan yang lebih intens untuk memasuki Pekan Suci, yang diawali dengan Minggu Palma.
Sedangkan kebiasaan menyelubungi gambar-gambar/patung-patung suci karena kebiasaan itu membantu kita untuk memusatkan pikiran pada hal penting yaitu karya penebusan Kristus.
Pada minggu pra paskah V ini kita mendengar nubuat nabi Yeremia dalam bacaan I yang menyampaikan secara tegas tentang “Perjanjian Baru.” Dari nubuat itu kita dapat menarik kesimpulan bahwa Allah tidak memutuskan perjanjian-Nya dengan bangsa Israel sebagai akibat pemberontakan mereka, tetapi Tuhan malah berinisiatif dengan memperbarui perjanjian Sinai, yang telah dilanggar oleh umat-Nya dengan suatu perjanjian yang baru.
Isi perjanjian itu sama, yaitu Allah tetap menjadi Allah bagi umat Israel (Yer. ay.33b), tetapi beda pada medium pembaruan janji. Pada perjanjian Sinai, janji Allah ditulis pada dua loh batu yang kemudian dikembangkan menjadi hukum tertulis (Yer.ay.32), yaitu Taurat. Sedangkan pada perjanjian yang baru, Allah menuliskannya langsung pada hati dan batin umat-Nya (ay.er. ay.33a). Allah mengetahui bahwa hati adalah sumber segala perbuatan dosa dan kenajisan (Mat.15:18-19). Jika hati seseorang tidak diubahkan maka sepanjang hidupnya orang tersebut akan berkanjang dalam dosa.
Perjanjian Baru itu telah digenapi melalui kelahiran, kematian, dan kebangkitan Tuhan Yesus, serta turunnya Roh Kudus di hari Pentakosta. Allah melalui Tuhan Yesus menyapa langsung kehidupan kita dan menyucikan hidup kita dari dosa, sementara itu Roh Kudus
menjaga hati kita untuk tetap setia dan mengenal Allah dengan benar.
Perjanjian Baru itu digenapi dan dimeteraikan melalui jalan kelahiran, kematian serta kebangkitan yang akan dialami oleh Yesus sebagai Model Pemuliaan Allah bagi Putra-Nya sebagaimana dinyatakan dalam injil tadi. “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, j ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini , ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal.”
Di sini, Yesus berbicara tentang kematian-Nya sebagai suatu pemuliaan dan bukan sebagai suatu tragedi. Dia mengajarkan murid-murid-Nya bahwa jalan mencapai keberhasilan adalah melalui penderitaan dan kematian (Yoh 12:24).
Jadi, pemuliaan Yesus di Tabor yang disingkap dalam injil beberapa minggu silam, tidak berhenti di sana, tetapi dilanjutkan lagi pada pemuliaan Kristus oleh Bapa untuk kedua kalinya. Pemuliaan yang kedua adalah pemuliaan melalui jalan salib dan penderitaan yang harus dilewati Yesus, yakni dari Tabor menuju Getsemani. Dari Getsemani menuju Golgotha. Dari Golgotha kembali kepada rahim pertiwi, kemudian bangkit jaya dari orang mati.
Dalam bacaan II digambarkan penulis surat Ibrani tentang derita Getsemani. Penulis menulis bahwa:” Dalam hidup-Nya sebagai manusia,Yesus telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan. Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya.”
Tragedi Getsemani yang dialami oleh Yesus, pun dilukiskan dalam injil:” Sekarang jiwa-Ku terharu dan apakah yang akan Ku-katakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam dunia saat ini. Yesus tidak lari dari lara yang getir itu. Karena Dia sadar, inilah jalan ketaatan-Nya sebagai Anak untuk memuliakan Bapa-Nya. Karena itu Dia berdoa kepada Bapa-Nya dengan doa yang sedemikian singkat:” Bapa, muliakanlah nama-Mu!”
Jalan derita untuk memuliakan Tuhan sekaligus menyelamatkan manusia ternyata diganjari Bapa-Nya pada saat itu juga. Injil mencatat, begitu mendengar doa singkat Putra-Nya, terdengarlah suara dari sorga:”Aku telah memuliakan-Nya, dan Aku akan memuliakan-Nya lagi!”
Kepada orang banyak yang hadir di situ, mendengar suara itu tetapi salah mengenal suara itu, Yesus berkata:” Suara itu telah terdengar bukan oleh karena Aku, melainkan oleh karena kamu. Dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku, karena di mana Aku berada, di sana pun kamu berada.”
Yang dimaksudkan dengan perkataan Yesus, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku adalah orang-orang baik Yahudi maupun Yunani (non Yahudi), – kita semua – yang percaya kepada Kristus yang telah dimuliakan Bapa-Nya melalui kelahiran, kematian dan kebangkitan-Nya demi untuk menyelamatkan manusia. Manusia yang telah diselamatkan Yesus karena percaya kepada Yesus itulah kemudian dimeteraikan Perjanjian Baru oleh Tuhan dalam bathin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku. Ketika kita sudah menjadi umat Tuhan maka saat itu pula kita berada bersama Yesus; karena di mana Yesus berada, di sana pula kita berada.
Di mana Yesus berada, di sana pula orang-orang berada, hanya dialamatkan kepada mereka yang taat beriman kepada Yesus dan berkomitmen pribadi untuk mengikuti Dia, menaati semua ajaran-Nya, termasuk mengikuti Yesus dengan cara menyangkal diri dan memikul salibnya. Itulah makna terdalam dari kata-kata Yesus dalam penggalan injil yang saya kutip dalam awal kotbah tadi:” Jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja.”***