WARTA-NUSANTARA.COM-Sejak kemarin hingga pagi ini, wartawan media online menurunkan berita tentang Gubernur NTT yang berdamai dengan Umbu Marambu Hau. Selatan Indonesia.com merilis berita tersebut pada hari Sabtu, 12 Februari 2022 dengan judul:” Ciuman Perdamaian Gubernur Laiskodat dan Umbu Maramba Hau. Menyusul Warta Nusantara mewartakan berita tersebut dengan judul:” Ciuman Gubernur NTT Tanda Damai Dengan Umbu Marambu Hau (Warta Nusantara.com, 13 Februari 2022).
Para pembaca dengan sukarela meneruskan berita itu sebagai warta baik untuk penghuni jagat Flobamorata ini, bahwa prahara persaudaraan yang sempat tercoreng, kini sudah terpulihkan melalui ciuman dan rangkulan dua tokoh besar ini: Viktor Bungtilu Laskodat, Gubernur NTT dan Umbu Maramba Hau, tokoh adat Kabaru, Kecamatan Rindi, Kabupaten Sumba Timur.
Tepatnya 27 November 2021, kata-kata kasar keluar dari mulut sang gubernur. Sontak publik kaget karena kata-kata model begini keluar dari mulut orang nomor satu NTT. Maka berita itu dalam waktu singkat begitu viral. Tema itu menjadi topik yang terus-menerus didiskusikan. Tetapi, seiring berjalannya waktu, berita itu seolah lenyap terkubur.
Terhadap kejadian itu, dalam prosesi perdamaian adat itu, Khristofel Praing menyatakan bahwa:” Setelah 27 November 2021 terjadi kemarau sosial di Kabaru. Hari ini, 12 Februari 2022, ada hujan berkat di Lambanapu.”
Pertanyaan kita, selama kemarau sosial itu, mengapa gubernur NTT tidak tampil untuk melakukan klarifikasi? Mengapa Gubernur NTT diam?
Kembali ke Dalam Diri.
Benarkah Gubernur NTT diam? Tentu tidak. Beliau melakukan “sebuah perjalanan.” Beliau melakukan perjalanan kembali ke dalam dirinya sendiri. Baginya ini adalah suatu hal yang paling menarik karena inilah jalan dan sikap hidup yang darinya beliau dapat memperoleh inspirasi dan seketika mendapat kekuatan untuk membaharui motivasi hidup serta serentak merevisi strategi kerjanya. Mungkin pula, dalam perjalanan itu, beliau merasa tidak menyenangkan oleh karena berjumpa dengan kekeliruan, kesalahan, cacat dan dosa-dosa. Perjalanan ke dalam diri sendiri adalah kata lain dari sebuah refleksi panjang atas apa yang pernah dikerjakannya dan juga atas tutur kata yang telah diucapkannya.
Refleksi yang dimulai dari Aksi lalu Refleksi lagi dan kemudian Aksi lagi, adalah spiral peradapan manusia yang menunjukkan eksistensi manusia sebagai makhluk berakal budi dan berhati nurani. Dalam refleksi itu, yang lebih diandalkan adalah hati nurani. Refleksi membutuhkan saat hening. Karena dalam keheningan itu, kita membiarkan hati nurani itu berbicara kepada kita, karena kita berkeyakinan bahwa suara hati itu adalah suara Tuhan sendiri. Kalau demikian maka Tuhanlah yang sendiri berbicara kepada kita. Bila Tuhan sendiri yang berbicara kepada kita maka yang didengar manusia adalah ajakan untuk berbuat baik dan larangan untuk menghindari hal-hal yang jahat. Dalam konteks ini, Gubernur NTT telah berhasil mendengarkan suara hatinya. Beliau telah sukses membuat perjalanan panjang ke dalam dirinya sendiri.
Ciuman: Bahasa Peradaban Insani.
Refleksi itu kemudian terungkap dalam kata-kata yang terluncurkan dari bibir Gubernur NTT:” Saya minta maaf dan biarkan itu menjadi kenangan untuk kita lebih maju membangun daerah ini.” Refleksi mendalam melahirkan aksi perdamaian. Aksi perdamaian dua tokoh ini menyata dalam perbuatan ciuman dan rangkulan. Aksi Damai ini, oleh Bupati Kabupaten Sumba Timur mengatakan:” Perdamaian dengan etika baik menunjukkan kemajuan peradaban.” Karena itu lanjutnya lagi, “Kedamaian itu tidak perlu dipertentangkan karena kedamaian itu sebuah kebenaran.”
Ciuman dan rangkulan itu adalah bahasa peradaban insani. Ciuman sebagai simbol pelepasan angkara murka serentak melahirkan kesejukan. Ciuman adalah bahasa permohonan maaf yang berangkat dari kerendahan hati. Ciuman adalah bahasa pengampunan yang membebas-merdekakan. Karena itu ia menjadi milik setiap insan manusia. Rangkulan adalah tanda persatuan intim mesra. Ia tidak terceraikan lagu. Ia menjadi tanda manunggal dua insan, karena di sana ada bahasa kasih nan agung. Kasih yang mengampuni. Kasih juga yang membebaskan. Kasih yang memerdekakan dua tokoh berdaulat yang saling berdamai.
Dua tokoh besar, Victor Bungtilu Laiskodat dan Umbu Marambu Hau telah menunjukkan kepada publik bahwa ciuman dan rangkulan itu bukan sekedar bahasa simbolik, tetapi dia memiliki pesan mulia sebagai bahasa peradaban insani, bahwa siapapun manusia itu, ia bisa jatuh terjerembab dalam kata dan/atau perbuatan, tetapi ia memiliki kesempatan untuk memperbaikinya, asal dia senantiasa berjalan pada siklus Aksi, Refleksi, Aksi sebagai wujud eksistensi manusia sebagai makhluk beradab. ***