Germanus Attawuwur
Warga Kota Kupang, NTT
KUPANG : WARTA-NUSANTARA.COM–I. Pengantar. Pengantara : Tepatnya Hari Minggu tanggal 28 Maret 2021, penduduk negeri yang katanya menghormati kebhinnekaan ini, kembali dikagetkan dengan bom bunuh diri yang dilakukan oleh sepasang suami istri di Gereja Kathedral Ujung Pandang tatkala umat katolik baru saja menyelesaikan Misa Mengenangkan Yesus Masuk Kota Yerusalem sebagai Raja, dengan hanya menunggangi seekor keledai pinjaman. Hari itu bertepatan dengan Hari raya Minggu Palma Umat katolik. Namun sayang, kisah sakral itu ternoda oleh ulah oknum intoleran, kaum radikal.
Kisah tragis ini, seolah tenggelam diteladan Badai Siklon Seroja yang melanda sebagian wilayah Nusa Tenggara Timur, persis seminggu setelah pengeboman gereja itu.
Beraneka cacian, hujatan, sumpah serapah dan kutukan yang ditujukan kepada para pelaku pengeboman itu seolah-olah lenyap seketika, dan kemudian direduksi dengan gerakan berbela rasa, gerakan solidaritas sebagai tanggap darurat atas bencana dahsyat yang melanda provinsi, yang saban hari “digelari” Nanti Tuhan Tolong.
Aksi peduli bersesama ini semakin giat dilakukan oleh anak-anak bangsa ini dengan tidak pandang suku, agama, ras dan golongan. Gerakan kemanusiaan ini menembus batas pemisah dari sekat-sekat itu, karena nilai kemanusiaan itu universal.
Sepertinya riak-riak pengeboman gereja kudus itu sudah berakhir. Namun mengapa penulis memunculkan kembali dalam tulisan kecil ini? Tentu penulis tidak bermaksud untuk memprovokasi pembaca atas kasus yang telah terjadi melainkan penulis semata-mata menulis hal ini untuk memperkenalkan Nagai, sang ilmuwan nan humanis tetapi sekaligus sebagai seorang mistis, guru spiritual yang telah berhasil membuat ‘perjalananan iman’ sebagai sebuah sebuah kisah sepanjang hidupnya untuk menabur kasih dan melakukan perbuatan melayani sesama yang kala itu terhempas oleh bom Nagasaki.
Sebagai guru spiritual, ia membuat refleksi pasca bom Nagasaki yang meluluh-lantahkan kerukunan dan kebersamaan orang-orang Jepang kala itu.
II. Sedikit Tentang Nagai.
Referensi penulis untuk mengenal figur ini secara singkat berasal dari buku Sebuah Lagu Untuk Nagasaki, terjemahan Pastor Dr. Gregorius Neonbasu, MA, SVD yang diterjemahkan dari buku A Song for Nagasaki, karya Pastor Paul Glynn, SM. Pastor Paul Glynn, SM, bekerja di Jepang selama 25 tahun. Selama berkarya di negeri Sakura, beliau bertemu dan berkenalan cukup baik dengan Dokter Nagai hingga pada akhirnya menulis buku secara khusus untuk tokoh ini.
Pertanyaannya, siapakah sosok ini sehingga seorang pastor berkenan menulis sebuah karya yang terinspirasi dari seluruh perjalanan hidupnya?
Nagai Takashi adalah seorang warga negara Jepang. Beliau seorang Dokter. Beliau adalah ahli radiologi yang bekerja pada Departemen Radiologi negara Jepang. Nagai lahir dari keluarga medis, keluarga penganut Shinto yang taat. Ia tamatan Universitas Medis, Nagasaki dengan predikat magna cum laude tahun 1932. Sejak saat itulah superioritas pengetahuan berdasarkan ratio menghancurkan kepecayaan kepada Shinto.
Selama tahun 1930-an, Nagai menjalani wajib militer sebagai anggota medis di medan perang China. Ia kemudian kembali ke Jepang dengan memperoleh sebuah medali sebagai penghargaan pemerintah Jepang kepada beliau karena keberaniannya yang luar biasa dan keyakinannya yang mendalam: “darah para serdadu dan kaum sipil yang terluka adalah sama, entah itu orang China atau orang Jepang atau orang lain.”
Ketika beliau dibebaskan dari wajib militer dia kembali ke universitasnya untuk memberikan kuliah dan mengadakan riset dan menjadi Dekan Radiologi di Nagasaki.
Suatu ketika secara mendadak ia masuk ke dalam Gereja Kathedral dan bertemu dengan seorang pastor. Dia bertemu dengan Pastor Moriyama. Nagai lalu meminta pengajaran agama Katolik. Pasca mendapat “pelajaran” agama Katolik sebagai seorang katekumen, beliau kemudian dipermandikan.
Nagai kemudian menikah dengan seorang gadis keturunan – “orang-orang katolik yang tersembunyi,” Midori namanya. Mereka menjalani kehidupan berkeluarga secara bahagia. Namun sayang, untung tak dapat dirai, malang tak dapat ditolak. Terjadi Bom Nagasaki tanggal 8 Agustus 1945. Tentara Sekutu membombardir kota Nagasaki dengan bom atom. Dalam tragedi itu, istrinya Midori yang dengan setia menemaninya tewas akibat ledakan bom itu. Dalam suasana yang mencekam itu, Dokter Nagai dengan keinginan yang membara tetap membantu korban ledakan bom atom; meskipun beliau sendiri menderita radiasi berat. Dalam kondisi seperti itu, ia membangun sebuah pondok literasi dan mulai menulis.
III. Membaca Pengeboman Gereja Kathedral Ujung Pandang Dari Refleksi Nagai.
Sebagaimana dilukiskan di atas, Istri Nagai, Midori adalah salah satu korban bom atom milik tentara Sekutu. Dia sendiri juga mengalami radiasi berat. Selain menulis buku dan artikel dalam pondok literasinya, tak lupa pula beliau selalu berdoa dan berrefleksi. Baginya doa adalah jalan termulus untuk mencari dan berjumpa dengan Tuhan. Hal itu menjadi mungkin bila manusia bertelut di hadirat-Nya dan penuh kepercayaan menyerahkan segala-galanya dalam Tangan dan Penyelenggaraan Tuhan (Gregor Neonbasu., Sebuah Lagu Untuk Nagasaki, hal.8). Karena kepercayaannya yang penuh dan total pada Penyelenggaraan Ilahi inilah maka setiap hari dia selalu menempatkan diri untuk selalu berada di hadirat Tuhan.
Itulah sebabnya maka beliau senantiasa percaya pada kekuatan doa yang ikhlas bahwa dengan berdoa secara tulus diiringi kepercayaan yang ikhlas pada Tuhan yang hidup akan perlahan-lahan membuka hati manusia terhadap segala macam kesulitan, kegelapan, penderitaan, sakit hati dan putus asa serta segala sesuatu yang tidak menyenangkan sebagai satu “jalan” menuju Rahmat baru yang dipersiapkan oleh Tuhan sendiri.
Sebagai seorang mistikus yang telah jadi korban bom Nagasaki, dia membuat refleksi. Beliau mengaitkannya dengan kerukunan dalam hidup bersama dan ke-damai-an. Sang Ilmuwan yang humanis dan patriot itu dalam refleksinya mengatakan bahwa “damai” sering tak nampak karena penguasa, politisi (atau siapa saja yang terlampau ingat diri) memperalat kerinduan rakyat biasa akan perdamaian. Damai sejati bagi masyarakat akan baru terwujud apabila ada “gerakan jujur” yang disponsori oleh mereka yang mencintai keadilan, mereka yang sabar dan penuh cinta, yang disemangati oleh komitmen untuk melayani sesama, yang selalu mengorbankan kepentingan pribadi (yang selalu melawan ingat diri), dan mereka yang bertobat untuk melayani Tuhan dan orang lain. (ibid, hal. 9)”
Berdasarkan refleksi kritis dari Dokter Nagai kita dapat menarik kesimpulan bahwa pengeboman Gereja Kathedral Ujung Pandang adalah gerakan ketidakjujuran yang ditampakan oleh pelaku atau bahkan mungkin juga jaringannya, untuk memporak-porandakan kerukunan dalam hidup bersama dan pada gilirannya melenyapkan rasa keadilan kolektif.
Sementara itu di lain pihak, (saya merumuskannya dalam bentuk pertanyaan), apakah di negara ini sudah tidak ada lagi orang yang mensponsori “gerakan jujur” untuk menciptakan kedamaian di tengah pluralitas bangsa ini?
Pada akhirnya semoga derita dan perih-piluh secara psikoligs yang dialami oleh segelintir umat katolik paroki Kathedral Ujung Pandang akan perlahan-lahan membuka hati manusia yang masih merancang kejahatan untuk berjalan kembali menuju rahmat baru, rahmat pertobatan yang senantiasa dipersiapkan oleh Tuhan sendiri.