Oleh : Ansel Deri, Jurnalis Asal Desa Belabaja, Tinggal di Jakarta
Catatan Mengenang Maxi Wolor, Jurnalis dan Mantan Anggota DPRD Lembata
WARTA-NUSANTARA .COM-DERETAN nama wartawan asal Lembata tatkala saya sekolah di Boto, ke Lewoleba lalu terdampar di Kupang nama Maxi Wolor, nyaris tak menerobos gendang telinga saya. Menyebut nama sejumlah wartawan dan penulis dari kampung nelayan Lamalera semisal Beding bersaudara pun sayup-sayup. Meski nama Marcel Beding, wartawan Kompas sudah menerobos dunia pers tanah Air, toh tetaplah gelap di mata saya. Apalagi Maxi Wolor. Selain tentu nama-nama Beding lainnya seperti Alex Beding SVD, perintis pers di NTT dan pendiri SKM Dian atau Pastor Bosko Beding SVD, pasutri Blido Michael Beding dan Sesilinda Indah Lestari Beding, Pastor Moses Hodehala Beding CSsR, dan sejumlah nama lain seperti J Bosko Blikololong (GATRA), Jakobus Blikololong (Bisnis Indonesia) atau Hilarius Laba Blikololong (Bali Pos).
Lalu di lereng Gunung Labalekan dan ke wilayah selatan Lembata lainnya ada Melkhior Koli Baran, Karolus Kia Burin, Vianey K Burin, Paul Kopong Burin, Musa Lebao, Pice Dori Ongen SVD, Bone Pukan (Suara Karya), dan sejumlah nama lain. Belum lagi nama-nama lain di wilayah Lembata semisal Thomas Ataladjar, Rebong bersaudara: Markus Rebong, Jacob Nuba Rebong, Albert Baha Rebong, dan Aloysius Rebong, Kornel Nunang di Atadei, lalu di Kedang ada Alo Liliweri, Hendrik Sara, John Lake, dll lalu di wilayah utara dari generasi muda semisal Linus Lusi (kolumnis Pos Kupang) Lambertus Lusi Hurek (Jawa Pos) atau Gabriel Hurek Making (RRI) dan nama-nama lain-lain seperti Yosep Yoseph Yapi Taum atau Yosafat Koli Taum (sekadar menyebut beberapa nama) dan banyak wartawan muda lain pendatang baru di dunia jurnalistik.
Berbeda dengan para wartawan generasi terdahulu saya, nama Maxi Wolor tetaplah misterius semisterius nama Lewokuma, kampung yang nampak hanya samar-sama saya lihat sebelum masuk Belang, Desa Watokobu, Kecamatan Nubatukan. Saat berjibaku dengan karung berisi beras, jagung titi, ubi jalar atau pisang memasuki Belang, mata saya fokus ke Lewokuma, kampung mungil dalam dekapan hutan yang masih perawan. “Kalau itu namanya Lefkumas. Salah satu suku pemilik ulayat di sekitar Belang. Bahasanya mirip orang Belang, Bata atau Lamalewar. Warna kulitnya juga macam kita orang Boto,” kata Viktor, kaka saya menjelaskan usai menarik kepala saya ke atas akibat leher saya agak kaku ditindis karung dalam perjalanan Boto-Lewoleba sejauh 24 kilo meter. Lefkumas dimaksud adalah Lewokuma, kampung asli dan tempat lahir Maxi Wolor. “Saya cuma baca nama ama di Pos Kupang. Saya kira ama dari Adonara, Solor atau Larantuka,” kata saya kepada Maxi Wolor. “Saya juga kira engko dari Adpnara atau Solor. Padahal, engko orang Boto Kluang. Namamu saya baca di SKM Dian,” kata Maxi Wolor menimpali. “Saya sudah lama meninggalkan kampung lalu tinggal di Makasar. Pernah aktif di sejumlah media di luar NTT. Pernah juga ditugaskan di Pos Kupang. Tapi sayang karena saat itu telekomunikasi masih terbatas. Andalan kita telegram,” katanya sambil tertawa saat ngobrol di sebuah hotel di Mangga Besar Jakarta kala ia menunaikan tugas sebagai anggota PAW DPRD Lembata dari PKPI.
Maxi Wolor lahir di Lewokuma pada 11 Oktober 1956. Ia menyelesaikan studi S-1 jurusan Manajemen di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tri Dharma Nusantara Makassar. Terjun ke dunia jurnalistik sebagai wartawan Harian Pedoman Rakyat, Surya, Pos Kupang dan Bisnis Indonesia kurun waktu tahun 1978-2012. Dunia para kuli disket itu mengantar wartawan dari Lefkumas itu menyambangi sejumlah kota besar seperti Surabaya, Ambon dan Kupang. Maxi dikenal sebagai wartawan bertangan dingin sehingga sejumlah pos penting digenggamnya. Ia misalnya menjadi redaktur di desk Flobamora Pos Kupang, koran yang didirikan Damyan Godho, wartawan senior dari Flores. Maxi juga dipercaya sebagai editor Surya dan juga didapuk sebagai editor Harian Bisnis Indonesia Jakarta sambil mengelola portal berita bisnis-kti.com dari Makassar, kota bertajuk Angin Mamiri.
Lama menjadi wartawan, kepercayaan dan karya datang berlipat. Rekan-rekan wartawan di Sulawesi Tengah menyerahkan tugas baru kepada Maxi Wolor sebagai Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu periode 2000-2002. Selain itu, bersama rekan-rekannya ia terlibat menulis buku Siap Menang: KPU Sulsel di Antara Dua Kekuatan Pilgub 2007 (2008), Indonesia Dalam Perpektif Daerah Menuju Pemerintahan yang Bersih (2009), Arifin Junaedo: Birokrat Tahan Banting (2011), dan Mata Air Peradaban: Memorial Gubernur Syahrul Yasin Limpo (2012). Maxi Wolor juga menulis buku hasil karyanya sendiri seperti Obyek Wisata Sulawesi Tengah (2003), Lima Tahun Otonomi Kabupaten Lembata (2006), Daily Notes of A Journalist: Catatan Harian Seorang Wartawan (2012), dan Leluhur & Tanah Ulayat Suku Lamawolor di Lewokuma, Lembata (2014). “Saya memutuskan menghabiskan sisa usia saya di Bour. Di Lewokuma rumah adat kami masih ada. Ada sekitar lima keluarga menetap di sana. Sebagian sudah bergeser ke Bour,” katanya.
Buku karya terakhir di atas, dikirm langsung dari Makassar ke Jakarta. Ia beralasan buku karyanya itu perlu saya koleksi mengingat beberapa suku dari komunitas masyarakat di lereng Labalekan masih memiliki tali temali sejarah dengan Lefkumas, Lewokuma. Banyak kaum pria warga lereng Labalekan tempo doeloe masih menjaga baik sejumlah tempat keramat antara Boto hingga Waijarang sebagai tempat ritual berburuh babi hutan, rusa atau musang. Karena itu buku karyanya itu layak saya koleksi sebagai wartawan ‘orang hutan’ (setelah tahu saya dilahirkan di hutan). “Maaf, saya kirim satu eksemplar agar kaka ade lain di kampung bisa kebagian juga,” katanya saat saya mampir di Bluwa, kos yang disewa sekadar tempat sunyi ia menulis buku dan artikel ke media.
Maxi Wolor mengungkapkan hal menarik dalam pengantar buku itu. Katanya, “Waktu yang saya janjikan seakan tiba pada akhir 2009 ketika saya dan isteri pulang kampung lagi. Beberapa data, terutama penuturan lisan mulai dikumpulkan di Lewokuma, Riangdua, Belang, Kewakat dan Waijarang. Data-data lisan itu kemudian ditambah dengan beberapa bahan pustaka dan bacaan lainnya yang saya peroleh di Makassar dan Lewoleba. Naskah buku ini saya mulai tulis sedikit demi sedikit sejak 2010,” katanya. Pagi ini, kabar duka saya peroleh dari Sr Thresia Wolor, ponakan Maxi yang tengah menunaikan tugas di Manggarai, Flores bagian barat. “Bapa Maxi meninggal di Rumah Sakit Damian Lewoleba pagi ini.
Sejak semalam beliau dirawat di sana. Namun, Tuhan memanggilnya,” kata Sr Thresia Wolor. Saya percaya, kabar duka itu menggelayut di langit Lefkumas, Lewokuma, tanah asal dan kampung leluhur jurnalis Maxi Wolor. “Sebagai pribadi dan salah satu generasi pewaris ulayat suku Lamawolor, saya bertanggung jawab menulis buku sedehana ini. Harapan saya kisah tanah ini diketahui mereka yang ingin berinteraksi dengan komunitas di tanah ulayat suku Lamawolor,” kata Maxi Wolor. Selamat jalan, ama Maxi. Terima kasih semangatmu berbagi ilmu jurnalistik sesama anak kampung. Selamat jalan. Para malaikat surgawi tentu tengah memendam rindu menjemputmu. Doakan kami semua.
Jakarta, 27 Januari 2022
Ansel Deri
Orang udik dari kampung;
Pejalan kaki 24 KM semasa SMA