Oleh : Germanus S. Atawuwur
Hab.1:2-3; 2:2-4; 2 Tim. 1:6-8, 13-14
Luk. 17:5-10
WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, hari ini kita berhadapan dengan cerita permintaan para rasul kepada Yesus untuk menambahkan iman mereka:” Tambahkanlah iman kami!” Namun Yesus Tuhan malah menjawab mereka: “Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu.”
Jawaban Yesus ini malah kemudian diikuti dengan perumpamaan tentang tuan dan hamba. “Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?

Kepada para rasul itu, Yesus mengatakan” Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.”
Pertanyaannya adalah, apa hubungan antara permintaan Murid-murid Yesus tambahkanlah iman kami dengan jawaban Yesus berupa perumpamaan tentang tuan dan hamba? Hubungannya dapat dijelaskan sebagai berikut bahwa fokus permintaan para rasul adalah pada menambah iman, bukan pada iman yang sudah mereka punya! Ini penyakit lama. Manusia memang “suka yang besar” agar: kelihatan, didengar, diakui, dihargai dan dikenang. Jawaban Yesus bermakna ganda: “Sekiranya kamu mempunyai iman sekecil biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Tercabutlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu.”

Di satu pihak, Yesus mengecam para pengikut terdekat-Nya itu karena sama-sekali belum punya iman. Iman sekecil “biji sesawi” saja mereka tidak punya! Di lain pihak, Yesus juga mengatakan: kalian dapat melakukan apapun, juga yang hebat-hebat, dengan iman yang sudah kalian miliki, biarpun hanya sedikit, yang penting iman itu benar dan sejati. Jadi, beriman itu bukan soal banyak atau sedikitnya, tetapi soal dampak dan perubahan yang dihasilkannya! Iman itu disposisi batin: sikap hati yang terungkap dalam tingkah laku yang benar, setia dan dapat diandalkan!
Untuk itulah maka Yesus menampilkan perumpamaan tuan dan hamba. Konteks permintaan para rasul tentang tambahkanlah iman kami dengan perumpamaan Yesus tentang tuan dan hamba memiliki hubungan bahwa seseorang, – termasuk para rasul itu -, harus memiliki sikap iman seperti seorang hamba dalam perumpamaan ini.
Hamba dalam terjemahan kata bahasa Yunani berarti ‘budak’. Seorang budak adalah orang yang telah dibeli. Ia menjadi milik majikan atau tuannya. Kita juga, seperti yang dikatakan oleh Paulus di 1 Korintus 6:20 (dan 7:23), Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar. Kita adalah milik Tuhan. Kita semua adalah budak-budak Tuhan karena kita telah dibeli.
Dengan mengambil perumpamaan tentang hamba, sejatinya Yesus hendak mngatakan kepada para rasul bahwa kalian adalah budak, – hamba – milik Allah. Maka apa yang dikerjakan dan dilakukan oleh seorang hamba untuk tuannya diangkat Yesus untuk menjadi model “sikap iman” yang harus dimiliki oleh para rasul, dan juga oleh kita pengikut Kristus dewasa ini. Kita harus beriman sebagai seorang hamba.
Pertanyaannya adalah, bagaimana beriman sebagai seorang hamba? Pertama, sepenuhnya loyal kepada tuannya. Loyalitas inilah yang membuatnya dapat diandalkan dan dipercaya. Iman yang berkualitas membuat kita menjadi pengikut Kristus yang dapat dipercaya dan diandalkan-Nya.
Kedua, siap-sedia bereaksi & menanggapi pesan, perintah dan kehendak Tuhan. Mata seorang hamba senantiasa memandang ke arah tuannya. Setiap gerakan tuannya adalah tanda dan pesan untuk dijalankan. Beriman sebagai hamba berarti terus menerus berkontempasi, terus “memandang” mencari dan mendalami serta merumuskan aksi berkaitan dengan kehendak dan rencana Tuhan bagi pribadi kita, bagi sesame kita dan juga bagi lingkungan kita.
Ketiga, tidak mengkleim atau menuntut apapun sebagai “imbal-jasa”. Seorang hamba tidak dapat menuntut imbal-jasa atau pujian dari tuannya. Seorang tuan tidak berkewajiban memuji dan berterimakasih kepada hamba yang melaksanakan tugasnya. Demikian kita, ketika kita melayani Dia, itu karena kewajiban kita. TUHAN tidak perlu berterima-kasih kepada kita. Sebaliknya, kita tidak perlu menuntut pujian dan imbal-jasa dari-Nya. Itulah artinya menjadi hamba yang “tidak berguna” bukan bahwa kita tidak bermanfaat, tetapi bahwa kita tidak berhak mengkleim diri berjasa. Itulah ketaatan iman: taat karena wajib melayani, tanpa harus dipuji apalagi dilayani. Melayani dan mengasihi itu adalah kewajiban, bukan lagi pilihan. Bukan hak yang harus dinegosiasi, melainkan kewajiban yang harus terus direalisasi. Hal ini senada dengan kata-kata santu Paulus:” Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar.” (1 Kor.6:20 dan 7:23),
Saudara-saudaraku, Sebab kita telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar kita musti menyadari bahwa kita adalah budak-budak Tuhan. Kita adalah hamba-hamba Tuhan. Karena itu kita adalah milik sepenuhnya Tuhan. Karena itu yang patut kita laksanakan adalah menjalankan kehendak Tuhan, sebagaimana pesan Paulus kepada Timotius:” Karena itulah kuperingatkan engkau untuk mengobarkan karunia Allah yang ada Sebab Allah memberikan kepada kita roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban. Jadi janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita.
Peganglah segala sesuatu yang telah engkau dengar dari padaku sebagai contoh ajarani yang sehatdan lakukanlah itu dalam iman dan kasih dalam Kristus Yesus. Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakan-Nya kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita.“
Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero