ADVERTISEMENT
google.com, pub-9566902757249236, DIRECT, f08c47fec0942fa0

MEREFLEKSIKAN KEBAPAKAN SANTU YOSEF : PADA PERINGATAN KELAHIRAN SANTA PERAWAN MARIA

Oleh : Germanus S. Atawuwur

Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero

WARTA-NUSANTARA.COM-Judul di atas, terinspirasi ketika saya bersama istri mengikuti Perayaan Ekaristi pagi ini; ekaristi untuk memperingati Pesta Kelahiran Santa Perawan Maria. Pada pesta ini, saya justru memilih untuk merefleksikan Kebapakan Santu Yosef karena hemat saya, membicarakan peran Maria hari ini sebagai ibu Yesus sebagaimana diwartakan injil pagi ini, tak bisa dilepas-pisahkan dengan peran kebapakan santu Yosef sebagai suaminya, sekaligus sebagai bapak dari Yesus. Refleksi ini masih relevan karena Gereja Katolik masih dalam rentang Pesta Tahun Santu Yosef.

google.com, pub-9566902757249236, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Refleksi ini mengacu pada refrensi utama Surat Apostolik “Patris corde” (“Dengan Hati Seorang Bapa”). Surat Apostolik ini dimaklumatkan Paus Fransiskus untuk memperingati 150 tahun deklarasi Santo Yosef sebagai Pelindung Gereja Semesta oleh Beato Paus Pius IX. Untuk memperingati peristiwa tersebut, Bapa Suci telah mencanangkan “Tahun Santo Yosef” mulai 8 Desember 2020 hingga 8 Desember 2021.

Dalam surat apostoliknya tersebut, Paus Fransiskus menggambarkan Santo Yosef sebagai bapa yang terkasih, bapa yang lembut dan penuh kasih, bapa yang patuh, bapa yang menerima; bapa yang secara kreatif pemberani, bapa yang sedang bekerja, bapa dalam bayang-bayang.

RelatedPosts

Bapa Suci menulis “Patris corde” dengan latar belakang pandemi Covid-19, yang, dikatakannya, telah membantu kita melihat lebih jelas pentingnya orang-orang “biasa” yang, meski jauh dari pusat perhatian, tetap sabar dan menawarkan harapan setiap hari. Dalam hal ini, mereka menyerupai Santo Yosef, “orang yang kehadirannya sehari-hari tidak diperhatikan, bijaksana dan tersembunyi”, yang meskipun demikian memainkan “peran yang tak tertandingi dalam sejarah keselamatan”.
Santo Yosef, pada kenyataannya, “secara nyata mengungkapkan kebapaannya” dengan mempersembahkan dirinya dalam kasih. “Kasih yang ditempatkan untuk melayani Mesias yang tumbuh hingga dewasa di rumahnya”, tulis Paus Fransiskus, mengutip pendahulunya, Santo Paulus VI.

Santo Yosef juga seorang bapa dalam ketaatan kepada Allah : dengan ‘ya’-nya ia melindungi Maria dan Yesus serta mengajarkan Putra-Nya untuk “melakukan kehendak Bapa”. Dipanggil oleh Tuhan untuk melayani perutusan Yesus, ia “bekerjasama… dalam misteri agung Penebusan”, seperti yang dikatakan Santo Yohanes Paulus II, “dan benar-benar seorang pelayan keselamatan” (art.3).

Jalan spiritual Santo Yosef “bukan jalan yang menjelaskan, tetapi jalan menerima” – yang tidak berarti bahwa ia “pasrah”. Sebaliknya, ia “dengan berani dan tegas proaktif”, karena dengan “karunia ketabahan Roh Kudus”, dan penuh harapan, ia mampu “menerima hidup apa adanya, dengan segenap pertentangan, frustrasi dan kekecewaan”. Dalam prakteknya, melalui Santo Yosef, seolah-olah Allah mengulangi kepada kita : “Jangan takut!” karena “iman memberi makna pada setiap peristiwa, entah gembira maupun sedih”, dan membuat kita sadar bahwa “Allah dapat membuat bunga bermunculan dari tanah berbatu”. Santo Yosef “tidak mencari jalan pintas tetapi menghadapi kenyataan dengan mata terbuka dan secara pribadi bertanggung jawab terhadap kenyataan tersebut”. Karena alasan ini, “ia mendorong kita untuk menerima dan menyambut orang lain apa adanya, tanpa kecuali, dan menunjukkan perhatian khusus kepada orang-orang yang lemah” (art. 4).

Patris Corde menyoroti “keberanian kreatif” Santo Yosef, yang “muncul terutama dalam cara kita menghadapi kesulitan.” “Sang tukang kayu dari Nazareth”, jelas Sri Paus Fransiskus, mampu mengubah masalah menjadi kemungkinan dengan percaya akan pemeliharaan ilahi. Ia harus menghadapi “masalah nyata” yang dihadapi keluarganya, masalah yang dihadapi oleh keluarga lain di dunia, dan terutama para migran.
“Seorang tukang kayu yang mencari nafkah dengan jujur untuk menafkahi keluarganya”, Santo Yosef juga mengajari kita “nilai, martabat dan kegembiraan dari apa artinya makan roti yang merupakan buah dari kerja kerasnya sendiri”. Segi karakter Santo Yosef ini memberi Paus Fransiskus kesempatan untuk mengajukan permohonan yang mendukung pekerjaan, yang telah menjadi “masalah sosial yang membara” bahkan di negara-negara dengan tingkat kesejahteraan tertentu. “Ada kebutuhan baru untuk menghargai pentingnya pekerjaan yang bermartabat, di mana Santo Yosef adalah santo pelindung yang perlu diteladani”, tulis Paus Fransiskus.

Bekerja, Bapa Suci mengatakan, “adalah sarana untuk ambil bagian dalam karya keselamatan, kesempatan untuk mempercepat kedatangan Kerajaan Allah, mengembangkan talenta dan kemampuan kita, dan menempatkannya dalam pelayanan masyarakat dan persekutuan persaudaraan”. Orang-orang yang bekerja, beliau menjelaskan, “bekerjasama dengan Allah sendiri, dan dalam beberapa hal menjadi pencipta dunia di sekitar kita”. Paus Fransiskus mendorong setiap orang “untuk menemukan kembali nilai, pentingnya, dan perlunya pekerjaan untuk mewujudkan ‘kenormalan’ baru di mana tak seorang pun dikecualikan”. Terutama mengingat meningkatnya pengangguran karena pandemi Covid-19, Paus Fransiskus meminta semua orang untuk “meninjau prioritas kita” dan mengungkapkan keyakinan teguh kita bahwa tidak ada orang muda, tidak ada orang, tidak ada keluarga tanpa pekerjaan!” ( art.6).

Paus Fransiskus menggambarkan kebapaan Santo Yosef terhadap Yesus sebagai “bayang-bayang duniawi dari Bapa surgawi”. “Bapa tidak dilahirkan, tetapi dijadikan”, kata Paus Fransiskus. “Seorang laki-laki tidak menjadi seorang bapa hanya dengan membawa seorang anak ke dunia, tetapi dengan bertanggung jawab untuk merawat anak itu”. Sayangnya, dalam masyarakat saat ini, anak-anak “sering kali tampak seperti yatim piatu, tidak memiliki bapa” yang mampu memperkenalkan mereka “pada kehidupan dan kenyataan”. Anak-anak, kata Paus Fransiskus, membutuhkan bapa yang tidak akan mencoba menguasai mereka, tetapi membesarkan mereka agar “mampu memutuskan sendiri, menikmati kebebasan, dan menjelajahi kemungkinan baru”.


Ini adalah pengertian di mana Santo Yosef digambarkan sebagai bapa yang “paling tulus”, yang berlawanan dengan sifat posesif yang menguasai. Santo Yosef, kata Paus Fransiskus, “tahu bagaimana mengasihi dengan kebebasan yang luar biasa. Ia tidak pernah menjadikan dirinya pusat dari segala hal. Ia tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi berfokus pada kehidupan Maria dan Yesus”.
Bagi Santo Yosef, kebahagiaan melibatkan pemberian diri yang sejati : “Di dalam dirinya, kita tidak pernah melihat frustrasi, tetapi kepercayaan semata”, tulis Paus Fransiskus. Keheningannya yang sabar adalah awal dari ungkapan kepercayaan yang nyata. Oleh karena itu, Santo Yosef menonjol sebagai sosok teladan untuk zaman kita, di dunia yang “membutuhkan bapa”, dan bukan “penguasa lalim”; sebuah masyarakat yang “menolak orang-orang yang mengacaukan otoritas dengan otoritarianisme, pelayanan dengan penghambaan, diskusi dengan penindasan, amal dengan mentalitas kesejahteraan, kekuasaan dengan kehancuran”.

Pada akhirnya marilah kita mendaraskan doa kepada Santo Yosef yang diambil dari buku doa Prancis abad ke-19 dari Kongregasi Suster-suster Yesus dan Maria : “Bapaku yang terkasih, segenap kepercayaanku ada padamu. Jangan biarkan aku memanggil engkau dengan sia-sia, dan karena engkau dapat melakukan segalanya bersama Yesus dan Maria, tunjukkan kepadaku bahwa kebaikanmu sebesar kekuatanmu”.***

Related Posts

Next Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *