Oleh : Germanus S. Atawuwur
Alumnus STFK Ledalero
WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari terkasih, sejarah relasi manusia dan Allah diungkapkan dalam berbagai bentuk. Salah satu bentuknya diungkapkan dalam relasi perjanjian. Dalam bacaan I kita dengar perjanjian antara orang Israel dengan Allah. Perjanjian itu dilaksanakan saat kepemimpinan Nabi Yosua. Yosua adalah pengganti Musa dan setelah Yosua tidak ada lagi pemimpin Israel sampai nanti datang Samuel. Jadi, Yosua ini adalah pemimpin yang sangat penting yang telah menghantar umat Israel dari Mesir melanjutkan tugas yang ditinggalkan oleh Musa.
Rupanya di bawah kepemimpinannya, umat Israel merasa ragu-ragu dan mulai tidak percaya kepada Yahwe dan mau beribadah kepada dewa-dewi asing. Mereka terlihat mendua iman. Mereka meragukan kehadiran Tuhan padahal mereka telah mengalami bagaimana Tuhan membimbing mereka keluar dari Mesir melintasi padang gurun menuju tanah terjanji. Namun, Yosua sebagai pemimpin berdiri tegak, kokoh dan kuat untuk menantang umat Israel yang mau beribadah kepada dewa-dewi asing. Karena itu Yosua terdorong untuk melakukan pembaruan perjanjian. Perjanjian itu dikenal dengan nama Perjanjian Sikhem. Yosua tidak membuat perjanjian baru antara Israel dengan Allah, melainkan ia hanya melakukan pembaruan perjanjian yang telah dilakukan orang Israel bersama Musa. Yosua memandang perlu orang Israel melaksanakan pembaruan perjanjian itu karena Israel mulai tidak setia lagi pada Allah. Karena itu dia mengumpulkan semua suku Israel dan bertanya:” Jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; apakah kalian menyembah pada dewa yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang sungai Efrat, atau dewa orang Amori yang negerinya kamu diami ini? Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” Lalu bangsa itu menjawab: “Jauhlah dari pada kami meninggalkan TUHAN untuk beribadah kepada allah lain! Sebab TUHAN, Allah kita, Dialah yang telah menuntun kita dan nenek moyang kita dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan, dan yang telah melakukan tanda-tanda mujizat yang besar ini di depan mata kita sendiri, dan yang telah melindungi kita sepanjang jalan yang kita tempuh, dan di antara semua bangsa yang kita lalui. Kamipun akan beribadah kepada TUHAN, sebab Dialah Allah kita.”
Ungkapan perjanjian yang dikatakan oleh orang Israel bahwa merekapun akan beribadah kepada TUHAN, sebab Dialah Allah kita, sejatinya adalah deklarasi pembaruan iman mereka kepada Allah yang langsung didengar Yosua. Deklarasi iman untuk tetap teguh bukan tanpa dasar/alasan. Mereka dengan tegas mengakui campur tangan Allah dalam seluruh perjalanan hidup mereka sebagai bangsa. Mereka dengan sadar mengakui Allah yang telah menuntun mereka dan nenek moyang mereka keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan, dan yang telah melakukan tanda-tanda mujizat yang besar ini di depan mata mereka sendiri, dan yang telah melindungi mereka sepanjang jalan yang mereka tempuh, dan di antara semua bangsa yang telah mereka lalui.
Jawaban orang Israel akan pengakuan mereka pada campur tangan Allah yang kita dengar ini berangkat dari refleksi panjang tentang sejarah perjalanan hidup mereka dalam kacamata iman. Mereka sungguh menyadari bahwa seluruh perjalanan hidupnya merupakan berkat dari Allah. Apa saja yang terjadi dalam hidupnya sungguh diimani sebagai kasih karunia dari Allah semata. Karena itu, mereka menyerahkan segala hidupnya ke hadirat Allah. Tanpa Allah hidup mereka akan menderita. Mereka kemudian senantiasa membaharui janji Sikhem itu untuk tetap setia hidup di hadapan Allah sebagai Sang Penyelenggara hidup mereka.
Saudara-saudara, isi pembaruan perjanjian Sikhem ternyata berbanding terbalik dengan sikap kebanyakan murid yang mendengar pengajaran Yesus sebagaimana kita dengar/baca dalam injil Yohanes. Setelah mereka mendengar semuanya itu banyak dari murid-murid Yesus yang berkata: “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?” Yesus yang di dalam hati-Nya tahu, bahwa murid-murid-Nya bersungut-sungut tentang hal itu, berkata kepada mereka: “Adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu? Para murid Yesus merasakan bahwa kata-kata Yesus itu keras dan tidak bisa diterima. Mereka bersungut-sungut dan satu per satu pergi meninggalkan Yesus. Mereka merasa terguncang imannya akibat kata-kata Yesus yang secara terus terang mengajarkan kebenaran. Namun kebenaran itu ditangkap oleh pengertian mereka sebagai kata-kata yang keras dan menggoncangkan iman.
Namun tidaklah demikian untuk Petrus dan murid-murid lain. Ketika banyak murid di Galilea mengundurkan diri, Petrus malah masih berada bersama Yesus. Karena itu Yesus menantang Petrus dengan pertanyaan: “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Maka dengan tegas Petrus menjawab: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu bahwa Engkau Kristus, Putera Allah”.
Jawaban pamungkas dari Petrus yang mewakili para murid yang lain merupakan contoh jawaban iman atas janji kasih setia Allah. Jawaban ini sebagai ekspresi penyerahan diri dan kepercayaan total akan pribadi Yesus sekaligus sebagai rintihan terdalam kerinduan hati manusia untuk menggapai keabadian melalui Yesus.
Petrus memiliki komitmen tinggi untuk selalu pegang akan janji yang pernah diucapkan. Petrus telah berjanji kepada Yesus tatkala dia dipanggil menjadi murid Yesus untuk selalu mengikuti Yesus ke mana pun Dia pergi. Karena itu pertanyaan Yesus , apakah kamu tidak mau pergi juga? Dengan tegas Yesus atas nama murid-murid-Nya menjawab:” Ya, kami tidak mau pergi. Sebab Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu bahwa Engkau Kristus, Putera Allah”.
Bapa, ibu, saudara, saudari, Seperti pengalaman bangsa Israel, manusia bisa merasa berada di dalam persimpangan jalan dan kebingungan. Kadang kita seperti umat Israel yang mulai bimbang akan penyertaan Tuhan lalu mulai mendua iman. Kadang pula kita seperti orang banyak yang bersungut-sungut sambil meninggalkan Yesus. Berbagai problem, tak terkecuali pandemi yang terus berkepanjangan, membuat orang merasa seakan-akan sudah ditinggalkan Allah. Allah telah menarik diri-Nya dari kehidupan kebanyakan manusia yang sedang menderita oleh karena gempuran dahsyat covid ini. Karena ia merasa jauh dari Allah, maka ia mencari penghiburan kepada hal-hal lain entah judi, entah minum mabuk atau hal lainnya.
Pada persimpanga inilah, Yesus hadir dalam sabda hari ini dan bertanya kepada kita:” Tidakkah kamu pergi juga?” Terhadap pertanyaan itu, kita seolah tersadar kembali dan kita pun bertanya kembali kepada Yesus:” Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? “