Oleh : Germanus S. Atawuwur
2Raj.5:14-17; 2Tim. 2:8-13; Luk. 18:1-8
WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari terkasih, Naaman dalam bacaan I itu adalah Kepala Prajurit Siria. Ia panglima dari seluruh pasukan. Dengan demikian, ia mempunyai kedudukan sosial yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat. Namun sayang, ia menderita penyakit kusta. Penyakit itu menggerogoti seluruh tubuhnya. Ia menjadi sangat tersiksa. Di kalangan orang Ibrani, penyakit ini dianggap najis dan berbahaya, Penyakit kusta dapat menjangkiti bagian manapun dari tubuh manusia. Penyakit ini dapat muncul di dahi, janggut, kepala, tangan, bahkan menyebar hingga ke seluruh bagian tubuh karena dapat menular. Oleh karenanya seorang penderita kusta harus diasingkan dari masyarakat. Penyakit ini pada masa itu adalah penyakit yang sangat mengerikan dan membuat pengidapnya sangat menderita baik secara fisik maupun psikis.
Sering dikatakan bahwa orang yang mengidap penyakit kusta pada waktu itu menderita secara hebat. Bukan saja karena penyakit itu sering lambat laun merusak tubuh mereka, melainkan juga karena mereka dibuang dari masyarakat. Orang-orang kusta yang dikucilkan dari masyarakat akan selalu mengatakan bahwa saya kusta. Ini semacam pengumuman kepada khalayak agar orang yang sehat tidak boleh melintas di dekat mereka. Mereka harus menghindar dan menjauh dari kumpulkan orang-orang kusta itu. Sementara itu orang-orang kusta terus teralienasi dari kehidupan sosial. Mereka bnar-benar tertekan secara psikologis dan secara social.
Pada masa itu, penyakit ini belum ada obatnya. Orang Yahudi pun beranggapan bahwa penyakit kusta yang diderita adalah penyakit dari Tuhan sehingga hanya Allah saja yang bisa menyembuhkan penyakit tersebut secara ajaib. Walaupun orang Siria tidak percaya pada Allah Israel, ia meyakini bahwa penyakitnya ini hanya dapat disembuhkan oleh Allahnya orang Isral. Karena itu begitu mendengar tentang Nabi Elisa yang hebat karena dapat menyembuhkan penyakit itu, Namaan dengan berani mendatangi Elisa, walau dia orang asing. Dia tidak peduli dengan batasan-batasan yang diberlakukan untuk penderita kusta. Dia tidak nyaman lagi mengumumkan diri sebagai si kusta yang harus diisolasi dari pergaulan sosial. Dia juga tidak lagi peduli pada apa kata orang. Baginya, sembuh dari penyakit yang menyesakkan ini adalah tujuan perjumpaannya dengan Elisa, abdi Allah itu. Maka dia pun mendatangi sang nabi. Kepada Naaman, Sang nabi Allah berkata sederhana:” Pergilah, tenggelamkanlah dirimu di Sungai Yordan.” Maka turunlah ia membenamkan dirinya tujuh kali dalam sungai Yordan, sesuai dengan perkataan abdi Allah itu. Lalu pulihlah tubuhnya kembali seperti tubuh seorang anak dan ia menjadi tahir.
Ketika badannya pulih dan tahir kembali ia dan seluruh pasukannya kembali ke Elisa. Di depan Elisa, ia tampil dan berkata: “Sekarang aku tahu, bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel. Karena itu terimalah kiranya suatu pemberian dari hambamu ini!” Elisa menolak hadiah dari Naaman sambil berkata:” Demi TUHAN yang hidup, yang di hadapan-Nya aku menjadi pelayan, sesungguhnya aku tidak akan menerima apa-apa.” Dan walaupun Naaman mendesaknya supaya menerima sesuatu, ia tetap menolak. Akhirnya berkatalah Naaman: “Jikalau demikian, biarlah diberikan kepada hambamu ini tanah sebanyak muatan sepasang bagal, sebab hambamu ini tidak lagi akan mempersembahkan korban bakaran atau korban sembelihan kepada allah lain kecuali kepada TUHAN. Di hadapan Elisa, Naaman yang semula sangka bahwa Allah hanya milik khusus orang Israel, pun berjanji:” hambamu ini tidak lagi akan mempersembahkan korban bakaran atau korban sembelihan kepada allah lain kecuali kepada TUHAN.” Jadi syukurnya Naaman dari kesembuhannya adalah menyembah Tuhan sebagai Allah yang telah menyembuhkan dirinya secara ajaib. Saudara-saudara, kisah Naaman dalam bacaan I, sepertinya terulang pada bacaan injil. Lukas mencatat:” Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem f Yesus menyusur perbatasan Samaria dan
Galilea.Ketika Ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal berdiri agak jauh. dan berteriak: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” Lalu Ia memandang mereka dan berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir. Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Ketika hanya seorang yang dari Samaria itu sembuh dan dating mengucap syukur kepada Yesus, Yesus pun berkata: “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?” Lalu Ia berkata kepada orang itu: “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.”
Saudara-saudaraku, Naaman dalam bacaan I dan seorang kusta asal Samaria adalah orang-orang asing yang tidak percaya pada Allah dan Tuhan Yesus. Tetapi begitu mengalami kesembuhan, mereka tidak lupa diri. Mereka tetap menjadi manusi rendah hati. Oleh karena itu, kedua orang asing ini untuk kembali bersyukur. Naaman bersyukur kepada Sang Abdi Allah, Elisa dan si kusta dari Samaria kembali kepada Yesus. Dua orang asing ini dengan itu akhirnya mewakili “seluruh” dunia untuk mengakui bahwa Allah itu sungguh amat baik bagi semua orang. Yesus itu penyelamat dunia.
Pertanyaan untuk kita adalah, apakah implikasi dari simbol penyakit kusta yang dipakai di dalam Alkitab? Kusta menjadi lambang akan dosa pada manusia yang tidak bisa disembuhkan oleh siapa pun kecuali Allah sendiri. Dosa harusnya dilihat sebagai suatu hal yang sangat menjijikkan, yang harus dibuang, yang harus disingkirkan dan diasingkan. Dosa harusnya membuat manusia sadar untuk tidak ingin berpapasan atau menjadi bagian di dalamnya. Kisah kusta di dalam Alkitab ini menggambarkan bagaimana manusia yang sudah berdosa tidak mungkin lagi bisa melepaskan dirinya dari dosa – sampai ia mati; bahkan tabib yang hebat pun tidak sanggup membebaskannya, kecuali Allah sendiri berbelas kasihan.
Kita yang sekarang ini menerima kasih, kasih karunia, keselamatan, dan semua berkat rohani dari Allah tidak boleh lupa untuk mengucap syukur kepada-Nya. Apa yang telah dilakukan-Nya bagi kita seharusnya mendorong kita untuk selalu datang kepada-Nya dengan hati yang penuh syukur. Hati yang selalu bersyukur adalah tempat untuk Tuhan mnyatakan karya agung-Nya sekaligus membukakan pintu berkat yang baru bagi kita. Untuk itu, marilah kita mencontohi sikap Naaman orang Siria dan si kusta dari Samaria. ***
Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero