Oleh : Germanus S. Atawuwur
Alumnus STFK Ledalero
Keb.2:12.17-20; Yak.2:14-16; Mrk. 9:30-37
Bapa, ibu, Saudara, saudari yang terkasih,
WARTA-NUSANTARA.COM-Bertepatan dengan Minggu Biasa XXV, kita memasuki Minggu Bulan Kitab Suci Nasional III dengan tema:” Yesus Sahabat Orang Yang Menderita.” Ketika membaca injil hari ini, saya teringat akan persiapan peneriman kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia. Beliau rencana agar mengunjungi pula daerah Yogyakarta. Karena itu berbagai persiapan dilakukan, tak terkecuali menyiapkan kursi-kursi khusus untuk undangan VVIP (very-very important person)/tamu-tamu yang sangat terkenal. Kala itu dipersiapkan 20 kursi khusus. Orang pun bertanya-tanya, siapakah para tamu yang akan menempati kursi-kursi terhormat ini?
Pertanyaan itu segera terjawab oleh ketua panitia. Kursi ini disiapkan khusus untuk anak-anak dari berbagai latar belakang tetapi memiliki beraneka penyakit. Orang-orang ini akan ditempatkan di sini, dan Sri Paus akan menyalami dan memeluk mereka satu persatu. Apa yang dilakukan sri paus, tentu terinspirasi dari kisah injil Markus yang kita dengar/baca hari ini. Yesus memeluk seorang anak kecil.
Pertanyaannya, mengapa musti anak kecil? Apakah sikh hebatnya anak kecil itu? Apakah karena ada slogan small is beautifull?Bukan karena itu, melainkan karena seorang anak kecil tidak mempunyai ambisi, kesombongan, dan keangkuhan sehingga cocok menjadi teladan bagi kita. Anak kecil pada umumnya rendah hati dan mudah diajar. Mereka tidak cenderung sombong atau munafik.
Jadi, ketika para murid-Nya berusaha mencari tahu apa yang membuat seorang “besar” di surga, Yesus memberikan wawasan yang baru: cara untuk “naik” adalah dengan “turun.” Dalam hal ini dibutuhkan kerendahan hati sebagaimana yang menjadi salah satu kekhasan anak kecil. Jadi dengan memeluk dan menempatkan anak kecil sebagai “pusat perhatian” sebenarnya Yesus hendak mengingatkan para murid-Nya untuk menambahkan kerendahan hati pada iman mereka. Mereka yang dengan sukarela mengambil posisi terendah adalah yang terbesar menurut sudut pandang surgawi. Seorang anak kecil tidak mempunyai ambisi, kesombongan, dan keangkuhan sehingga cocok menjadi teladan bagi kita. Anak kecil pada umumnya rendah hati dan mudah diajar. Mereka tidak cenderung sombong atau munafik. Kerendahan hati adalah kebajikan yang diberkati oleh Allah; sebagaimana diajarkan Yakobus, “Rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhan, dan Ia akan meninggikan kamu” (Yakobus 4:10).
Namun saudara-saudaraku, anak kecil itu mudah ditipu dan disimpanAnak kecil kadang mereka gagal menyadari kebenaran dan sebaliknya tertarik pada mitos dan khayalan. Namun karakter anak kecil sedemikian itu tidak dimaksudkan oleh Yesus. Namun sebaliknya, anak kecil sengaja ditampilkan Yesus untuk meninggikan gambaran iman yang rendah hati dan jujur pada Allah. Karena itulah maka Yesus menggunakan kepolosan anak kecil sebagai ilustrasinya. Demi mencontoh iman anak-anak, kita harus mempercayai Allah sebagaimana tertulis dalam Firman-Nya. Sama seperti anak kecil mempercayai ayah jasmani mereka, kita harus percaya bahwa “Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya” (bdk. Mat. 7:11).
Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, anak kecil sengaja ditampilkan Yesus sebagai kritikan terhadap percakapan para murid yang saling “berebutan tempat” untuk menjadi yang terbesar, untuk menjadi yang terkemuka, untuk menjadi nomor wahid dan menjadi yang terpenting. Dalam konteks pelayanan itulah sambil menempatkan seorang anak Yesus berkata:”Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan menjadi pelayan dari semuanya.”
Maksud Yesus adalah bahwa bila Anda dalam pelayananamu di bidang apa saja, motivasi pertama dan utama adalah pelayanan demi kemuliaan Tuhan, bukan pujian kepada diri sendiri. Motivasi kedua adalah pelayanan harus berdampak pada kebaikan umum. Maka dari itu pelayanan harus paripurna. Harus utuh total. Tidak boleh ada embel tertentu, apalagi embelnya adalah untuk cari nama, demi popularitas diri sendiri. Dalam pelayanan itulah kita harus benar-benar melayani hingga pada akhirnya kita menemukan diri sebagai hamba dari segala hamba. Bila ia telah menemukan dirinya demikian, maka hamba hanya melakukan apa yang dikehendaki tuannya.
Karena itu, bila ingin menjadi terkenal karena pelayanan kita, mari kita timbah pengalaman pelayanan dari Santa Theresia dari Kalkuta ketika dia menjawabi panggilan Allah:“ Aku mendengarkan panggilan Tuhan untuk meninggalkan sesuatu dan mengikuti Kristus, ke tempat-tempat kumuh dan melayani Dia di dalam diri orang-orang yang termiskin di antara kaum miskin.
Ia konsisten dengan panggilannya. Muder Teresa kemudian keluar ke jalanan di Kalkuta- India dengan Roasrio di tangannya, untuk menemukan dan melayani Yesus di dalam diri mereka yang tidak diinginkan, tidak dicintai dan tidak diperhatikan.
Pada suatu kesempatan beliau berkata:” Saya tidak dapat memastikan seperti apa surga itu, tetapi yang saya tahu, ketika kita meninggal, itulah waktu Allah untuk menghakimi kita. Ia tidak akan bertanya, “berapa banyak hal baik yang sudah kamu lakukan di hidupmu?”, melainkan “sebesar apakah cinta yang sudah kamu taruh di setiap apa yang kamu lakukan tanpa perhitungan macam-macam?”
Karena model pelayanan Santa Theresia Kalkuta dalam kerendahan hatinya, ia kemudian digelari kudus. Sesuatu yang prestisius, yang tidak mungkin dia duga sebelumnya. Ternyata, Tuhan telah memperhitungkan semua pelayanannya, dan memberikan ganjaran sesuai amalnya. Ia beramal ibarat anak kecil. Ia beramal dalam kepolosan. Ia beramal dalam kejujuran. Amalnya tidak munafik. Dalam amalnya, ia sama seperti anak kecil mempercayai ayah jasmani mereka, demikian pun santa Theresia percaya bahwa “Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya.”