Oleh : Germanus S. Atawuwur. Alumnus STFK Ledalero
Sir. 35:12-14,16-18; 2 Tim.4:6-8,16-18; Luk. 18:19-14
WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari, pada minggu biasa yang ketiga puluh ini, Yesus mengajar orang banyak dengan memberikan perumpamaan. Yesus mengangkat dua sosok yang berbeda. Sosok pertama adalah orang farisi yang digambarkan dengan karakter suka membenarkan diri, angkuh dan merendahkan orang lain. Sedangkan sosok kedua adalah seorang pemungut cukai yang digambarkan sebagai orang yang realistis, apa adanya dan rendah hati. Dua orang yang ditampilkan dengan karakter yang berbeda namun sama-sama melaksanakan hal yang sama, yakni berdoa. Mereka pergi ke Bait Allah untuk berdoa. Di dalam rumah Tuhan itu mereka berdoa dengan cara yang berbeda pula.
Orang Farisi berdoa demikian:” Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.” Dia berdoa kepada Tuhan di dalam hatinya; namun sayang, di hadapan Tuhan dia justru membuat perbandingan dirinya dengan orang lain. Dia gagal masuk lebih jauh ke dalam dirinya sendiri untuk menjumpai dirinya dengan segala kelemahan dan kekurangannya. Karena kegagalan itulah maka dia pun berdoa dalam perbandingan dirinya dengan orang lain. “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini.”
Kegagalan demi kegagalan untuk masuk ke dalam kedalaman dirinya kemudian tersingkap melalui doanya yang menyatakan kepada Tuhan bahwa dia orang saleh, dia orang baik, dia taat pada hukum Taurat. Maka doanya adalah:” Aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.” Dia berusaha melitani kebaikannya di hadapan Tuhan, dalam doanya yang hanya keluar dari bibirnya saja.
Sementara itu, sosok kedua, Pemungut Cukai. Dari kejauhan nun jauh di sana, dia berusaha masuk dan terus masuk lebih jauh ke dalam dirinya sendiri. Ia kemudian menjumpai dirinya sendiri dalam dialog bathinnya. Ia dengar apa kata hatinya tentang siapakah dia sebenarnya di hadapan Tuhan. Ia berhasil menjumpai dirinya dengan apa adanya. Ia ternyata manusia rapuh-lemah penuh utang dosa. Ia tak sanggup memandang Tuhan Yang Maha Kudus itu. Maka yang dilakukannya adalah ia berdiri jauh-jauh di hadapan Tuhan. Ia merasa diri cumalah setitik debu di hadapan Tuhan. Bahkan ia tidak berani menengadah ke langit. Saat itu, ia hanya ia hanya memukul diri dan berkata: “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”
Dalam sikap seperti itu dia baru anggap dirinya pantas untuk dapat menyapa Tuhannya. Ia berdoa dengan menaruh terlebih dahulu dirinya di hadapan Tuhan. Ia focus dengan dirinya sendiri. Maka itu ia berjalan masuk secara perlahan ke dalam ke-dalam-an dirinya. Ia pun menjumpai dirinya seperti bejana tanah liat. Mudah pecah, gampang retak, oleh bujuk rayu lumpur dosa yang melilit-ikat tubuhnya. Ia pula menemui dirinya ibarat buluh yang terkulai patah. Ia pun menjumpai dirinya ibarat nyala sumbuh yang berkedip nyaris padam. Ia kemudian sadar bahwa dia butuh rahmat pengampunan. Dia butuh rahmat belas-kasihan Allah. Dia butuh pembebasan dari Tuhannya. Maka baginya, doa yang paling pas yang harus keluar dari hatinya yang paling dalam adalah: “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”
Bapa, ibu, saudara, saudara yang terkasih, pertanyaan kita adalah mengapa perumpamaan Yesus model begini yang harus disampaikan pada hari ini? Apa maksud Yesus dengan menampilkan perumpamaan dengan dua tokoh yang berbeda? Yesus hendak mengeritik orang-orang banyak yang selalu berbondondong-bondong mengikuti dia untuk mendengarkan pengajarannya. Bahwa orang Farisi itu menganggap dirinya benar. Orang seperti itu memikir bahwa mereka itu benar karena usaha mereka sendiri; mereka tidak sadar akan perangainya yang berdosa, ketidaklayakan diri mereka dan bahwa mereka terus-menerus membutuhkan pertolongan, rahmat, dan kasih karunia Allah. Karena tindakan-tindakan kealiman dan kebaikan lahiriah yang luar biasa, mereka menyangka bahwa mereka tidak memerlukan kasih karunia Allah.
Dikemukakannya perumpamaan sosok orang farisi kepada orang banyak itu untuk mengeritik mereka bahwa kebanyakan dari mereka begitu cepat, begitu gampang, begitu muda menilai orang lain dengan segala keburukan yang melekat di dalamnya. Mereka sangka mereka adalah orang baik dengan selalu hadir mengikuti pengajaran Yesus. Mereka kira mereka sudah jadi orang baik dengan melakukan sejumlah kewajiban keagamaan. Karena itu mereka tidak perlukan, mereka tidak butuhkan, malah mereka tidak mempedulikan rahmat Allah untuk mengubah mereka untuk jauh lebih baik lagi.
Kebanyakan mereka mungkin lupa bahwa mereka masih hidup di dunia. Di dunia ini ada berupa-rupa hal yang datang dan pergi silih berganti. Ada bujuk rayu dosa yang akan terus menerus menghampiri. Mungkin suatu saat akan lolos dari godaan karena roh itu kuat. Namun jangan salah sangka, bila suatu saat godaan itu datang lagi, bukan tidak mungkin sekali waktu akan jatuh amburk karena walau roh itu kuat namun daging lemah.
Maka maksud Yesus menampilkan figure Pemungut Cukai, adalah figure daripadanya kita belajar untuk rendah hati dari waktu ke waktu. Kita tidak boleh lakukan pembenaran diri sendiri. Kita tidak boleh anggap diri lebih kudus, lebih suci dari pada orang lain. Tetapi kita musti sadar, bahwa manusia siapa pun dicpitakan dari materi yang sama, yakni debuh-tanah. Karena itu maka ia gampang pecah. Ia mudah retak. Semua orang memiliki potensi untuk “pecah” untuk “retak”. Maka kita harus jujur menilai diri di hadapan Tuhan dengan tidak boleh membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Bila kita jujur, maka kata-kata Pemungut Cukai:” Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini” patut jadi cermin untuk melihat diri lebih teliti, lebih dalam, lebih jauh.
Sebaliknya, pemungut cukai yang ditampilkan dengan perangai yang betul-betul menyadari dosa dan kesalahannya, dan dengan sikap pertobatan yang sejati ia berpaling dari dosa kepada Allah untuk memperoleh pengampunan dan rahmat hendak mengatakan kepada banyak orang itu bahwa si pemungut itu adalah symbol anak Tuhan yang sejati. Ia melambangkan anak –anak Tuhan yang sejati.
Kita yang hari ini mendengarkan Sabda Tuhan/membaca/ mendengar kotbah ini hendaklah bersama-sama menyatakan diri sebagai anaka-anak Tuhan yang sejati dengan mengulangi doa si pemungut cukai itu:” Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”