Rilis dari Mikhael Rajamuda Bataona, Dosen Fisip Unwira Kupang yang diterima Warta Nusantara.
KUPANG : WARTA-NUSANTARA.COM-Rektor Universitas Katolik Widya Mandira, P. Dr. Philipus Tule, SVD, mengatakan, untuk membumikan nilai-nilai Pancasila, dunia kampus, atau civitas akademika harus bisa bekerja dalam semangat kemitraan Panca Mandala. Atau lebih luas lagi dalam spirit Multiple Helix melalui cara-cara edukasional, akademik dan scientific, agar nilai-nilai Pancasila benar-benar bisa dibumikan dan diamalkan secara sungguh-sungguh oleh semua pihak.
“Dunia Perguruan Tinggi di Nusa Tenggara Timur dan Indonesia umumnya, seyogyanya terpanggil bersama pemerintah untuk meningkatkan pemahaman dan membumikan nilai-nlai pancasila secara edukasional, akademik atau scientific dalam kemitraan Panca Mandala atau Panca Helix. Yaitu yang melibatkan Akademisi, Organisasi Kemasyarakatan, Media Massa, Dunia Usaha, dan Pemerintah Daerah,” demikian pandangan Rektor Dr. Philipus Tule, SVD, ketika menjadi pembicara dalam penandatanganan nota kesepahaman (MoU) bersama antara Unika dan Universitas Nusa Cendana, Rabu (8/12/21), di Aula Undana. MoU ini diselenggarakan oleh Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP).
Menurut rilis dari Dosen FISIP Unwira, Mikhael Rajamuda Bataona, sebelum hadir dalam MOU di Undana, Rektor Unwira juga membawakan makalah di Aula El Tari bersama Prof Mintje Ratoe Oejoe tentang Nilai-nilai Pancasila dan Gotong Royong pada pukul 09 – 12 Wita, dalam Acara Bersama BPIP untuk Pembentukan Jejaring Panca Mandala (JPM) FLOBAMORA, NTT.
Pater Philipus memberikan pandangan kritis terkait peran akademisi dan civitas akademika dalam pembumian nilai-nilai Pancasila. Pakar Islamologi ini menawarkan metode Dekonstruksi Derrida sebagai cara kerja akademik untuk membaca teks Pancasila, juga teks permenungan Bung Karno dari Ende. Tujuannya agar teks tersebut dihidupkan kembali, terbuka untuk diperluas dan diperkaya.
“Artinya, melalui kajian terhadap proses perumusan teks Pancasila oleh para founding-fathers, khusus-nya Soekarno, filsafat dekonstruksi Derrida bisa membantu membaca ulang (de-readere) teks tersebut. Salah satunya adalah teks surat-surat Islam dari Ende. Dengan cara tersebut, yaitu dalam terang filsafat dekonstruksi Derrida, makna yang tertera dalam teks-teks tulisan Soekarno itu, tidak dipandang sebagai sesuatu yang benar mutlak, universal, dan stabil. Sebaliknya, makna teks bisa bertambah, diperkaya dan diperbarui,” jelas Pater Philipus.
Dengan cara itu, yaitu dekonstruksi, ilmuwan yang banyak meneliti tentang budaya dan agama ini yakin, Pancasila bisa dipahami dan dihayati dengan spirit baru, yang memungkinkan kita mengatasi kejahatan paling mengerikan dan yang mengancam kelestarian bangsa seperti keserakahan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Juga, konflik dan ketidakadilan sosial, serta lingkungan artifisial yang diciptakan lewat pemahaman dan penghayatan agama, budaya dan ideologi yang serakah dan hanya memuaskan pribadi dan kelompok sendiri.
“Saya yakin bahwa berkat filsafat dekonstruksi, kekuatan-kekuatan baru yang tersembunyi di pinggiran bisa diangkat dan dihidupkan untuk memperkaya nuansa yang dikonstruksi atau ditafsir oleh orang-orang kuat (di Jakarta) dalam proses perumusan Pancasila. Baik teks maupun nilai-nilai religius dan budaya yang terkristalisasi dalam Pancasila, baik teks maupun nilai-nilai yang tersirat dalam Surat-Surat Islam dari Ende, tak lagi dipandang sebagai dokumen dengan makna tertutup, melainkan sebagai arena terbuka untuk pertarungan dan penafsiran baru, yang pantas dilakukan oleh para akademisi sesuai panggilan dan peranan mereka yang hakiki,” urai Pater Philipus.
Karena itu, menurut dia, jika hal ini dilakukan maka akan membantu memberi pandangan alternatif kepada pemerintah untuk benar-benar menerapkan keadilan sosial berbasiskan Pancasila. “Bila Marx pernah menilai agama sebagai proyeksi diri masyarakat dalam kesadaran palsu, yang berusaha melindungi ketidakadilan sosial, maka demikian pun kita hendaknya secara sadar dan kritis bisa men-DEKONSTRUKSI, mengeritik ideologi dan falsafah ataupun ’slogan-slogan Pancasila’ yang terus menina-bobokan masyarakat dalam ketidak-adilan sosial, politis, ekonomis, religius dan budaya,” tegas Pater Philipus.
Untuk itu semua pihak, sebut Pater Philipus, harus berusaha mengembangkan sikap habit mulia, menghargai kebhinekaan, memelihara persatuan dan kesatuan demi mewujidkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Karena itu, sebagai akademisi dan pemimpin Perguruan Tinggi Swasta di NTT, Rektor Unwira dua periode ini menjelaskan, dia sangat berterima kasih kepada kepala BPIP Prof. Yudian Wahyudi, PhD yang telah melibatkan UNWIRA merintis kerja sama, melalui MoU dan rencana kegiatan lainnya kedepan. Karena dari MoU yang ditandatangani, nampak bahwa secara tersurat dan tersirat ada berbagai usaha pengembangan wawasan kebangsaan, pembekalan, dan pembudayaan nilai-nilai Pancasila, aktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai Pancasila di lingkungan Perguruan Tinggi. Sehingga, semua pihak perlu terlibat melakukan sosialisasi dalam rangka pengarusutamaan nilai-nilai Pancasila di lingkungan Perguruan Tinggi. (*/WN-01)