Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
Kis. 7:55-60; Why.22:12-14.16-17.20; Yoh. 17:20-26
Hari ini adalah Hari Minggu Komunikasi Sedunia yang ke-56. Sri Paus memilih tema:” Dengarkan! Tema yang sangat sederhana namun memiliki makna yang sangat mendalam. Tema yang berangkat dari sebuah hasil renungan yang kompleks dan dibungkus dalam sebuah seruan apostolic tetapi sekaligus adalah juga perintah dari sang gembala umat Allah di dunia ini. Bila pada pesan Hari Komunikasi Sedunia tahun 2021, yang berfokus pada pergi dan melihat, maka dalam pesan barunya untuk Hari Komunikasi Sedunia 2022 ini, lebih mendalam dan secara khusus Paus Fransiskus meminta dunia untuk berkomunikasi untuk belajar mendengarkan lagi.
Bahwa pandemi covid-19 yang melanda dunia dan segala sisi kehidupan manusia telah mempengaruhi dan melukai semua orang, maka semua orang itu perlu didengar dan dihibur.Kita tahu bahwa mendengarkan juga merupakan dasar untuk informasi yang baik. Pencarian kebenaran dimulai dengan mendengarkan.Demikian pula kesaksian melalui sarana komunikasi sosial. Setiap pembicaraan dan dialog, setiap hubungan dimulai dengan mendengarkan. Untuk alasan ini, untuk selalu tumbuh, bahkan secara profesional, sebagai komunikator, kita perlu belajar kembali untuk banyak mendengarkan Yesus sendiri meminta kita untuk memperhatikan dan belajar untuk bagaimana kita mendengarkan (Luk 8:18).
Bertepatan dengan Hari Minggu Komunikasi Sedunia ini kita mendengar bacaan I tentang Stefanus dianiaya hingga mati. Santu Lukas dalam bukunya yang kedua menulis kutipan doa Stefanus di saat-saat akhir kematiannya:”Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku.” Sambil berlututj ia berseru dengan suara nyaring: “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” Seruan Stefanus di saat sakrat maut didengarkan Yesus. Mengapa? Karena Stefanus telah mengakui Kristus di hadapan sesama umat manusia dan mempertahankan imannya.
Sebagai penghormatan terhadap Stefanus yang telah mengakui-Nya di hadapan Bapa Sorgawi, Yesus menerima Rohnya. Selanjutnya dalam bacaan injil kita mendengar doa Yesus untuk murid-murid-Nya. Yesus tahu, doa-Nya akan didengarkan oleh Bapa-Nya. Karena itu Dia berdoa:”Bapa yang kudus, Aku berdoa bukan untuk mereka saja, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka, supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku. Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu: Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku. Ya Bapa, Aku mau supaya, di mana pun
berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku, mereka yang telah Engkau berikan kepada-Ku, agar mereka memandang kemuliaan-Ku, yang telah Engkau berikan kepada-Ku.”
Yesus percaya sungguh, bahwa doa-Nya untuk murid-murid-Nya pasti didengarkan Tuhan. Karena itu maka, Yesus pun berdoa bagi orang-orang yang percaya kepada-Nya oleh karena pemberitaan murid-murid-Nya.” Aku berdoa bukan untuk mereka saja, tetapi juga untuk orang-orang yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka,” Isi doa Yesus bagi murid-murid-Nya dan orang yang percaya kepada-Nya:” Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita.” Yesus mendoakan para murid dan orang yang percaya agar bersatu secara sosiologis juga secara teologis. Kesatuan sosialogis akan mendapat kepenuhannya dalam kesatuan teologis, karena di sanalah persatuan secara insani diilahikan dengan persatuan teologis. Sikap mendengarkan yang ditampilkan oleh Yesus tatkala Stefanus berdoa dalam kesesakan penuh iman, sejatinya adalah prototype dari sikap Allah Bapa-Nya yang telah terlebih dahulu mendengarkan doa Putra-Nya bagi para murid dan orang yang percaya kepada-Nya. Sikap mendengarkan yang ditonjolkan Yesus, adalah contoh yang harus diikuti oleh pengikut-pengikut-Nya. Bahwa mendengarkan menjadi “keinginan tak terbatas manusia untuk didengarkan”. Sebuah keinginan yang kerap tersembunyi, tetapi menantang siapa saja yang terpanggil untuk memainkan peran sebagai komunikator. Seorang komunikator yang baik adalah dia yang mendengarkan sesuai dengan gaya Tuhan yang rendah hati. Mendengarkan
tindakan yang memungkinkan Tuhan mewahyukan diri-Nya sebagai Dia, yang dengan berbicara, menciptakan pria dan wanita menurut gambar-Nya, dan dengan mendengarkan mengakui mereka sebagai mitra dalam dialog.
Namun saudara-saudarku, bila kita jujur, manusia cenderung lari dari relasi, berpaling dan “menutup telinga” sehingga tidak perlu mendengar. Penolakan untuk mendengarkan sering berakhir dengan serangan terhadap yang lain, seperti terjadi pada para pendengar Diakon Stefanus yang “sambil menutup telinga serentak menyerbu dia” (lih. Kis. 7: 57).
Selain fakta di atas, sangatlah disayangkan, bahwa acapkali kita kurang mendengarkan. yang dialami dalam hidup kita sehari-hari, tetapi juga tampak dalam kehidupan publik, di mana bukannya saling mendengarkan satu sama lain, kita malahan kerap “saling membicarakan masa lalu satu sama lain. ” Kita begitu pongahnya berbicara tentang kejelekan dan kekurangan orang lain, seolah-olah kita manusia maha sempurna. Atas dasar itulah maka pada suatu kesempatan Yesus mengajak para murid untuk mengevaluasi kualitas pendengaran mereka. “Perhatikanlah cara kamu mendengar” (Luk. 8:18):
Kita semua bertelinga, tetapi sering mereka yang memiliki pendengaran sempurna tidak
dapat mendengarkan orang lain. Dalam kenyataan, ada orang yang tuli secara batiniah; keadaan ini lebih buruk dari tuli secara fisik. Mendengarkan sesungguhnya, bukan hanya berhubungan dengan indera pendengaran, tetapi keseluruhan manusia. Dan, hati menjadi mendengarkan yang sebenarnya. Mendengarkan dengan Telinga Hati, sebagaimana Yesus mendengarkan doa Stefanus.
Sambil berkiblat pada hal yang sudah saya sampaikan di atas, saya mengajak kita sekalian, – anda dan saya – untuk menjadikan Hari Minggu Komunikasi Sedunia ini sebagai Hari Kerasulan Mendengarkan. Kita tinggalkan rutinitas kita sesaat dan mari kita bhaktikan sehari ini saja, untuk mendengarkan orang-orang yang patut didengarkan. Kita mendengarkan sesama sampai kita tidak ada waktu lagi untuk berbicara tentang keburukan orang lain. Kita terus-menerus mendengarkan orang lain sampai kita kehabisan waktu untuk tidak terlalu banyak berkata-kata tentang superioritas pribadi kita masing-masing. Karena siapa tidak tahu mendengarkan saudara laki-laki atau perempuannya akan segera tidak mampu mendengarkan Tuhan. ***