Oleh : Robert Bala
WARTA-NUSANTARA.COM-Liburan di kampung halaman 23 Apil – 8 Mei 2022 cukup membawa banyak pengalaman. Di antara pengalaman itu, saya memberikan catatan tentang ‘rasa’ Gerindra yang saya alami dan rasakan selama berada di Lembata dan Kupang. Di Lembata, pada tanggal 26 April 2022, bersama team Yayasan Koker Niko Beeker, kami hadir di Gedung DPRD Lembata. Seumur-umurnya saya, baru kali ini saya duduk di kantor dewan terhormat. Team Koker duduk di samping depan, tempat yang tentunya disipkan kalau ada presentasi dalam Rapat Dengar Pendapat. Sesuai penjelasan pak Ketua DPRD Lembata, pak Piter Gero, rapat seperti ini untuk mendengar sumbangan pemikiran dari pihak luar.
Rapat Dengar pendapat ini tentu berbeda dengan rapat wajib lainnya sehingga tidak perlu tuntutan quorum sebagai syarat terlaksananya rapat. Berapapun yang datang, sudah cukup untuk dibuka, dibahas, dan seterusnya. Karena itu di ruang pak Ketua, disampaikan bahwa kalau hadir 10 orang sudah cukup. Dalam hati saya bilang, kalau soal masalah Perguruan Tinggi, tentu semua anggota DPRD menyadari bahwa inilah kebutuhan Lembata. Lihat saja. Setiap tahun 2500 lulusan SMA dan SMK di Lembata. Kalau setiap mahasiswa menghasilkan Rp 30 juta per tahun kuliah di luar Lembata maka bisa dipastikan sekitar Rp 75 miliar itu bisa di tahan di Lembata melalui kehadiran Perguruan Tinggi.
Meski kehadiran kali ini hanya 9 orang anggota DPRD karena yang lain tentu saja punya kesibukan, tetapi kualitas Dengar Pendapat itu tidak berkurang. Meskipun ada rasa ‘bagaimana gitu’ oleh ketakhadiran mayoritas tetapi kita yakin, mereka yang tak hadir pun tidak berarti menolak. Malah dalam ‘diamnya’ (semoga saja) bisa saja akan berkontribusi melampaui apa yang diharapkan.
Bagi yang hadir, saya membuat catatan ini sekadar menggambarkan aura yang ada secara khussu bagaimana tanggap-menanggapi. Di antara semua intervensi, saya terkesan dengan intervensi dari 2 anggota DPRD dari fraksi Gerindra: pak Paulus Makarius Dolu dan Pak Laurens Karangora. Mereka sudah seakan sudah saling membagi peran. Pak Paul mengawali intervensi dengan ajakan konkrit untuk mendukung Perguruan Tinggi di Lembata. Pak Laurens Karangora mengambil posisi terakhir memberikan pendapat (sambil memperkenalkan ke peserta bahwa Ketua Yayasan Koker adalah omnya hehehe).
Saya terkesan dengan pendapat, meskipun tidak mendapatkan hadiah buku dari saya karena hadianya sudah terlanjur diberikan ke pak Yeremias Huraq yang cukup singkat, tepat, jelas, dan mengena dalam intervensinya, tetapi intervensi dari 2 anggota DPRD dari Gerindra itu cukup menarik. Saya lalu menarik kesimpulan bahwa keduanya tampil selain sebagai kader Gerindra juga karena memiliki kualitas diri mengagumkan.
Paulus Makarius Dolu tampil lepas. Intervensinya mengena. Jokesnya baik pada saat di ruang Ketu DPRD maupun di ruang sidang menjadi begitu mencair dan mengalir. Bisa terbaca bahwa orang ini ‘gaul’, tidak mengambil jarak, dan menyelami semua peristiwa dengan baik. Ia menjadi seorang anggota DPRD yang ‘nyambung’ dan menjadi penjelasan, mengapa ia bisa diterima di lapangan sehingga terpilih.
Laurens Karangora, tampil sangat simpel dengan sedikit lawakan yang keluar polos begitu saja. Barangkali itu menggambarkan keakraban yang terbina bukan saja pada hari H pilkada atau pileg tetapi sudah ia bangun. Dengan kelihaian memainkan keyboard mengiring lagu-lagu gerejani, maka ia sudah ‘tanam saham’. Ia menunjukkam model promosi yang sederhana tetapi mengena. Ketika musim ‘panen’ (maksudnya pileg) ia tidak mengeluarkan dana dan waktu yang banyak karena sudah ‘tercatat’ namanya.
Terhadap cara kerja rapi di atas kemudian saya dapatkan jawabannya. Semuanya tidak terlepas dari intervensi sang ‘arsiteknya’ bpk Vian Burin. Bisa terbaca bahwa tampil gemilangnya ‘figur Gerindra’ di kancah politik Peten Ina tidak terlepas dari arahan dari sang ketua. Untuk hal ini saya paut sampaikan hormat saya terhadap ama Vian Burin. Salut karena di tengah harga ‘lawyer’ yang mahal di Lembata, Vian justru tidak segan-segan membuat bantuan hukum gratis. Artinya kalau semuanya dilaksanakan dengan tulus (di tengah cibiran), saatnya nanti tidak perlu lagi kampanye besar.
Di Kupang selama 2 hari (6 – 8 Mei) saya justru ketemu lagi dengan figur Gerindra Pak Isidoro Lalijawa. Penampilannya anggun. Badannya yang tinggi, kelihatan lebih ideal sebagai seoang anggota militer, menyamai sang ketua Gerindra, Pak Prabowo. Sangat terlihat daya diplomasi, komunikasi, dan negosiasi pak Iso. Kerja cepat dan mengena.
Acara bedah buku di Auditorium Unwira yang sangat megah yang tentunya didisain dengan sangat baik oleh Pater Yulius Yasinto (Rektor 2 periode sebelumnya) dan kini Pater Philipus Tule (Rektor periode kedua), menjadikannya sangat menarik. Tidak lupa. Politisi Frans Skera hadir dengan pemikiran yang sangat cerdas dan langsung meneropong permasalahan secara substansial sekaligsu implikasinya untuk NTT kini. Bagi siapapun yang diizinkan bicara di aula semegah ini akan dengan sendirinya berbicara baik. Suasana sangat mendukung dan itulah yang terjadi selama acara presentasi.
Dengan sharing ini saya hanya mau mengatakan bahwa ‘orang Gerindra’ membuatnya beda. Saya katakan ‘orang gerindra’ dan bukan gerindra karena di NTT harus diakui bahwa gaung gerindra mungkin tidak terlalu baik sebaik PDIP, Golkar, ataupun Nasdem. Ketika dengan nama ‘Gerindra’ ada reaki seakan adanya penolakan.
Tetapi ternyata orang NTT tidak melihat partai tetapi orangnya yang ada di sana. Karena itu terlepas dari senang atau tidak senang pada partai (kalau memang ada), mereka justru lebih suka pada figurnya. Itulah maka Paulus Makarius Dolu, Laurens Karangora, Isidorus Lalijawa, Vian Burin sekadar menyebut beberapa nama adalah politisi yang patut diperhitungkan. Mereka hadir sebagai pribadi yang memberi diri untuk masyarakat. Karena itu sengaja diberi judul “Orang Gerindra” untuk mengingatkan bahwa pada akhirnya figur yang menentukan bukan sekadar parpol.
Pengalaman mereka juga menyadarkan tiap politisi agar ‘tidak usaha terlalu bergantung pada nama besar partai’ tetapi pada kualitas diri. Nama besar partai bisa menjadi ‘selimut’ luar, tetapi kualitas diri yang diselimuti itu harus lebih besar dari selimutnya
Robert Bala. Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik Universidad Complutense de Madrid Spanyol.