Oleh : Germanus S. Atawuwur
KUPANG : WARTA-NUSANTARA.COM-Kel. 12:1-8.11-14; I Kor. 11:23-26; Injil Yoh. 13:1-15, ibu, saudara, saudari yang terkasih,
Malam Perjamuan Terakhir memiliki beberapa ritus unik. Ada pembasuhan kaki para murid, ada prosesi sakramen Mahakudus yang disusul dengan pentakhtaan dan pemberkatan sakramen, ada pengosongan altar dan ada tuguran/doa bergilir untuk berjaga-jaga bersama Kristus, untuk berpartisipasi dalam doa Yesus di Taman Getsemani guna menghadapi penderitaan-Nya. Kebiasaan-kebiasaan ini, ada yang tidak dilaksanakan hari ini lantaran terpaan corona virus. Maka Perayaan Perjamuan Malam Terakhir, dirayakan dalam kesederhanaan namun tidak menghilangkan hal prinsip dan mendasar dalam liturgi ini.
Berkenaan dengan hari raya ini, bacaan-bacaan suci menampilkan kisah yang sewarna. Kisah Perjamuan, yang dimulai dari Keluaran. Bahwa Perjamuan Malam Pertama yang dilaksanakan oleh orang-orang Yahudi di zaman itu, adalah perintah Tuhan sendiri. “Hari ini akan menjadi hari peringatan bagimu. Kamu harus merayakannya sebagai hari raya bagi TUHAN turun-temurun. Kamu harus merayakannya sebagai ketetapan untuk selamanya.”
Penetapan Perjamuan Terakhir oleh Tuhan ini kemudian menjadi sebuah kewajiban yang harus patuhi pengikut Kristus turun-temurun. Oleh karena itu maka secara tegas Paulus mengatakan dalam bacaan II tadi:” Sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya dan berkata: “Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!” Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!” Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.”
Sedangkan dalam injil, kita dengar lukisan Perjamuan Malam Terakhir secara baru yang dilakukan oleh Yesus. Perjamuan Malam ala Yesus didahului dengan kisah dramatis, Yesus membungkuk untuk membasuh kaki murid-murid-Nya.
Pembasuhan kaki sebagai tanda kasih tiada bertepi, tiada pilih kasih, kasih yang tidak lekang di makan zaman. Ia bestari abadi. Kekal-sempurna. Selain itu, Pembasuhan Kaki, melayakan seseorang, membuat pantas murid-murid-Nya untuk “duduk dan makan bersama Yesus,” pada meja perjamuan yang satu dan sama.
Yang hanya bisa makan bersama Yesus adalah orang yang bersih raganya bersih dan hatinya suci. Karena itu maka Yesus katakan kepada Petrus, “Tidak semua kamu bersih.”
Selain itu, yang hanya bisa duduk semeja perjamuan bersama Yesus adalah para loyalis yang memiliki dedikasi tinggi demi keselamatan manusia. Tidak boleh ada pengikut Kristus yang setengah-setengah, apalagi menjadi pengkhianat, sebagaimana narasi singkat penginjil Yohanes: “Mereka sedang makan bersama, dan Iblis telah membisikkan rencana dalam hati Yudas Iskariot, anak Simon, untuk mengkhianati Dia.”
Atas fakta di atas, Yesus hendak mengingatkan murid-murid-Nya bahwa hanya kaum loyalis, hanya mereka yang memiliki total komitmen seperti diri-Nya, dia layak disebut sebagai pengikut Kristus.
Jadi pembasuhan kaki, tidak serta merta dan begitu sederhana dipahami sebagai yang bersih jiwa-raganya, tapi lebih dari itu adalah pembaruan janji setia untuk selalu ada bersama Yesus, terlebih-lebih ketika Yesus mengalami sengsara dan penderitaan yang sedemikian keji.
Lalu, apa makna dari perjamuan malam terakhir sebagaimana yang dinyatakan oleh Paulus dalam bacaan II? “Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!” Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!”
Bahwa seseorang, – siapapun dia -, selain murid-murid-Nya, yang memakan “Tubuh-Nya” dan minum dari “Darah-Nya” dia dituntut untuk selalu setia dalam segala situasi, tak terkecuali situasi ketika ada derita yang datang menghadang. Untuk keselamatan manusia, demi hajat hidup orang banyak, siapapun dia, yang telah menjadi kuat karena makan tubuh dan minum darah Yesus, dia tidak boleh melarikan diri dan meninggalkan bahkan menelantarkan “doma-domba.” Dia sejatinya menjadi yang pertama dan utama, berdiri pada garda paling depan demi untuk menyelamatkan sesama.
Maka, pasca makan dan minum Tubuh dan Darah Yesus membuat pengikut-Nya menjadi kuat untuk mengamalkan sekurang-kurangnya tiga hal berikut ini:
(1). untuk mempertunjukkan kepada murid-murid-Nya betapa besar kasih-Nya kepada mereka; Karena itu dia rela mengambil peran sebagai Hamba untuk membasuh kaki Yesus lalu mengeringkannya sendiri.
(2) untuk memberikan gambaran tentang pengorbanan diri-Nya di salib
Kata-kata, “Ambillah dan makanlah, inilah Tubuh-Ku yng dikurbankan untukmu; ambillah dan minumlah. Inilah piala darah perjanjian baru dan kekal yang akan ditumpahkannya bagimu”, menunjuk kepada pembasuhan rohani dari dosa melalui salib. Terlepas dari pembasuhan ini tidak ada seorang pun dapat menjadi milik Kristus (1Yoh 1:7).
(3) Untuk menyampaikan kebenaran bahwa Dia meminta para murid-Nya saling melayani dengan kerendahan hati. Keinginan untuk menjadi yang terbesar senantiasa mengganggu pikiran mereka (Mat 18:1-4; 20:20-27; Mr 9:33-37; Luk 9:46-48).
Kristus menginginkan agar mereka sadar bahwa keinginan untuk menjadi yang pertama – menjadi lebih unggul dan dihormati lebih dari orang Kristen lain – adalah bertentangan dengan sifat Tuhan mereka.
Saudara-saudaraku, apa pesan khusus untuk kita yang masih berjibaku dengan badai corona virus yang terus mengancam?
Bahwa pasca mengambil bagian dalam perjamuan suci ini, kita dituntut mengamalkan pesan-pesan sakral Yesus pada perjamuan terakhir:” Jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu, sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. “
Maka pelajaran pertama yang kita dapatkan adalah bahwa sesudah kita yang sudah makan dan minum Tubuh dan Darah Yesus malam ini, kita wajib melayani sesama. Kita harus menjadi pelayan bagi yang menderita papa. Kita melayani dengan sungguh hati. Kita melayani dengan total, bila perlu sampai titik darah penghabisan. Itulah korban Golgotha.
Pelajaran yang kedua. Pasca makan Tubuh dan Darah Kristus. Kita harus jadi kuat untuk menyongsong perjalanan nun jauh, dari Taman Getsemani, hingga Bukit Golgotha. Perjamuan Malam Terakhir membuat kita terus berkanjang untuk senantiasa memandang Dia Yang Tersalib di Golgotha. Singkat kata, Tubuh dan Darah Yesus, menyertai kita dalam duka derita, dalam lara dan nestapa kita semua, teristimewa yang percaya pada Yesus Sang Juruselamat.
Pelajaran ketiga: adalah pelajaran Kasih. Kasih yang diteladankan Yesus adalah kasih tanpa pamrih. Kasih di luar perhitungan kepentingan diri. Kasih menunjuk kepada yang lain menjadi paling utama, baru kemudian diri sendiri, sebagaimana kata-kata yang pernah dilontarkan Yesus pada kesempatan yang lain:”Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kasih yang altruis. Kasih yang tidak mementingkan diri. Dan musti diingat, kasih itu tidak setengah-setengah. Kasih itu total. Sampai titik darah penghabisan, sebagaimana korban Yesus di Salib, yang menjadi patron, yang menjadi model dari pengorbanan kita yang didasari atas pamrih Kasih. Marilah kita merayakan perjamuan suci ini untuk menimbah kekuatan agar dapat berpartisipasi dalam perjalanan derita Yesus, dari Getsemani menuju Golgotha.