ADVERTISEMENT
google.com, pub-9566902757249236, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Kotbah Minggu Palma 2021/B “Diberkatilah Dia Yang Datang Dalam Nama Tuhan”

Oleh : Germanus S. Atawuwur

Alumnus STFK Ledalero, Flores

Yes. 50:4-7; Flp. 2:6-11; Mrk. 14:1- 15:47

google.com, pub-9566902757249236, DIRECT, f08c47fec0942fa0

KUPANG : WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari,
Masih ingatkah kita bahwa setahun silam kita merayakan Minggu Palma dalam kesendirian di rumah masing-masing karena daerah ini mulai dilanda pandemi corona virus? Sampai hari ini, corona virus belum juga menghilang, bahkan telah berulang tahun di pertiwi ini. Namun demikian, sebagai makhluk beriman dan berakal budi, kita tidak boleh “dikalahkan” pandemi itu. Maka dari itu pemerintah mengajak kita untuk memulai tatanan hidup baru, yakni hidup “berdampingan” bersama covid-19 dengan lebih ketat lagi mempraktekan sejumlah protokol kesehatan. Karena itulah maka kita sudah bisa melaksanakan perayaan-perayaan keagamaan di rumah-rumah ibadat, termasuk Perayaan Minggu Palma tahun ini.

Minggu Palem adalah perayaan kenangan Yesus memasuki Kota Suci Yerusalem untuk menyongsong sengsara dan wafat-Nya, sebagaimana dilukiskan secara dramatis dalam Markus 11:1-11. Kisah dramatik ini begitu melekat di benak kita. Dari sekian banyak kisah di alkitab, baru kali ini Yesus disambut begitu meriah.

RelatedPosts

Dengan menunggangi seekor keledai pinjaman, Yesus disambut bak raja dan pahlawan oleh orang-orang Yahudi yang menghamparkan pakaiannya di jalan, menyebarkan ranting-ranting hijau sambil meneriakkan : “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud, hosana di tempat yang maha tinggi!”

Saudara-saudaraku,
Teriakan kata ‘hosana’ dari mulut orang banyak itu, mengandung arti politis. Kata itu sendiri berasal dari istilah Ibrani “hosyiana” yang berarti “tolonglah, selamatkan kami sekarang!”
Orang Yahudi ketika itu secara politis mereka sedang berada dalam penjajahan Romawi. Karena itu mereka memiliki harapan besar pada Yesus untuk menjadi penyelamat yang membebaskan mereka secara politis dari rezim itu. Mereka sedang menantikan seorang raja sebagai penolong dan penyelamat mereka dari penjajahan itu.

Mengapa harapan besar itu musti tertuju kepada Yesus dan bukannya kepada figur yang lain? Karena di mata orang-orang Yahudi, Yesus itu luar biasa hebat. Bagi mereka, Yesus adalah figur yang cocok, karena Nama Besar dengan perbuatan-perbuatan besar-Nya sudah dietahui oleh semua orang Yahudi.
Mereka kenal Yesus sebagai DIA yang telah berkeliling sambil berbuat baik. DIA mampu membuat mukjizat-mukjizat: menggandakan roti, mengusir roh jahat, menyembuhkan orang sakit dan bahkan membangkitkan orang mati. Karena “kehebatan” yang dimiliki Yesus inilah maka orang Yahudi berharap DIA adalah satu-satunya Raja yang cocok bagi mereka untuk membebaskan mereka dari penjajahan Romawi.

Saudara-saudara… harapan mereka ini justru bertentangan dengan missi perutusan Yesus. Mereka seharusnya sudah sadar saat menyambut Yesus di Gerbang Yerusalem. Bahwa ketika memasuki kota Yerusalem, Yesus bukan menunggangi seekor kuda sebagai lambang kekuasaan dan kejayaan, tetapi Yesus dengan sadar memilih menunggangi keledai. Keledai yang nota bene adalah hewan pemikul beban, hewan yang dicap lemah dan bodoh tetapi memiliki simbol kesederhanaan dan perdamaian.

Kehadiran Yesus dengan menunggangi keledai adalah penggenapan nubuat Zakharia, yang mengatakan: “Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai Puteri Sion. Bersorak-soraklah, hai Puteri Yerusalem! Lihat Rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda.”

Walaupun kedatangan-Nya hanya dengan seekor keledai pinjaman, namun kita bisa membayangkan kemeriahan warga Yerusalem yang menyambut kedatangan Yesus di Gerbang Yerusalem. Di sekitar Gerbang Yerusalem menjadi lautan manusia.

Pawai kebesaran ini bukan suatu kebetulan. Yesus memperlihatkan kepada semua orang, siapa Dia sebenarnya, sebelum Ia masuk dalam penderitaan dan kematian-Nya di salib. Ia datang dalam kesehajaan dan kemiskinan-Nya untuk menyongsong kemuliaan Salib. Dia memulai penderitaan-Nya itu dari Kota Suci Yerusalem, sebagaimana dilukiskan dalam bacaan I. ”Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku , dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi. Karena Tuhan ALLAH menolong aku.”

Yesus menyongsong penderitaan-Nya dengan terlebih dahulu mengosongkan diri-Nya sebagai manusia, agar DIA benar-benar masuk dan merasakan duka dan penderitaan, lara dan getir, keresahan dan kecemasan yang dialami oleh manusia zaman itu, tidak terkecuali juga oleh kita yang sedang berada dalam kecemasan lantaran pandemi corona virus yang belum juga lenyap dari muka bumi.

Yesus benar-benar mengosongkan diri-Nya sebagai Manusia yang Paling Miskin, sebagaimana dilukiskan dalam bacaan II. “DIA telah mengosongkan diri-Nya sendiri , dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia . Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”

Berkiblat pada bacaan I dan II itulah maka dapatlah kita katakan bahwa Yesus masuk kota Yerusalem dengan menunggangi keledai pinjaman bukan untuk mencari kemegahan kekuasaan. DIA tidak mencari nama besar dan pujian; DIA juga tidak mencari muka dan popularitas diri, apalagi dengan mengorbankan orang lain. Karena Yesus sadar bahwa semuanya itu percuma, sia-sia, tidak ada arti, semu, tidak penting. Bagi Yesus adalah melaksanakan kehendak Bapa-Nya, taat dan setia sampai wafat di salib, sebagaimana yang dilukiskan dalam Kisah Sengsara Tuhan Yesus.

Jadi, Yesus datang bukan dengan misi politis. DIA tidak datang untuk menjadi penguasa yang dilayani, tetapi DIA datang dengan kesederhanaan, semangat melayani dan memberi diri. Ia datang ke Yerusalem dengan pandangan tertuju pada salib, melaksanakan kehendak Bapa-Nya, bersedia menderita dan sengsara karena cinta kasih-Nya pada manusia. Ia rela melakukannya untuk mendatangkan damai sejahtera dan keselamatan bagi dunia. DIA datang untuk menyongsong Kemenangan Salib. Kemenangan Salib itu telah disimbolkan dengan Daun Palma yang menjadi kemenangan martir atas maut. Maka ketika Kristus disambut dengan Daun Palma di tangan menunjukkan hubungan daun palem sebagai simbol kemenangan Kristus atas dosa dan kematian.

Saudara-saudara, apa yang harus kita timba dari kisah suci ini? Bahwa Yesus rela mengosongkan diri-Nya menjadi manusia bahkan menjadi hamba demi keselamatan kita, maka kita pun dituntut demikian. Kita harus menjadi manusia yang punya manfaat untuk orang lain. Untuk itu kita perlu membangun kepedulian bersesama, teristimewa di masa pandemi corona virus ini. Kita bangkit untuk segera menolong orang-orang yang kandas kehidupan ekonomi rumah tangganya lantaran terhempas oleh badai covid-19. Kita mewujudkan iman akan Kristus Yang Menderita dalam diri orang-orang yang papa, para pasien covid-19 maupun pasien lainnya dan mereka yang sedang berada di balik jeruji besi. Dengan memberi diri bagi kebahagiaan sesama, teristimwa pada masa pandemi ini, sejatinya, kita telah mengamalkan tema APP 2021:” Semakin Beriman, Semakin Solider.”

Related Posts

Next Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *