WARTA-NUSANTARA.COM-Pada tahun 1971-1973 saya sekolah di Maumere. Suatu hari di tahun 1971, ada pengumuman dari sekolah bahwa setiap siswa dan siswi SMAK dan SMEAK Santu Gabriel Maumere harus berpakaian seragam kemeja putih dan celana pendek hijau dalam rangka menyambut kunjungan Bapak Frans Seda, Menteri Keuangan Republik Indonesia di jaman Orde Baru. Saat itu bertepatan dengan kampanye Pemilihan Umum untuk memilih para wakil di DPRD Kabupaten, DPRD Propinsi dan DPR RI.
Jumlah keuangan saya sangat terbatas yang saya dapatkan dari orangtua untuk membeli sepasang pakaian seragam. Uang itu hanya cukup untuk membeli satu kemeja dan sisanya tidak cukup untuk beli satu celana pendek jadi.
Akhirnya timbul ide kenapa tidak jahit sendiri saja celana? Saya pun membeli bahan, seingat saya di Toko Kali Mas Maumere. Saya beritahu kepada baba pemilik toko bahwa saya mau beli kain untuk bahan celana pendek. Baba itu tanya berapa meter yang kau butuhkan? Saya jawab setengah meter. Dia bilang setengah meter mana cukup? Saya dengan percaya diri mengatakan itu cukup baba.
Dia bilang mana bisa cukup, itu tukang jahit ‘babi’. Saya diam dan ‘sedih’ karena sayalah sesungguhnya tukang jahit itu. Dalam hati saya bertekad untuk membuktikan bahwa dengan bahan setengah meter itu bisa jahit satu celana pendek. Karena
uangnya hanya cukup untuk beli bahan setengah meter, sayapun membeli bahan tersebut. Si baba tidak tahu kalau saya tukang jahitnya dan dia pun tidak tahu kalau sayapun baru mau coba menjahit.
Sepulang di rumah sayapun mulai membongkar satu celana bekas saya untuk dijadikan patron dan sayapun mulai menggunting dengan mencontoh atau menjiplak dari celana bekas itu. Dari bahan yang tidak cukup itu saya usahakan menjahitnya dengan tanpa saku baik muka maupun belakang., justru karena saya belum bisa menjahit sakunya. Yang penting sudah jadi satu celana yang siap pakai. Supaya kelihatan ada saku saya hanya menjahit model saku di bagian depan maupun belakang. Terbukti bahwa ‘tukang jahit babi’ ini bisa menjahit satu celana pendek dengan bahan hanya setengah meter.
Mungkin ada yang bertanya, sejak kapan saya bisa menjahit? Salah satu tugas rutin saya setiap sore adalah ke pasar baru Maumere yang letaknya di depan POLRES Maumere untuk belanja ikan segar dan sayur untuk kebutuhan makan malam. Di dalam pasar itu ada banyak kios di mana tukang-tukang jahit menerima jahitan. Saya suka mendengar bunyi mesin jahit pada saat diinjak untuk menjahit. Di situlah saya tertarik dan musti ada lima sampai sepuluh menit setiap hari untuk mendengar bunyi mesin itu, melihat dan memperhatikan cara menjahit celana maupun baju kemeja.
Ternyata Tuhan mempersiapkan jalan bagi saya untuk mengatasi kesulitan memiliki celana seragam sekolah saat itu dengan menjahit sendiri.
Setelah pulang dari Maumere, tahun 1974 saya mengajar di SMP/SMEP Budi Bakti Waiteba. Kalau mau jahit celana atau baju harus berjalan kaki sekitar 6 atau 7 jam. Akhirnya saya mencoba menjahit celana panjang pertama kali di Waiteba karena terdesak situasi. Beberapa teman guru mulai mempercayakan saya menjahit celananya. Kemija saya belum bisa. Mesin jahitnya nebeng sama tetangga yang punya.
Tahun 1976 saya pindah mengajar di SMPK Santu Pius X Lewoleba, jadi mau jahit pakaian tidak sulit.
Desember 1976 saya ke Kupang untuk lanjutkan kuliah di FKKH UNDANA. Dihadapkan dengan keterbatasan keuangan antara mau beli pakaian baru atau mau bayar kuliah akhirnya saya mulai menggeluti lagi jahit menjahit.
Suatu hari saya ke toko buku untuk membeli buku. Saya ingat tokonya di Kampung Solor tapi nama tokonya saya tidak ingat lagi.
Saya menemukan satu buku Pedoman memotong dan menjahit pakaian pria. Dengan uang yang terbatas saya cencel rencana beli buku kuliah untuk membeli buku yang menurut saya sangat berguna itu.
Melalui buku itu mengantar saya untuk menjadi seorang penjahit otodidak yang katakan saja semi profesional. Saya mulai menjahit pakaian seragam guru-guru dan anak SMPK Santu Yoseph karena saya juga Guru di SMPK St. Yoseph Naikoten Kupang.
Terimakasih kepada baba Toko Kalimas Maumere, yang menjuluki saya sebagai “Tukang Jahit Babi” ternyata memicu dan memacu bakat alamiah yang saya miliki dan mengantar saya menjadi seorang Tukang Jahit Semi Profesional.
Tidak semua hinaan atau celaan itu jelek, ternyata ada sisi positip di balik itu.
Pesan moralnya adalah:
Tidak semua hinaan atau celaan itu jelek, ternyata ada sisi pisitipnya.
Di balik penderitaan dan wafatnya Yesus di Kayu Salib, itu ada kebangkitan dan sukacita.
Yesus menderita ketika tergantung di salib, Hati❤️Nya bersukacita karena Dia telah menebus dosa dunia.
Bisakah kita seperti Yesus? Ketika kita menderita secara fisik, tapi hati kita harus bersukacita. Karena di balik penderitaan pasti ada sukacita. Ada karunia ada kebaikan-kebaikan Tuhan. Pernahkah kita menginventarisasi kebaikan-kebaikan Tuhan ketika sedang dan sesudah mengalami suatu penderitaan?
—————————————
Kota Wisata, Cibubur,
14 Pebruari 2019, pas Valentin Day, Herman Wutun