Oleh : Antonius Bunga Thomas
WARTA-NUSANTARA.COM-Pada tahun 2021, kasus korupsi terbanyak terjadi di sektor anggaran dana desa. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyajikan bahwa sebanyak 154 kasus dengan potensi kerugian negara sebesar 233 miliar rupiah (ICW, 18 April 2022). Peningkatan kasus korupsi anggaran dana desa terhitung sejak tahun 2015, dengan 17 kasus yang berakibat pada kerugian sebesar 40,1 miliar rupiah. ICW menemukan bahwa pemerintah desa adalah lembaga dengan kasus korupsi yang paling banyak ditangani oleh Aparat Penegak Hukum (APH).
Nusa Tenggara Timur (NTT) juga tidak luput dari kasus tindak pidana korupsi oleh lembaga pemerintahan desa. Berdasarkan data yang dihimpun wartasasando.com (8 April 2022) dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Kupang, tercatat ada 71 kades (termasuk penjabat kades) di NTT yang diproses di Pengadilan Tipikor Kupang dalam perkara tindak pidana korupsi. Itu tidak menutup kemungkinan masih adanya kasus korupsi lembaga pemerintahan desa belum tercium dan terusut oleh APH.
Oleh karena itu, pengelolaan anggaran dana desa harus diawasi secara ketat, apalagi pada tahun 2022 ini, pagu anggaran dana desa yang telah dialokasikan oleh Pemerintah Pusat sebesar 68 triliun rupiah kepada 74.961 desa di 434 kabupaten/kota se-Indonesia. Jumlah pagu ini menurun sebesar 4 miliar rupiah dibandingkan tahun sebelumnya.
Adapun pagu dana desa tahun 2022 untuk Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 2,8 triliun. Nilai anggaran dana desa ini lebih kecil dibandingkan dengan alokasi pada tahun 2021 yang mencapai 3,059 triliun rupiah. Besaran pagu anggaran tersebut selanjutnya dialokasikan kepada desa-desa di NTT. Masing-masing desa yang telah menerima besaran pagu dana desa, memanfaatkannya untuk kepentingan pembangunan desa. Pada bagian inilah pengawasan terhadap pengelolaan keuangan desa penting untuk dilaksanakan agar mencegah terjadinya potensi korupsi sehingga target pembangunan dari desa sebagai prioritas utama pembangunan nasional tercapai.
Elemen-elemen seperti Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), Camat, BPD dan masyarakat desa memiliki peran penting dalam pengelolaan keuangan desa. Terkait pengawasan pengelolan keuangan desa, saya mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 73 Tahun 2020 tentang Pengelolan Keuangan Desa. Permendagri tersebut memuat pengawasan oleh: APIP, Camat, BPD dan masyarakat desa. Hemat saya, Permendagri tersebut adalah angin segar bagi masyarakat desa dalam melakukan pengawasan pengelolaan keuangan desa oleh Pemerintah Desa. Namun, keberadaan permendagri ini belum familiar di publik, sehingga masih ada warga-warga masyarakat desa belum memiliki pemahaman memadai tentang fungsi mereka dalam mengawasi pengelolaan keuangan desa oleh pemerintah desa.
Oleh karena itu, dalam tulisan sederhana ini penulis menyajikan pengawasan pengelolaan keuangan desa dengan batasan tulisan yakni pengawasan oleh masyarakat desa
Pengawasan oleh Masyarakat Desa
Sebagaimana yang tertera dalam Permendagri Nomor 73 Tahun 2020 Pasal 23 ayat (2), pengawasan pengelolaan keuangan desa merupakan bentuk partisipasi masyarakat desa. Pada ayat (3) memuat bahwa dalam pelaksanaannya, masyarakat desa berhak meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa. Adapun informasi yang dimaksud disajikan pada ayat (4) antara lain: APB Desa; pelaksana kegiatan anggaran dan tim yang melaksanakan kegiatan; realisasi APB Desa; realisasi kegiatan; kegiatan yang belum selesai dan/atau tidak terlaksana; dan sisa anggaran. Hemat saya, Pasal 23 ini dengan jelas menyatakan bahwa masyarakat berhak meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa terkait pengelolaan keuangan desa sebagai bentuk partisipasi masyarakat desa terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa itu sendiri. Pemerintah Desa mesti mengakomodir hak masyarakat desa ini sebagai bentuk dari transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku misalnya, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Selanjutnya, Pasal 23 Ayat (5) tertera pemantauan oleh masyarakat dilakukan melalui: partisipasi dalam musyawarah desa untuk menanggapi laporan terkait pengelolaan keuangan desa; penyampaian aspirasi terkait pengelolaan keuangan desa; dan penyampaian pengaduan masyarakat terkait dengan pengelolaan keuangan desa. Meskipun pasal ini dengan jelas menyampaikan bahwa masyarakat desa dapat menanggapi laporan pemerintah desa terkait pengelolaan keuangan desa, ruang ini seringkali tidak “diberi” kepada masyarakat desa. Ketidakterbukaan seperti ini dapat berdampak pada terpicunya polemik di kemudian hari yang diawali dengan mosi tidak percaya masyarakat desa terhadap pemerintah desa yang tidak becus dalam mengelola keuangan desa apalagi jika tidak didukung dengan fakta lapangan atau uji petik di lapangan. Oleh karena itu, BPD sebagai lembaga yang berwenang menyelenggarakan musyawarah desa mesti melibatkan masyarakat untuk memperoleh informasi APB Desa dan menanggapi laporan keuangan oleh pemerintah desa. Masyarakat desa juga dapat berkontribusi dengan memberikan aspirasi baik berupa kritikan maupun saran untuk pembangunan desa.
Pasal 24 Ayat (1) memuat tentang hasil pemantauan masyarakat desa disampaikan kepada Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa untuk mendapatkan tanggapan atau tindaklanjut. Ayat (2) memuat tentang penyelesaian keluhan dari hasil pemantauan secara mandiri oleh Desa berdasarkan kearifan lokal melalui musyawarah BPD. Jika penyelesaian yang dimaksud pada Ayat (2) dianggap kurang memuaskan oleh masyarakat, hasil pemantauan dapat disampaikan kepada camat untuk dilakukan mediasi, seperti yang tertera pada Ayat (3). Pada Ayat (4) memuat bahwa dalam hal hasil pemantauan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat indikasi penyalahgunaan wewenang, kerugian keuangan desa, dan/atau indikasi tindak pidana korupsi, masyarakat dapat menyampaikan hasil pemantauan kepada APIP daerah kabupaten/kota.
Pasal 24 ini dengan jelas menunjukkan mekanisme pengawasan oleh masyarakat. Berawal dari penyampaian hasil pemantauan masyarakat desa kepada Pemerintah Desa dan BPD. Selanjutnya, melalui Musyawarah BPD, Pemerintah Desa dan BPD menyelesaikan keluhan hasil pemantauan berdasarkan kearifan lokal setempat/desa tersebut. Jika masyarakat desa belum puas dengan penyelesaian yang telah dilakukan oleh kedua lembaga tersebut, maka masyarakat desa dapat melanjutkannya dengan menyampaikan kepada camat. Selaku perpanjangan tangan Bupati, Camat akan melakukan mediasi penyelesaian masalah atau keluhan hasil pemantauan oleh masyarakat desa.
Lalu bagaimana jika dalam penyelesiaan oleh Pemerintah Desa dan BPD terkait keluhan hasil pemantauan masyarakat desa, terdapat indikasi penyalahgunaan wewenang, kerugian keuangan desa, dan/atau tindak pidana korupsitindak pidana korupsi?
Masyarakat dapat menindaklanjutinya dengan menyampaikan hasil pemantauan kepada APIP daerah/kota. Ingat, penyampaian hasil pemantauan kepada APIP daerah/kota jika dan hanya jika masyarakat desa menemukan adanya indikasi penyalahgunaan wewenang, kerugian keuangan desa, dan/atau indikasi tindak pidana korupsi. Penyampaian tidak ke camat melainkan langsung kepada APIP daerah/kota.
Tidak semua warga masyarakat desa memiliki keberanian untuk menyampaikan aspirasi baik kepada Pemerintah Desa maupun kepada BPD. Apalagi jika yang menduduki jabatan di salah satu dari kedua lembaga tersebut adalah anggota keluarganya sendiri. Yang mungkin terjadi adalah akan terjadinya kerenggangan hubungan kekeluargaan. Hal ini dapat terjadi di daerah mana saja termasuk kita orang NTT. Warga masyarakat desa lebih nyaman menyampaikan aspirasi atau laporan hasil pemantauannya kepada APH, karena kerahasiaan identitasnya sebagai pelapor tetap aman. Namun, masih ada warga masyarakat yang kritis menyampaikan aspirasi kepada Pemerintah Desa dan BPD. Hemat saya, warga masyarakat ini perlu diapresiasi keberaniannya, karena ia berani menyampaikan aspirasinya. Ia sungguh menunjukkan partisipasi dirinya dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan desa. Bahkan, ia mengambil resiko untuk mengalami hidup tidak nyaman jika ia mengalami perlawanan dari pihak berkepentingan yang dikritisinya.
Untuk Pemerintah Desa dan BPD
Pemerintah Desa mesti profesional dalam mengakomodir aspirasi konstruktif dari masyarakat desa. Pemerintah Desa—Kepala Desa mesti melihat warga masyarakatnya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang telah mengangkatnya sebagai pelayan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ia harus mengetepikan hubungan kekerabatan (jika yang menyampaikan aspirasi tersebut adalah keluarga atau masih memiliki hubungan kekerabatan). Aspirasi warga msyarakat menjadi fokus utama yang mesti ditanggapi oleh Pemerintah Desa.
Begitu juga halnya dengan BPD. Menyalurkan aspirasi masyarakat desa kepada Pemerintah Desa merupakan salah satu fungsi utama BPD. BPD adalah juru bicara masyarakat desa. Lidah BPD adalah lidahnya masyarakat desa. Dalam menjalankan fungsinya yakni melakukan pengawasan terhadap kinerja Kepala Desa, BPD sangat membutuhkan aspirasi konstruktif dari masyarakat desa. Aspirasi-aspirasi yang diterima dikaji atau ditelusuri oleh BPD terlebih dahulu sebelum disampaikan kepada Pemerintah Desa. Pada bagian inilah, setiap anggota BPD dituntut untuk memiliki pemahaman terhadap regulasi-regulasi yang berlaku. Dengan demikian, sebagai mitra kritis pemerintah, BPD tidak asal bicara. BPD bicara berdasarkan regulasi-regulasi yang berlaku dan sebagai penyambung lidah rakyat.
Sayangnya, masih ada fakta lapangan yang mengindikasikan bahwa Pemerintah Desa dan BPD belum mampu melaksanakan ke-mitra-an. Secara sederhana mitra harus dipahami sebagai kerjasama antara kedua belah pihak dengan batas-batasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mitra dapat berjalan dengan baik jika masing-masing lembaga baik Pemerintah Desa dan BPD memahami dan menguasai tugas pokok dan fungsinya. Oleh karena itu, rutinitas penguatan kapasitas perangkat desa dan anggota BPD mesti dilaksanakan. Dengan demikian, dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya masing-masing, Pemerintah Desa dan BPD dapat melaksanakan ke-mitra-an dengan baik. Keduannya tidak saling jual-menjual, tuduh-menuduh, dan jatuh-menjatuhkan hanya untuk memperoleh mosi percaya dari masyarakat desa.
Penutup
Tulisan sederhana ini bertujuan untuk menginformasikan kepada kita sekalian bahwa peran masyarakat desa dalam melakukan pengawasan termuat dalam Permendagri Nomor 73 Tahun 2020 yang mana belum familiar diketahui publik meskipun sudah lebih dari satu tahun keberadaannya. Saya berharap agar warga masyarakat desa mesti mengakses, mempelajari, memahami, menguasai dan menyebarluaskan Permendagri ini. Masyarakat desa mesti melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan desa sebagai bentuk partisipasinya dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan desa. Jika masyarakat desa secara sadar mengabaikan perannya, maka sebetulnya masyarakat desa sungguh berperan dalam peningkatan kasus tindak pidana korupsi oleh pemerintah desa seperti yang telah saya sajikan pada awal tulisan ini. Mari kita bersama-sama mengawasi pengelolaan keuangan desa, agar pembangunan desa sebagai prioritas pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik, dari kita, oleh kita dan untuk kita. ***
*
Antonius Bunga Thomas
Alumnus Ikatan Keluarga Ile Ape Yogyakarta (TALA IA). Saat ini, sebagai Anggota BPD Waowala di Desa Waowala, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata