1 Raj. 19:4-8; Ef. Ef. 4:30–5:2; Yoh. 6:41-51
Oleh : Germanus S. Atawuwur
Alumnus STFK Ledalero
WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih,
Sesudah kematian Musa, Allah memilih dan mengangkat Elia untuk menjadi Nabi bangsa Israel. Ia menjadi salah satu nabi yang terkenal. Salah satu kisah yang membuatnya terkenal adalah dalam Kitab1 Raj.18:20-40, Elia secara luar biasa dan mengagumkan telah menantang, mengalahkan dan membunuh nabi-nabi Baal yang berjumlah 450 orang. Namun Elia yang terkenal karena berani membunuh nabi-nabi Baal itu malah lari ketakutan dan mengungsikan diri ke padang gurun setelah Izebel memerintahkan untuk membunuhnya.
Kita mungkin berpikir, pantaskah seorang nabi yang baru memenangi pertarungan hebat, ketakutan lalu lari menyembunyikan diri hanya karena ancaman seorang perempuan? Betapa tidak. Ketakutan Elia sangat tidak masuk akal. Bukankah Baal sudah dibunuhnya? Bukankah sebetulnya ancaman Izebel itu adalah kosong belaka?
Penulis kisah itu mencatat:” Ia sendiri masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya, lalu duduk di bawah sebuah pohon arar. Kemudian ia ingin mati, katanya: “Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku.”
Keadaan ini memperlihatkan bahwa Elia tidak hanya ketakutan, tetapi juga kehilangan kemampuan berpikir secara nalar untuk menganalisa pernyataan Izebel. Walaupun ia sudah sampai ke Bersyeba (wilayah Yehuda yang jauh dari Yizreel), ia masih merasa perlu masuk ke padang gurun yang sehari perjalanan jauhnya untuk memyembunyikan dirinya karena saking takutnya terhadap ancaman Izebel. Ketakutannya sungguh menguasainya hingga ia putus asa dan ingin mati.
Kisah ini sebetulnya memiliki kritik bahwa sesungguhnya nabi Elia yang adalah nabi itu telah kehilangan sikap iman. Dia mulai meragukan pertolongan Allah. Bagaimana mungkin seorang nabi yang begitu diberkati dan dilindungi oleh Allah dengan cara yang luar-biasa dapat kehilangan keyakinan iman saat dia diancam oleh seorang perempuan? Karena dia mungkin bermegah-megah di atas kekuatannya sendiri. Dia bangga atas dirinya sendiri yang telah berhasil menewaskan 450 baal itu. Karena itu dia seolah mengingkari penyertaan Allah. Karena itu juga maka ia melarikan diri dan meninggalkan tugas pelayanannya. Ia seolah sudah puas akan keberhasilannya itu. Namun Tuhan yang memberikan misi khusus kepadanya berinisiatif untuk “mencari” Elia yang sedang bersembunyi di padang gurun. Allah bertanya kepadanya:” Apakah kerjamu di sini, hai Elia?” (1 Raj. 19:9).
Ketakutan dan keputusasaan Elia menunjukkan bahwa ia mengalami krisis rohani yang sangat berat dan hebat, sehingga pengenalan dan imannya kepada Allah sebagai sumber dan pusat dari segala sesuatu, sirna begitu saja. Elia sudah melalaikan persekutuan pribadinya dengan Allah. Krisis rohani membuat dia terputus dengan Sumber segala kehidupan. Karena itu tidak heran jika kemudian ia ingin mati saja.
Namun Allah yang disembah Elia adalah Allah yang luar biasa. Elia mendapatkan ‘sedikit’ kekuatan ketika Allah menghampiri dan ‘melayani’nya. Allah yang penuh kasih, mengerti dan penuh perhatian. Lalu Allah mengutus malaikat-Nya untuk menyentuh nabi Elia dengan penuh kasih dan menyuruhnya untuk makan dan minum. Elia bangun dan melihat ada roti bakar dan sebuah kendi berisi air. Lalu ia makan, minum dan tertidur lagi. Inilah bukti bahwa Allah tidak pernah berubah. Allah tetap menyatakan kebaikan, kuasa, pertolongan, mujizat dan kasih-Nya kepada Elia. Setelah makan dan minum itu, Elia sanggup melanjutkan perjalanannya 40 hari 40 malam hingga sampai ke gunung Allah/gunung Horeb.
Bapa, ibu, saudara, saudari terkasih,
Ketakutan Elia terhadap ancaman Izebel karena dia tidak percaya pada penyertaan Allah mirip tapi tak sama dengan reaksi orang banyak dalam injil hari ini. Setelah menyatakan diri-Nya Akulah Roti Hidup yang telah turun sari Surga, orang banyak menggerutu. Mereka protes yang berujung kepada ketidak-percayaan mereka kepada Yesus:” Maka bersungut-sungutlah orang Yahudi tentang Dia, karena Ia telah mengatakan: “Akulah roti yang telah turun dari sorga.” Mereka pun mempertanyakan asal usul Yesus yang sebenarnya: “Bukankah Ia ini Yesus, anak Yusuf, yang ibu bapanya kita kenal? Bagaimana Ia dapat berkata: Aku telah turun dari sorga? “
Terhadap fakta ini Yesus tidak tinggal diam. Yesus berusaha menjelaskan kepada mereka:” Jangan kamu bersungut-sungut. Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman.” Ketidakpercayaan mereka ini menjadi kesempatan bagi Yesus untuk mengajarkan guna meyakinkan mereka dengan mengutip para nabi. ” Ada tertulis dalam kitab nabi-nabi: Dan mereka semua akan diajar oleh Allah.Dan setiap orang, yang telah mendengar dan menerima pengajaran dari Bapa, datang kepada-Ku. Hal itu tidak berarti, bahwa ada orang yang telah melihat Bapa. Hanya Dia yang datang dari Allah, Dialah yang telah melihat Bapa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya, ia mempunyai hidup yang kekal. Akulah roti hidup. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Ku-berikan itu ialah daging-Ku, yang akan Ku-berikan untuk hidup dunia.”
Yesus sebenarnya mau katakan bahwa sejak zaman para nabi, Yesus sudah dinubuatkan untuk menjadi roti yang turun dari surga demi keselamatan manusia. Karena itu, pada waktu itu, bila mereka percaya kepada-Nya mereka akan selamat. Bila mereka percaya dan hendak selamat, satu-satunya cara adalah : makan roti itu. Makna makan artinya mengusahakan unitas, – persatuan – yang intim mesra dengan-Nya secara teratur dan terus-menerus agar memperoleh keselamatan paripurna. Keselamatan di dunia dan juga di akhirat.
Jadi baik kisah tentang nabi Elia yang tidak percaya akan penyertaan Tuhan dan protes orang banyak karena tidak percaya pada perkataan Yesus sebagai Roti yang turun dari surga sebetulnya diangkat untuk menjadi pembejalaran iman untuk kita, teristimewa di zaman pandemi ini. Bahwa pandemi corona virus yang masih mengancam bukan berarti Allah telah menarik diri dari kehidupan kita. Karena Allah kita memang tidak pernah berubah, kasih-Nya selalu dinyatakan dalam kehidupan kita (Ibr. 13:8). Bila kasih-Nya yang tak berubah itu selalu dinyatakan dalam kehidupan kita yang percaya kepada Tuhan, maka kita akan memperoleh hidup yang kekal.
Karena itu, walau kita masih diterpa badai corona, kita masih tetap hidup. Hal ini bukan karena kekuatan kita, melainkan karena kasih Allah yang tiada berubah. Untuk itu marilah kita turuti nasehat Paulus:” Hidup sebagai anak-anak terang. Jadilah penurut-penurut Allah dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kita dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah.” ***