2 Raj. 4:42-44; Ef.4:1-6 ; Yoh.6:1-15
Oleh : Germanus S. Atawuwur
Alumnus STFK Ledalero
WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari,
bacaan pertama yang kita baru saja dengar memiliki latar belakang sebagai berikut. Bahwa situasi bangsa Israel pada zaman para raja sangat tidak menggembirakan. Pasca pemerintahan raja Daud dan Salomo kondisi mereka semakin parah. Seringkali para imam dan raja jatuh ke dalam kemerosotan moral dalam berbagai aspek kehidupan, baik itu terjadi di bangsa Israel Utara maupun Israel Selatan (Yehuda). Akibatnya adalah kedua bangsa itu mengalami berbagai kesulitan hidup, antara lain penyakit, kelaparan, dan kematian. Pihak yang paling merasakan dampak buruk dari kemerosotan ini adalah rakyat kecil. Kedua bangsa itu mengalami kehancuran, yaitu Israel Utara dibuang oleh Allah ke negeri Asyur pada tahun 722 SM dan Yehuda dibuang ke Babel tahun 586 SM. Kota Samaria dan bahkan Yerusalem pun dihancurleburkan oleh bangsa-bangsa lain.
Dalam kemerosotan dan kesulitan inilah tidak mengherankan kalau pada akhirnya rakyat kecil menjadi tawar hati, dan mulai meragukan penyertaan Allah sebagaimana telah dijanjikan kepada leluhur mereka. Berbagai kesulitan hidup yang silih berganti telah membuat bangsa itu menjadi pesimis dan kehilangan pengharapan, seolah-olah Tuhan tidak berdaya lagi menolong mereka. Ternyata, TUHAN Allah tahu persis apa yang sedang dialami oleh bangsa Israel. Tuhan sangat memahami situasi dan keputusasaan mereka. Oleh karenanya Tuhan tidak membiarkan umat-Nya terus menerus berada dalam situasi seperti itu.
Akhirnya Tuhan mulai berkarya menyelamatkan orang-orang kecil itu melalui persembahan seseorang dari Baal-Salisa, sesuai Taurat Musa. Dia mempersembahkan roti hulu hasil, yaitu dua puluh roti jelai serta gandum baru dalam sebuah kantong. Begitu mendapat persembahan dari orang itu, Nabi Elisa berkata kepada pelayannya:” “Berilah itu kepada orang-orang ini, supaya mereka makan.” Tanpa tedeng aling-aling pelayannya itu berkata: “Bagaimanakah aku dapat menghidangkan ini di depan seratus orang?” Tetapi Elisa tahu, bahwa Tuhan sendiri akan berkarya di dalam situasi ini. Karena itu kepada pelayannya dengan tegas dia katakan: “Berikanlah kepada orang-orang itu, supaya mereka makan, sebab beginilah firman TUHAN: Orang akan makan, bahkan akan ada sisanya. Lalu dihidangkannyalah di depan mereka, maka makanlah mereka dan ada sisanya, sesuai dengan firman TUHAN.”
Elisa hendak mengingatkan pelayannya bahwa Allah selalu mampu menyediakan kebutuhan umat-Nya, bahkan dalam situasi-situasi yang nampaknya hampir tidak ada jalan keluar. Ini masalah keyakinan. Keyakinan bahwa dalam situasi sulit pun harus ada optimisme. Tuhan pasti menjawab setiap persoalan yang dihadapi. Nabi Elisa juga hendak katakan kepada pelayannya bahwa Allah selalu punya cara sendiri untuk menyatakan bahwa Dia adalah Allah sumber segala berkat dan bahwa di dalam Tuhan ada kelimpahan hidup.
Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih,
Kisah Nabi Elisa memberi makan kepada seratus orang, terulang kembali dalam injil hari ini. Begitu melihat orang banyak yang berbondong-bondong mengikuti Dia, Yesus tahu bahwa mereka tentu lapar. Karena itu, sekedar mencobai Filipus murid-Nya, Yesus bertanya:” Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?” Melihat begitu banyak orang yang hadir di situ, dengan pesimis Filipus menjawab kepada-Nya: “Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja.” Namun, Simon Petrus memiliki sedikit optimisme, karena itu dia berkata kepada-Nya:” Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan.” Namun sayang, optimismenya seketika surut. Karena itu katanya lagi:” Tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?”
Baik Filipus maupun Petrus, cara pandang mereka sama seperti pelayan nabi Elisa. Mereka melihat angka atau jumlah itu secara matemetatis. Dan itu wajar. Mana mungkin hanya dengan lima roti jelai dan dua ekor ikan cukup untuk memberi makan kepada lima ribu orang laki-laki? Jelas pasti kurang.
Namun sama seperti Nabi Elisa, kepada para murid-Nya, Yesus katakan:” Suruhlah mereka duduk!” Lalu Yesus mengambil roti itu, mengucap syukur dan membagi-bagikannya kepada mereka yang duduk di situ, demikian juga dibuat-Nya dengan ikan-ikan itu, sebanyak yang mereka kehendaki.” Yesus mengambil roti dan juga ikan itu, lalu mengucap syukur hendak menunjukkan kekuasaan Bapa-Nya baik kepada para murid-Nya maupun kepada orang banyak itu. Yesus hendak mengatakan juga kepada mereka semua bahwa kecemasan oleh karena “kekurangan” roti dan ikan itu akan tercukupkan dengan sukacita berlimpah rua oleh kuasa ilahi Allah sendiri. Dan hal ini terbukti. Mereka makan sampai kenyang, dan malah masih tersisa dua belas bakul penuh. Mujizat Yesus memberi lima ribu orang makan hingga kenyang mengungkapkan kasih Kristus yang penuh belaskasih (sebagaimana kita sudah dengar/baca pada kotbah saya minggu lalu). Mukjizat baik yang dilakukan oleh nabi Elisa maupun oleh Yesus Kristus mau menandakan bahwa sejatinya Allah selalu hadir bersama kita dalam setiap situasi kita, asal kita sungguh beriman teguh pada-Nya.
Kisah Mukjizat yang dilakukan Nabi Elisa dalam Perjanjian Lama dan mukjizat yang dibuat Yesus pada Perjanjian Baru, memiliki pesan biblis bahwa Alkitab hendak mempertahankan bahwa mukjizat Tuhan harus bekerja sepanjang zaman. Karena sekali lagi, mujizat adalah tanda kekuasaan ilahi. Kedua mukjizat itu mau menggambarkan bahwa Kerajaan Allah sudah hadir di tengah-tengah umat yang percaya kepada penyelenggaraan kasih Allah. Karena itu pengadaan mukjizat itu hanya dalam kehidupan orang-orang yang percaya kepada Allah.
Bapa, ibu, saudara-saudari,
situasi pesimistis yang dialami baik oleh pelayan nabi Elisa maupun murid Yesus, juga kita semua alami, mana kala ketika kita pernah berada dalam kesulitan dan kekurangan. Apalagi di masa pandemi corona virus yang kian mencekik ini ada cukup banyak orang yang akhirnya mengalami banyak kesulitan. Ada yang mengalami kehilangan pekerjaan. Sementara itu pada masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat ini harga kebutuhan pokok terus melambung. Dampaknya, pemenuhan kebutuhan sehari-hari semakin sulit. Dan tentu masih banyak lagi litani kesulitan dan kekurangan yang kita rasakan dan alami.
Dalam situasi seperti inilah iman kita benar-benar diuji. Apakah kita akan seperti pelayan nabi Elisa yang seolah-ola tidak menghiraukan lagi intervensi Allah dalam kehidupan kita? Atau apakah kita seperti Filipus yang gagal percaya akan Yesus yang dapat membuat mukjizat itu jadi nyata? Atau, apakah kita seperti Petrus, yang memiliki sedikit optimisme, tetapi kemudian lenyap seketika dan berubah menjadi kebimbangan akan keilahian Yesus yang dapat membuat segala sesuatu tidak mungkin menjadi mungkin? Dalam situasi seperti ini, iman kita tentu bisa rapuh. Namun dalam kerapuhan itu masih ada secuil optimisne, karena bukankah iman sebesar biji sesawi bisa memindahkan gunung?
Dalam optimisme inilah kita masih memiliki keyakinan bahwa Tuhan pasti menjawab setiap persoalan yang dihadapi. Bahwa Allah selalu punya cara sendiri untuk menyatakan bahwa Dia adalah Allah sumber segala berkat. Bahwa mukjizat Tuhan akan tiba. Dia akan membuat segala sesuatu indah pada waktunya, hanya kepada orang-orang yang percaya kepada-Nya. ***