Yos.5:9a.10-12; 2Kor.5:17-21; Luk. 15:1-3.11-32
Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih,
Menurut tradisi Gereja Katolik Roma yang memiliki tradisi Liturgi Latin, Hari Minggu IV Parapaskah disebut sebagai Minggu Sukacita, Minggu Laetere. Istilah Sukacita diambil dari Antifon Pembuka tradisi Latin untuk misa hari itu, Laetere Jerusalem (Bersukacitalah Yerusalem), yang memiliki dasar biblis pada Yesaya 66:10, “Bersukacitalah bersama-sama Yerusalem, dan bersorak-soraklah karenanya, hai semua orang yang mencintainya!” Bergiranglah bersama-sama dia segirang-giranya, hai semua orang yang berkabung.”
Berkenaan dengan hari Minggu Laetere ini, kita mendengar perumpamaan tentang anak hilang yang diambil dari bab 15 injil Lukas. Dalam keseluruhan injil Lukas pada bab 15, penginjil memberikan perumpamaan tentang kehilangan.
Ada tiga perumpamaan kehilangan yang diceritakan di sana. Yang pertama, Perumpamaan tentang Domba yang Hilang (Luk. 15:1-7). Yang kedua, Perumpamaan tentang Dirham yang Hilang. Pada dua jenis kehilangan ini,penginjil menulis sebagai berikut:” Bersukacitalah bersama-sama dengan aku, sebab domba/dirham yang hilang itu telah kutemukan.” Lukas lalu menutup dua jenis perumpamaan itu dengan menulis:” Demikian juga akan ada sukacita di sorga/ akan ada sukacita pada malaekat-malaekat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat.” Pernyataan terakhir itu, menunjuk pada perumpamaan ketiga:” Anak Hilang” yang kisahnya kita dengar pada hari ini.
Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih,
Si bungsu itu manusia yang selalu tidak puas dengan situasinya sekarang. Karena itu ia meminta kepada ayahnya untuk memberikan hak warisannya. Setelah ayahnya memberikan bagiannya, si bungsu pun pergi dan menghabiskan dengan para pelacur. Saat dia benar-benar kehabisan segala-galanya, bencana pun datang. Kelaparan hebat terjadi di daerah itu. Ia menjadi orang yang melarat. Ia coba keluar dari kemelut itu. Ia akhirnya menjadi penjaga bagi. Sebuah pilihan yang tentunya tidak menyenangkan. Tatkala dia menjadi penjaga babi, ia meminta ampas dari sisa-sisa makanan babi itu untuk mengisi perutnya. Namun sayang, tak seorang pun memberikan kepadanya. Saat itu, ia merasa diri sebagai orang yang benar-benar tidak berguna. Ia merasa lebih buruk dirinya daripada ampas makanan babi. Dalam situasi demikian itulah dia sadar. Dia ingat suasana tatkala dia masih bersama ayahnya dulu. “Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, sedangkan aku di sini mati kelaparan (ayat 17-19).” Ia benar-benar menyesal. Penyesalannya yang sungguh itu diikuti dengan tindakannya. Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Inlah aspek pertobatan sang anak.
Lukas mencatat, begitu melihat anaknya dari kejauhan, sang ayah berlari mendapatkannya, lalu merangkul dan menciumnya. Rangkulan sebagai bentuk pengakuan bahwa engkau masih tetap anakku, walau pernah menyakiti hati sang ayah. Rangkulan sebagai bahasa pemersatu. Aku dan engkau satu. Tak ada lagi yang dapat memisahkan kita. Sedangkan ciuman itu sebagai bentuk kasih sayang, bahasa sukacita. Sukacita karena anaknya telah kembali pulang. Untuk menegaskan tindakan merangkul dan mencium, sang ayah memakaikan jubah yang paling baik untuk anaknya.
Jubah simbol wibawa kerahiman. Otorita misericordiae Patris. Jubah simbol pengampunan. Simbol jubah itu adalah menutupi segala borok, luka, dosa dan kelemahan serta kesalahan yang sudah dilakukan oleh anak. Karena itu pengenaan jubah bermakna pengampunan atas kesalahan. Sang ayah memiliki wibawa dan otoritas untuk mengampuni anak.
Tidak hanya jubah tetapi juga cincin. Cincin dikenakan pada jari sang anak. sebagai simbol kesetiaan dan keutuhan cinta dan kasih sayang. Cincin mengungkapkan kesetiaan pengampunan sang ayah terhadap anak tetapi sebaliknya menuntut pula kesetiaan dari sang anak. Maka cincin sebagai bahasa kesetiaan yang timbal balik.
Pengampunan yang berasal dari kesetiaan ayah untuk selalu mengampuni tanpa batas, telah menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang dari sang anak kepada ayahnya. Cintanya itu utuh-satu. Cinta yang sempurna. Tidak sepotong-sepotong. Tidak setengah-setengah. Tapi holistic, sebagaimana disimbolkan dalam cincin.
Selain jubah dan cincin masih ada sepatu. Sepatu tidak saja sebagai alas kaki, tetapi juga memiliki makna filosofis. Bahwa sepatu itu tidak pernah sama, tetapi keduanya saling melengkapi. Selain itu ada makna saling pengertian, Dengan sifat saling pengertian ini, kedua sepatu pun akhirnya bisa mencapai tujuan yang dicita-citakan. Keduanya tidak hanya berangkat bersama, namun juga akan sampai tujuan secara bersama-sama pula. Makna lain dari sepatu adalah persamaan derajat. Jadi, pengenaan sepatu pada kaki anak bungsu hendak mengatakan bahwa baik ayah dan anak mereka adalah sederajat. Sang ayah mau katakan kepada anaknya bahwa pengampunan telah membuat mereka menjadi sederajat. Mereka menjadi setara dalam cintakasih yang paripurna. Karena mereka adalah sederajat maka keduanya berjalan bersama untuk masuk pada Pesta Pertobatan. Perayaan Sukacita Pengampunan.
Karena itu maka pasca mengenakan jubah, cincin dan sepatu, sang ayah menyuruh hamba-hambanya untuk menyembelih lembu yang paling tambun. Kemudian mereka pun bersukacita dalam aluan bunyi musik seruling dan nyanyian tari-tarian (ayat 25) untuk merayakan kembalinya anak hilang. Itulah kegembiraan Tobat.
Pesta yang hendak menegaskan kepada anaknya bahwa dulu di tanah rantau dia sama sekali tidak diperhitungkan sebagai seseorang, maka pada hari ini dengan berpakai jubah terbaik, cincin dan sepatu, dia sungguh-sungguh diperhitungkan sebagai seseorang, sebagai Anak Bapa. Sukacita itu sebagai keterpenuhan sebagaimana yang tertulis pada dua perumpamaan sebelumnya:” Akan ada sukacita di sorga/ akan ada sukacita pada malaekat-malaekat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat.”
Kegembiraan tobat dan sukacita pengampunan yang dimeteraikan Pesta Pertobatan ternyata hendak dinodai oleh anak sulung yang baru pulang dari ladang. Karena kepongahan kesulungannya dia merasa berhak mengatur ayahnya. Bahkan merasa sok suci, ia hendak membuka kembali dosa-dosa adiknya, yang nota bene, sudah ditudung-tutupi dengan Jubah Kerahiman Sang Ayah. Ia tidak dengar kata-kata sang ayah. Karena itu dia tidak mau masuk. Dia tidak ingin bergabung dalam pesta pertobatan, sukacita pengampunan yang didapatkan adiknya. Di sinilah letak pembangkangannya terhadap sang ayah. Karena itu ia memilih untuk tidak masuk bergabung dalam sukacita pertobatan itu. Ia terus berada di luar. Ketika ia terus berada di luar, pada akhirnya ia justru menjadi anak hilang.
Bapak, ibu, saudara-saudari yang terkasih, bagaimana dengan kita? Pada Minggu Sukacita ini, apakah kita sudah menemukan diri sebagai anak bungsu atau masih menjadi anak sulung? **