Mari Cegah dan Beri Perlindungan Terhadap Korban Pelecehan Seksual.
RUTENG : WARTA-NUSANTARA.COM-Direktur Yayasan Mariamoe Peduli, mengatakan, Albina Redemta Umen, S. Psi Yayasan Mariamoe Peduli sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang selama ini bekerja dalam banyak isu sosial, salah satunya isu anak, sangat menyayangkan kejadian ini. Dalam berbagai kesempatan kami selalu mengingatkan bahwa kejahatan pada anak adalah kejahatan pada kemanusiaan. Kami sebagai lembaga akan memberi respon pada dua hal yaitu pertama, pada sisi penangaan korban secara sosial termasuk situasi kekerasan pada anak berdasarkan studi rutin yang kami lakukan. Kedua pada kajian psikologis terhadap korban. Demikian Rilis dari Yayasan Mariamoe Peduli melalui Jefrin Haryanto yang diterima Warta Nusantara, Senin, 13/9/2021.
Pertama : Kajian Psiko Sosial.
Kejadian ini adalah fenomena gunung es. Data YMP memperlihatkan bahwa trend kekerasan pada anak dalam 5 tahun terakhir cenderung meningkat. Peningkatan yang signifikan terjadi dalam dua tahun terakhir, selama masa pandemi. Data kunjungan kepada lembaga kami yang terkait dengan anak meningkat 70 % dibandingkan bulan yang sama 3 tahun lalu. Kekerasan yang dialami anak dari kekerasan non verbal -verbal, penelantaran, perebutan hak asuh anak, keretakan keluarga, kekerasan fisik, kekerasan seksual, pelecehan, penolakan, incest, kekerasan oleh guru, kekerasan oleh orang tua tiri, kekerasan oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, dll.
Artinya ada soal yang serius dengan situasi sosial kita, tetapi berjalan dalam diam karena masih dianggap sebagai urusan privat/domestic. Banyak kasus yang penyelesaiannya dalam diam. YMP sendiri dalam banyak pernyataan sudah memberikan catatan serius soal ini :
- Kasus kekerasan pada anak/kasus bunuh diri pada anak, memperlihatkan suasana psikologis masyarakat yang sedang ‘bopeng’, dan butuh kerja ekstra mengurai soal ini. Studi kami memperlihatkan ada ceruk yang sangat dalam yang mengambarkan lemahnya pengetahuan pola pengasuhan pada masyarakat kita. Clusternya ada di mana-mana. Rumah, sekolah, kantor, lingkungan bermain.
- Pendekatan terhadap maslah anak tidak akan selesai dengan selebrasi perayaan yang sifatnya leapservice, memberi hadiah, atau apapun tanpa mengetahui konstruksi psikologi dan sosialnya secara rinci.
- Pola penanganan kasus Perempuan dan Anak prespektifnya pada pelaku. Memenjarakan pelaku seolah-olah masalah selesai. Kita lupa ada korban yang lebih penting untuk segera ditangani dan diselamatkan hidupnya. Denda dan penjara mungkin akan memuaskan orang tua dan keluarga tapi tidak akan menyembuhkan korban.
- Masalah kita ada di rumah. Jadi yang harus ditreatmen adalah rumahnya. Rumah itu pabrik, dan anak itu hasil pabrikannya. Program kita seringkali kali didesain langsung ke anak, dan melupakan sumbernya. Ingat anak adalah akibat. Sumber dan penyebabnya di luar anak. Maka hati-hati merumuskan kebijakan terkait isu anak kalau prespektifnya masih soal akibat bukan menyelesaikan penyebabnya. Catatan terakhir ini untuk
mengingatkan Pemkab Manggarai yang sedang menggagas kota ramah anak. Jangan sampai terjebak pada pekerjaan yang sifatnya administratif dan selebratif.
Kedua : Kajian Psikologis Pada Korban
Kasus karot ini jika dilihat dari usia korban (14) hampir sama bacaannya Psikologisnya dengan kejadian di Elar beberapa waktu lalu. Secara usia korban berada pada fase usia remaja awal (12/13-17thn) hingga usia remaja akhir (17-21 thn) yang mengalami pelecehan seksual.
Jika kita mengacu pada psikoanalisis-Nya Freud, dapat dijelaskan bahwa kesadaran anak terkait apapun yang dia rasakan akan ditekan kedalam alam bawah sadarnya dan kemudian akan muncul sebagai penyimpangan perilaku. Ada beberapa kemungkinan lain yang terjadi pada anak korban pelecehan atau kekerasan/ termasuk kekerasan seksual diantaranya : akan menjadi reviktimisasi (korban berulang), residivis (korban yang akan menjadi pelaku), juga beberapa dampak lain pada tanggapan kasus tersebut.
Jika di elar pelakunya adalah orang yang tidak sekandung, dikasus ini orang sekandung bahkan Ayah kandung dari korbanlah yang menjadi pelaku perbuatannya.
Kami turut prihatin dan bisa merasakan apa yang dirasakan oleh korban. Remaja yang sedang berada pada tahap pengembangan identitas dengan ‘seharusnya’ foundasi utamanya adalah orang tua, justru faktanya terbalik.
Idealnya Peran ayah yang seharusnya dalam usia 14 tahun itu sangat diperlukan oleh seorang anak sebagai pegangan dalam menuntun anak menuju dunia luar, sebagai tempat anak mengembangkan kepercayaan terhadap teman (lawan jenis) justru menjadi rusak dengan gambaran buruk yang telah dilakukan oleh ayahnya tentang seorang laki-laki. Diusia ini anak berkembangan dengan dengan pemahan diri (self-Understanding), dimana anak mulai membentuk identitas dirinya, siapa saya (who am i?), dan jawaban ini akan dibentuk oleh pengalaman anak dilingkungan tempat anak itu dibesarkan dan berkembang, mulai dari rumah (orang tua, saudara kandung dan keluarga besar), sekolah (guru, temandan sahabat), serta lingkungan sosial. Lingkungan posistif akan menghasilkan anak dengan kepribadian positif artinya anak memiliki penghargaan atas dirinya, memiliki kepercayaan diri, memiliki konsep diri yang positif dan tentunya akan berpengaruh juga kepada prestasi, akademik yang positif, begitupun sebaliknya jika anak dibesarkan dalam lingkungan negatif anak akan menjadi pribadi yang berlawanan dengan ciri pribadi positif diatas. Orang tua adalah orang pertama yang akan memberikan semua pemahaman dalam diri anak. Seperti apa anak diberikan pemahaman seperti itulah anak menggambarkan dirinya.
Dalam semua kasus pemerkosaan, kekerasan seksual dampak utamanya pasti merusak masa depan anak. Perlakuan keji ayahnya sudah merusak pemahaman korban sebagai manusia, anak dan perempuan yang kemudian merusak kehidupan dan dunia anak. Identitas anak menjadi buruk, anak akan menjadi orang yang krisis akan kepercayaan diri dan apabila anak telah mengalami ini, aspek psikologis, sosial dan emosionalnya terganggu, banyak remaja mengalami ini dan dampak lain dari krisis kepercayaan diri dapat berdampak depresi, anoreksia (gangguan makan), kenakalan remaja, penarikan diri dari sosial, bahkan sampai bunuh diri.
Himbauan yang bisa kami sampaikan kepada kita semua khususnya keluarga dekat korban untuk memahami dan mentoleransi semua perilaku menyimpang yang mungkin akan muncul seperti mengurung diri, menarik diri dari kehidupan sosial, menangis secara tiba-tiba, atau krasukan medis. Jika ini terjadi pastikan orang disekelilingnya dapat memberikan kenyamanan kepada korban dan selalu dampangi korban.
 Perlakukan korban layaknya remaja biasa, dan semoga juga kita semua bisa menjadi support system bagi Korban. Jika korban menunjukan perilaku tidak wajar, atau depresi akut segera mencari bantuan professional. (*/WN-01)