Oleh : Germanus S. Attawuwur
PENGANTAR.
WARTA-NUSANTARA.COM–Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sudah diundangkan oleh DPR dan Presiden pada tanggal 30 April 2008. Jadi sudah tiga belas (13) tahun undang-undang itu ada di republik ini. Sebagaimana peraturan perundangan lainnya, pada bagian Ketentuan Penutup selalu dirumuskan bahwa agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya pada Lembaran Negara Republik Indonesia. Itu berarti bahwa begitu undang-undang ini pada Lembaran Negara Republik Indonesia, setiap warga negara “dianggap” sudah mengetahui eksistensi undang-undang ini.
Namun sayang, ternyata tidak semua warga negara Indonesia sudah mengetahui adanya undang-undang ini. Ironisnya, bukan saja masyarakat sipil yang tidak mengetahuinya, tetapi ada juga penyelenggara negara. Bila penyelenggara negara pada badan publik (eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik, lembaga pendidikan tinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat / LSM dan Badan Usaha Milik Negara/ BUMN atau Badan Usaha Milik Daerah / BUMD) mengetahui dengan baik isi dari undang-undang itu, maka badan-badan publik itu mustinya menerjemahkan dengan baik dan benar perintah dari undang-undang itu; salah satunya adalah membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008).
Hadirnya PPID pada setiap badan publik bertujuan untuk mewujudkan pelayan cepat, tepat dan sederhana. Sebab keberadaan PPID ini ada hubungannya dengan partisipasi masyarakat menggunakan haknya untuk memperoleh informasi publik pada badan-badan publik dalam rangka untuk mengawal dan mengawasi tata kelola pemerintahan agar berjalan efektif, efisien, transparan dan akuntabel guna mendukung pemerintahan yang baik dan bersih ( Pasal 3 huruf d)
Jadi, hadirnya PPID sebagai wujud pengakuan badan publik terhadap pemenuhan hak asasi dan hak konstitusinya dalam rangka memperoleh informasi, untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 28F UUD 1945).
Maka hadirnya PPID sebagai pemenuhan kewajibannya terhadap hak asasi masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 F UUD 1945 dan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 2008, yang mengatakan bahwa:” Badan publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik (masyarakat secara perorangan atau lembaga yang berbadan hukum), selain informasi yang dikecualikan dengan ketentuan.”
Pada PPID inilah tersimpan informasi publik menurut klasifikasinya, yakni Informasi Publik yang disiapkan setiap saat, informasi publik yang bersifat serta merta dan informasi publik secara berkala serta informasi publik yang dikecualikan.
UU KIP SEBAGAI TONGGAK SEJARAH.
Hemat saya, lahirnya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik adalah sebuah Tonggak Sejarah. Sebagai tonggak sejarah sebab merupakan sebuah era baru, era terakomodasinya hak asasi dan hak konstitusional masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Mengapa saya menyebut UU KIP sebagai Tonggak Sejarah, sebagai era baru? Karena undang-undang ini lahir pasca gerakan reformasi di negeri ini. Masyarakat sipil dan akademisi, mendesak anggota legislatif dan pemerintahan Dr. H. Soesilo Bambang Yudhoyono agar membuat undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik. Hal ini untuk menciptakan sebuah tata kelola pemerintahan yang lebih partisipatif, dengan melibatkan masyarakat. Partisipasi publik bertujuan untuk mendukung pemerintahan yang baik dan bersih di satu pihak dan pada pihak yang lain, meminimalisir kecendrungan praktek pemerintahan yang bernuansa korupsi, kolusi dan nepotisme.
Selain sebagai Tonggak Sejarah, UU KIP adalah Pedoman Arah. Daripadanya badan publik berkiblat, menjadi kompas untuk mengatur penyelelenggaraan pemerintahan dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
QUO VADIS UU KIP?
Desakan masyarakat sipil dan mahasiswa untuk membentuk UU KIP menunjukan titik terang. Menurut layanan informasi PPID Sekretariat Jenderal DPR RI kita dapat membaca tentang sejarah pembentukan undang-undang ini. Bahwa sejarah Keterbukaan Informasi di DPR sudah dimulai jauh sejak era reformasi, ketika draft Rancangan Undang-Undang tentang Kebebasan Mendapat Informasi Publik (KMIP) diinisiasi oleh DPR periode 1999 – 2004. Pasca penyusunan draft RUU, DPR melaksanakan hearing publik untuk menggalang aspirasi serta masukan dari berbagai pakar dan masyarakat. Hearing publik itu dilakukan sejak 23 Februari 2001, ketika Rapat Pleno Badan Legislasi DPR RI memutusukan pembentukan Panitia Kerja (Panja) RUU KMIP.
Dalam perjalanannya, Rancangan Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik berganti nama menjadi Rancangan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP).
Penyusunan RUU KIP merupakan wujud keseriusan DPR dalam menyediakan kerangka hukum yang kuat untuk menjamin hak atas informasi setiap warga negara Indonesia. Dengan semangat reformasi, DPR mendukung terselenggaranya penyelenggaraan negara yang baik (good governance), yaitu pemerintahan yang mengedepankan prinsip-prinsip akuntabilitas, tranparansi dan partisipasi masyarakat dalam setiap proses pembuatan kebijakan publik.
Undang-Undang ini sudah merayakan Hari Ulang Tahunnya yang XIII, tepat pada tanggal 30 April 2021. Hadirnya undang-undang ini perlu direfleksikan implementasinya dengan pertanyaan:” Quo Vadis Undang-Undang KIP?” Ke mana “Langkah” Undang-Undang KIP? Undang-Undang ini ketika dicermati ternyata hemat saya, perlu dilakukan revisi. Revisi adalah sebuah kemendesakan, bukan saja karena usia undang-undang ini sudah “tua” tetapi lebih dari itu untuk memenuhi hak asasi dan hak konstitusional masyarakat dalam mengawal tata kelola pemerintahan. Selain itu pula, revisi itu untuk menjamin kemandirian dan eksistensi lembaga ini secara nasional.
Pasal-pasal yang mendapat perhatian untuk diubah adalah: 1). Pasal 24 ayat (1). Undang-undang ini dengan tegas mengatur tentang pembentukan Komisi Informasi secara nasional. Namun sayang, perumusannya dalam pasal 24 ayat (1)sangat lemah. Pasal ini mengatur bahwa pembentukan Komisi Informasi Kabupaten/Kota jika dibutuhkan. Diksi jika dibutuhkan adalah sebuah rumusan yang bersifat fakultatif dan tidak tegas, bukan bersifat imperatif/perintah. Maka faktanya, cukup banyak daerah kabupaten/kota di Indonesia tidak memiliki Komisi Informasi. Karena itu pasal ini urgen untuk diubah.
Mengapa? Karena selain mengakomodir hak asasi dan hak konstitusional masyarakat, tetapi juga bahwa hadirnya komisi ini memiliki kewenangan yang besar, yakni menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi. Jadi dalam hal pemenuhan hak ingin tahu masyarakat terhadap tata kelola pemerintahan negara pada sebuah Badan Publik, komisi ini memiliki kewenangan penyelidikan, penyidikan dan memutuskan sebuah Sengketa Informasi Publik. Kewenangan Komisi Informasi ini terlihat maha besar, namun sayang, eksistnesinya tidak sampai mengakar hingga di tingkat kabupaten/kota.
Rumusan pasal 24 ayat (1) juga menjadi sebuah anomali, karena pada beberapa pasal diatur tentang tugas dan wewenang Komisi Informasi Kabupaten/Kota tetapi lembaganya tidak ada alias tidak dibentuk.
Berangkat dari dua fakta di atas maka hemat saya, ayat ini menjadi salah satu alasan revisi Undang-Undang KIP.
2). Pasal 29 tentang Sekretariat dan Tatapengelolaan Komisi Informasi. Pada Pasal 23 sudah diatur bahwa Komisi Informasi bersifat mandiri. Namun sayangnya, dalam tata kelola kesekretariatan justru diatur oleh pejabat yang tugas dan wewenangnya di bidang Komunikasi dan Infromatika (Kominfo) di tingkat provinsi berdasarkan usulan Komisi Informasi. Faktanya, tenaga ASN yang diperbantukan pada Komisi Informasi hanya menjalankan fungsi keuangan sedangkan fungsi yang lain tidak dilaksanakan dengan baik.
Agar komisi informasi benar-benar mandiri dan profesional maka pasal ini patut direvisi dengan mengadopsi tentang kesekretariatan pada Badan Pengawas Pemilu atau KPU.Bila undang-undang ini direvisi secara cermat maka exixtensinya semakin kuat, mandiri, kredibel dan profesional. ***