Oleh : Germanus S. Atawuwur
Alumnus STFK Ledalero
Ul. 4:32-34.39-40; Rm.8:14-17; Injil Mat.28:16-20
WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari, perayaan Pentakosta minggu lalu merupakan minggu terakhir dari seluruh rangkaian masa paskah. Kita pun kembali ke masa biasa dengan liturgi yang biasa pula. Liturgi masa biasa ditandai dengan tema perkembangan kehidupan kristiani penuh pengharapan. Karena itu maka warna liturgi selama masa biasa adalah warna hijau, simbol pengharapan orang kristiani. Diharapkan agar selama masa biasa itu, ada kehidupan dan pertumbuhan, layaknya makhluk hidup ciptaan Allah. Kita mengawali masa biasa dengan merayakan Hari Tritunggal Mahakudus. Pertanyaannya, mengapa masa biasa ini diawali dengan Hari Raya Tritunggal Mahakudus? Bukankah rahasia Tritunggal Mahakudus begitu mulia dan agung, menjulang tinggi dan karenanya tak dapat dijangkau dengan akal budi?
Perayaan Tritunggal Mahakudus, – Sanctissimatrinitas – yang kita rayakan untuk mengawali lingkaran liturgi masa biasa adalah bukan soal angka. Bukan pula soal bilangan. Karena bila tentang angka atau bilangan, maka terkesan ada pemisahan dan seolah-olah angka itu berdiri sendiri, tidak ada saling keterkaitan satu sama lain. Jadi bila berbicara tentang Tritunggal berarti kita berbicara soal ikatan kesatuan cinta kasih yang sangat mendalam; ikatan kasih yang kekal, sempurna dan tak terbatas ruang dan waktu. Ikatan kasih yang tak terpisahkan, jauh melampaui akal budi dan pikiran manusia sehingga manusia secerdas apapun tak mampu memahami misteri Trinitaris itu. Di sini pada akhirnya kita menyadari keterbatasan keinsanan kita dan mengakui keilahian Tuhan.
Sampai di sini, teringatlah saya akan kisah klasik tentang Santu Agustinus. Setiap hari dia berpikir tentang Tritunggal Mahakudus. Bagaimana mengerti dan memahami Tritunggal dengan akal sehat.
Pada suatu pagi, dia berjalan di pesisir pantai berpasir. Sepanjang perjalanannya itu, dia hanya memikirkan tentang bagaimana mengerti dan memahami tentang Titunggal Yang Mahakudus.
Tiba-tiba muncullah di depannya seorang anak kecil. Anak itu mengampirinya dan bertanya:” Tuan, apa yang sedang Tuan pikirkan?” Kepada anak itu dia mengatakan dengan jujur bahwa bagaimana dapat mengerti dan memahami Tritunggal Mahakudus itu?
Setelah mendengar pengakuannya, anak itu memberikan kepadanya sebua ember, katanya:” Pandanglah samudra lautan itu. Ambillah lautan itu dan isilah di dalam ember ini.” Santu Agustinus bertanya kepada anak itu:” Bagaimana mungkin air laut seluas dan sedalam itu dapat diisi hanya dalam ember sekecil ini?”
Kata anak itu:“ Demikian pun tentang Tritunggal Mahakudus yang sedang Tuan pikirkan itu. Bagaimana mungkin Tuan mengerti dan memahami Tritunggal Mahakudus yang seluas samudra lautan itu? Bagaimana mungkin dengan otak mu yang sekecil itu, Tuan mampu mengerti dan memahami Tritunggal? Ia adalah misteri agung, tak terjangkau oleh budi. Maka jalan satu-satunya, adalah mengimani misteri ilahi itu. Karena kita sadar, imanlah yang menolong budi, indra tak mencukupi.
Kisah klasik ini mau menegaskan kepada kita bahwa di hadapan misteri Allah, tidak ada penjelasan yang sempurna dari manusia manapun, selain hanya menaruh sikap hormat dan menyembah dalam keheningan. Hal ini sejalan dengan kata-kata St. Thomas Aquino:” Allah dihormati dalam keheningan karena kita sadar bahwa pengertian kita jauh dari pengertian yang sesungguhnya.” Orang Kristen mencari pengertian dan pada akhirnya masuk dalam keheningan dan penyembahan di hadapan misteri agung Allah. Kita menemukan kebahagiaan tertinggi dalam persatuan dengan Allah. Persatuan ini sudah dimulai di dunia dan menjadi sempurna di Surga kelak. Karena itulah maka pada hari ini, dengan merayakan Tritunggal Mahakudus, gereja memperkenalkan sekaligus menyadarkan kita akan “Samudra Lautan” yang kita sebut Tuhan yang tak mungkin terjangkau dengan indra dan pikiran manusia, selain hanya bila kita secara pribadi menjalin keesaan yang intim mesra dengan Tritunggal dalam keheningan yang kudus.
Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih,
Kita yang berkumpul dalam Perjamuan Suci ini telah dibaptis dalam Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Karena kita telah dibaptis dalam Trinitaris itu maka, hari ini pula Yesus menjadikan kita sebagai duta-duta-Nya. Yesus menjadikan kita sebagai saluran keselamatan-Nya dengan bersabda:” Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.” Ini amanat agung Yesus sendiri yang ditujukan kepada kita semua, tanpa kecuali.
Kata-kata:” Jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka” merupakan Amanat Agung Kristus kepada semua pengikut-Nya dari setiap angkatan. Amanat ini menyatakan sasaran, tanggung jawab, dan penugasan gereja dalam tugas misionernya. Karena itu Gereja harus pergi ke seluruh dunia untuk memberitakan Injil kepada semua orang sesuai dengan pernyataan Kristus dan ajaran para rasul-Nya.
Jadi, tujuan pemberitaan Injil ini adalah untuk memuridkan mereka yang akan menaati semua perintah Kristus. Inilah satu-satunya perintah langsung dalam ayat ini. Kristus tidak bermaksud bahwa penginjilan dan kesaksian para utusan gerejani hanya menghasilkan keputusan untuk bertobat. Artinya, misi perutusan kita diarahkan bukan hanya untuk pertobatan dan pembaptisan untuk memperbanyak jumlah anggota gereja, tetapi lebih daripada itu amanat agung itu untuk memuridkan mereka yang bersedia memisahkan diri dari dunia ini, menaati perintah-perintah Kristus serta mengikut Dia dengan segenap hati, pikiran, dan kehendak mereka (bdk. Yoh. 8:31). Selanjutnya, perlu diperhatikan bahwa Kristus memerintahkan kita untuk memusatkan perhatian pada menjangkau pria dan wanita yang terhilang dan bukan untuk mengkristenkan masyarakat atau menguasai dunia ini. Orang yang percaya harus meninggalkan sistem dunia yang jahat ini serta memisahkan diri dari kebejatannya (bdk. Rm. 13:12; 2Kor 6:14);Singkat kata, amanat agung Yesus yang kita dengar hari ini bukan untuk mengkatolikan orang, melainkan membuat baik semua orang dan membuat baik dunia ini untuk mencapai kemanunggalannya dengan Sang Trinitaris.”
Agar kita konsek
wen dengan amanat agung itu, Yesus menjanjikan jamiman penyertaan-Nya:” Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Janji ini merupakan jaminan penyertaan Kristus bagi kita semua yang terlibat dalam menjangkau jiwa-jiwa yang terhilang dan mengajar mereka untuk menaati prinsip-prinsip-Nya yang benar. Yesus sudah bangkit dan kini Dia hidup serta secara pribadi memperhatikan setiap anak-Nya. Ia menyertai saudara di dalam diri Roh Kudus (Yoh 14:16,26) dan melalui Firman-Nya (Yoh 14:23). Bagaimanapun keadaan saudara — lemah, miskin, rendah, tampaknya tidak penting — Ia memperdulikan kita dalam tugas perutusan itu, Ia memperhatikan setiap pencobaan dan pergumulan yang kita alami dalam kehidupan ini dan memberikan kasih karunia yang memadai (2 Kor 12:9) serta bila telah tiba saatnya, Ia pulalah yang menyertai dan menuntun pulang kita ke rumah Bapa (Mat 18:20; Kis 18:10). Di tempat kudus itulah, kita berada dalam kemanunggalan yang kudus dalam Tritunggal yang Mahakudus. ***