(Refleksi Pemilihan Bupati-Wakil Bupati Sabu Raijua)
Oleh : Germanus Attawuwur
Warga Kota Kupang
WARTA-NUSANTARA.COM-Tanggal 7 Juli 2021, Kabupaten Sabu Raijua melakukan Pemilihan Suara Ulang (PSU). Pemilihan Suara Ulang di era pemilihan langsung seperti ini, seingat penulis, hal ini adalah kejadian pertama di provinsi Nusa Tenggara Timur. Belajar dari pengalaman penyelenggaraan pemilihan serentak yang telah dilaksanakan beberapa waktu silam hingga pada akhirnya hasil pemilihan dianulir oleh Mahkama Konstitusi, penyelenggara pemilu, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Sabu Raijua bekerja dengan cermat dan sungguh-sungguh sesuai dengan sumpah jabatannya, untuk menyelenggarakan pemilihan suara ulang secara jujur dan adil.
Moment persiapan Pemilihan Suara Ulang tinggal menghitung hari. Penulis merasa terdorong untuk menulis opini kecil ini untuk dipersembahkan khusus kepada para penyelenggara pemilu di kabupaten Sabu Raijua, bertepatan dengan masa tenang ini. Penulis dengan sengaja mempublikasikan tulisan pada masa tenang ini sebagai bahan untuk merefleksikan tugas, fungsi dan kewenangannya, bahwa selama ini, apakah tugas dan kewenangan itu dilaksanakan dengan cermat, sungguh-sungguh, jujur dan adil sebagai konkretisasi dari sumpah jabatannya?
Situasi seperti begini, menarik saya untuk kembali ke masa silam. Di kala itu, tepatnya tanggal 17 Agustus 2016, ketika melantik Pengawas Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota tahun 2016, saya secara sadar mengajak para anggota panwascam se-kota Kupang agar dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangannya mereka harus mencontohi sikap, tindakan dan perkataan nabi Yohanes Pembaptis. Kepada para anggota panwascam saya mengatakan bahwa Anda semua ibarat Yohanes Pembaptis, yang dipilih dan diangkat secara khusus untuk “menyiapkan jalan” untuk walikota dan wakil walikota. Dalam “menyiapkan jalan” itu, Anda semua harus benar-benar meneladani Yohanes Pembaptis, yang diutus Tuhan untuk menyiapkan jalan bagi Yesus. Dalam melaksanakan tugas kenabiannya dia berseru-seru di padang gurun:“ Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya. Setiap lembah akan ditimbun dan setiap gunung dan bukit akan menjadi rata, yang berliku-liku akan diluruskan, yang berlekuk-lekuk akan diratakan (Yes. 40:3-4).”
Apa relevansi dari tugas seorang pengawas pemilu yang sengaja dikaitkan dengan misi perutusan Yohanes Pembaptis? Relevansinya terletak pada kata-kata dan tindakan Yohanes Pembaptis. Relevansi dari kata-kata Yohanes Pembaptis untuk para anggota Panwascam yang dilantik pada waktu itu adalah bahwa dalam melaksanakan tugas pengawasan mereka, para anggota panwascam memiliki kewajiban moral untuk menyiapkan “jalan” bagi proses pemilihan walikota dan wakil walikota Kupang. Bila dalam tugas pelaksanaan mereka menemukan baik itu calon walikota dan wakil walikota, para tim pemenangan maupun masyarakat pemilih dengan sengaja bermain di luar aturan kepemiluan itu artinya bahwa mereka telah berada “di jalan yang tidak lurus”, maka anggota panwascam memiliki kewenangan untuk “meluruskan” jalan mereka. Bila dalam mengimplementasikan tugas dan kewenangannya, dan dijumpai adalah “lembah kekurang-pahaman” para calon, tim pemenangan atau masyarakat pada sebuah regulasi, maka adalah kewajiban anggota panwascam untuk “menimbun kekurang-pahaman” mereka dengan menjelaskan secara tepat dan benar tentang regulasi tersebut. Dan lagi, apabila dalam pelaksanaan tugas yang dijumpai adalah improvisasi gunung dan bukit sebagai akibat dari bias tafsir para calon dan tim pemenangan terhadap rumusan peraturan perundangan tertentu maka anggota panwascam harus berani untuk “meratakan” bias-tafsir itu dengan memberikan pemahaman yang benar tentang aturan dimaksud. Bila akhirnya dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, ada para calon atau tim pemenangan melanggar aturan dan membuat mereka mulai berliku-liku selama proses pemilihan, panwascam harus berani tampil pada garda paling depan untuk menegakan peraturan perundangan yang telah dilanggar. Bahwa semua pihak harus bermain mengikuti aturan. Harus fair play.
Kepada para anggota panwascam se-kota Kupang di kala itu, saya mengingatkan bahwa tatkala Anda semua memakai “baju kebesaran” panwascam, Anda tentu “diperhitungkan,” karena Anda adalah some body, – seseorang – yang di dadamu melekat tugas dan tanggung jawab untuk menyiapkan jalan bagi calon pemimpin kota Kupang. Saya harus ingatkan juga bahwa setelah tugas dan tanggung jawab ini dilaksanakan, Anda harus sadar, bahwa baik Anda maupun saya, bukanlah siapa-siapa, alias no body. Karena itu tidak akan dihitung, apalagi diperhitungkan. Bila menghadapi kenyataan itu Anda tidak boleh kecewa. Karena bukankah kita ini ibarat Yohanes Pembaptis yang hanya berfungsi sebagai perintis jalan bagi walikota dan wakil walikota? Mereka itu, – walikota dan wakil walikota terpilih – adalah ibarat Yesus. Karena itu, camkan baik-baik kata-kata nabi Yohanes Pembaptis:” Dia, yang datang kemudian daripadaku adalah lebih penting dan lebih berkuasa. Membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak.”
Untuk itu bekerjalah dengan jujur, adil dan profesional. Di atas segalanya itu, integritas adalah taruhannya. Laksanakan tugas, fungsi dan kewenanganmu dengan penuh tanggungjawab demi untuk mendapatkan pemimpin Kota Kupang yang baik. Jangan kerja dengan pamrih. Jangan pula kerja penuh pretensi, apalagi bekerja dalam semangat oportunistik, karena sekali lagi. Anda dan saya hanyalah “perintis jalan.”
Pasca memberikan sambutan, ibu pendeta yang menjadi salah satu saksi rohaniwati pada acara pelantikan itu mengatakan:” Pada hari ini saya baru dengar seseorang menyetir ayat-ayat Kitab Suci pada hajatan politik seperti ini. Saya heran, karena Anda mampu melakukannya.” Kepada ibu pendeta itu (mohon maaf saya sudah lupa nama Beliau), saya katakan sambil tersenyum:” bagi saya politik itu suci. Karena politik itu suci maka pada hari ini, sebelum para anggota panwascam menjalankan tugasnya, mereka diangkat sumpah. Secara sadar mereka berjanji di hadapan Tuhan dan para saksi untuk mengawasi pemilihan agar berjalan dengan jujur dan adil. Demikian pun halnya bila pada akhirnya proses politik ini berujung pada dilantiknya pemimpin Kota Kupang, merekapun diangkat sumpahnya. Sumpah dengan menyebut nama Tuhan bukanlah formalitas, apalagi lip servive belaka,tetapisumpah ituadalah sesuatu yang bersifat sakral. Ucapan yang berkarakter suci, karena berjanji secara pribadi di hadapan Tuhan untuk mengemban tugasnya dengan baik. Oleh karena itu dalam menjalankannya harus berdasarkan kepercayaan masing-masing untuk sesuatu motivasi yang sifatnya religius, jauh melampaui motivasi yang sifatnya duniawi.
Pada akhirnya politik itu suci karena dia merupakan sebuah kesempatan untuk medan merasul kaum awam. Bila politik menjadi medan merasul awam maka politik itu adalah kesempatan untuk menjabarkan dan menghayati pesan injil yakni mewartakan kebebasan, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan (bdk. Luk.4:19-19), atau dalam bahasa biblis lainnya, politik adalah kesempatan untuk memberikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan, kepada kaiser apa yang menjadi hak kaiser dan pada gilirannya kepada rakyat apa yang menjadi hak rakyat. Bila hak rakyat menjadi yang terutama maka sudah hampir pasti terpenuhinya salus populi suprema lex. ***