Oleh : Wilhelmus Leuweheq
WARTA-NUSANTARA.COM-Ignas Kleden, dalam bukunya Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, pada sebuah artikel berjudul Sosialisme dari Tepi Sungai Elbe, Pa Ignas mengisahkan kembali percakapannya dengan Seorang Dosen Universitas Humboldt bersama istrinya seorang guru kimia di sebuah Gimnasium. Percakapan yang semula hanya sebagai selingan acara makan siang itu berubah menjadi sebuah perdebatan halus, dan pa Ignas berhasil mendapatkan pandangan yang tegas tentang sosialisme langsung dari penganut aliran ini.
Sang Dosen dan istrinya yang sosialis namun saat itu harus hidup dalam era kapitalis pasca runtuhnya tembok Berlin. Peristiwa itu terjadi pada 23 Juni 1996 dan bukunya ini saya baca pada 17 tahun yang lalu sekitar Pebruari 2005. Tadi malam, berkesempatan makan dengan Pater Remi SVD, seorang Imam asal Aliuroba Kedang yang sudah 13 tahun menjadi misionaris di Kuba. Cerita Pater Remi tentang kehidupan dan karya misinya di Negara Komunis Kuba mengingatkan saya terhadap Pa Ignas Kleden dan Sosialisme dari Tepi Sungai Elbe. Saya tentu tidak sanggup mengelaborasi paham sosialisme dan kapitalisme dalam tulisan ini, namun saya ingin mengutip beberapa cuplikan pembicaraan mereka.
Sosialisme versus Kapitalisme
Pak Ignas membuka percakapan dengan pertanyaan ini “apakah ada hal-hal yang baik dalam sosialisme?”. Pertanyaan langsung disambut oleh guru Kimia “ tentu saja ada banyak hal baik. Dan yang terpenting adalah bahwa dalam masyarakat sosialis manusia yang menjadi nomor satu, sedangkan dalam masyarakat kapitalis modallah yang menjadi nomor satu”. Kami memiliki penghasilan yang relatif rendah namun kami dapat memiliki rumah dan makan di restoran.
Kami bisa pergi berlibur dan dapat memiliki mobil. Masalahnya untuk semuanya itu kami harus antre. Jika masyarakat sosialis begitu baiknya, mengapa orang-orang di Timur (Jerman Timur) mau meninggalkannya dan bersatu dengan Jerman Barat. Dengan sengit si Ibu menjawab bahwa kami tak pernah ingin meninggalkan masyarakat sosialis, yang kami inginkan adalah kebebasan yang sedikit lebih banyak. Pa Ignas masih mencecar dengan beberapa pertanyaan dan pernyataan seperti “Di Barat sering terdengar omongan bahwa orang orang di Timur sulit melepaskan diri dari mentalitas lama dan menyesuaikan diri dengan etos kerja baru dalam alam konkurensi dan kompetisi”. Juga “di Barat ada keluhan bahwa orang orang Timur mengimpikan kemakmuran yang sama dengan di Barat, tapi enggan untuk bekerja sama kerasnya dengan orang-orang di Barat. Si ibu pun semakin sengit menjawab bahwa semua itu adalah dongen yang diciptakan oleh Barat seolah orang Timur adalah makhluk purba dan langka yang harus dikasihani. Pada hal orang Timur memiliki cara berpikir tersendiri tentang kerja dan kekayaan.
Orang Timur tidak menimbun kekayaan dan menciptakan jurang kaya dan miskin. Yang dituju adalah persamaan dan ketenangan. Kapitalisme itu baik, tapi harga yang harus dibayarnya adalah manusia, dan itu harga yang terlalu mahal. Masyarakat sosialis itu baik selama tidak ada sistim lain yang menjadi saingan atau musuhnya. Orang-orang Timur sebetulnya puas dengan kehidupan mereka, kalau saja tidak ada sistim kapitalis yang menggoda mereka dengan kemakmuran dan kebebasan. Sebaliknya masyarakat kapitalis itu baik selama ada sistim lain yang menjadi musuh atau saingannya.
Lihat saja seperti adanya perbaikan nasib buruh, pemerataan pendapatan, sistim asuransi kesehatan, jaminan hari tua dll yang ada di Barat terlahir karena adanya tekanan dari sistim sosialis. Atau secara singkat dapat dikatakan bahwa sistim kapitalis itu baik kalau selalu diancam oleh sistim lain, sedangkan sistim sosialis itu baik kalau tidak diancam oleh sistim lain. Dan masalah terbesar Saat ini adalah kapitalisme berkembang seolah tanpa saingan dan kontrol karena sosialisme dianggap runtuh.
Kuba dan Misionaris Indonesia
Sejak jatuh ke tangan Partai Komunis dan berada di bawah kediktatoran Fidel Castro, Raul Castro hingga Miguel Diaz saat ini, Kuba tetap setia menganut sistim sosialis dan terus memproteksi dirinya dari ancaman kapitalis. Para Misionaris Indonesia sesungguhnya dapat beradaptasi secara sosial dan budaya di Kuba. Misionaris yang asli NTT sudah terbiasa hidup dalam alam komunal. Sudah biasa terikat dalam komunitas suku dan berbagai bentuk kebersamaan teristimewa kebersamaan dalam ritual-ritual adat.
Masyarakat NTT juga sering melihat “sesuatu” baik fisik maupun non fisik sebagai milik bersama. Ada Tanah ulayat yang dikuasai bersama oleh satu suku misalnya, ada rumah adat yang dimiliki bersama oleh satu garis keturunan dalam batas tertentu, ada ritual-ritual yang harus dilakukan secara bersama. Sebaliknya misionaris Indonesia NTT juga tidak sanggup mengelak dari pengaruh kapitalis. Sistim pendidikan yang condong ke Barat, standar-standar kehidupan seperti ukuran kekayaan dan kesejahteraan yang diadopsi dari Barat, gaya rekreasi dan menikmati kebebasan yang juga berkiblat ke Barat.
Menurut Pater Remi, masalah sering yang dialami adalah pemenuhan kebutuhan rutin seperti makanan, obat-obatan dan perlengkapan pribadi seperti sabun, odol, pewangi dimana ketersediaannya di pasar sering tak mencukupi. Selain itu pasokan listrik juga sangat terbatas apalagi dengan kondisi saat ini ketika perang Rusia – Ukraina belum berakhir. Usaha-usaha Masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonominya juga selalu dibatasi dengan berbagai aturan Pemerintah.
Ada Spiritualitas Keagamaan di Kuba
Ada hal yang menarik dalam spiritualitas orang-orang Kuba adalah devosinya kepada Bunda Maria. Komunisme memang sering identik dengan atheisme. Namun di Kuba terdapat pemandangan yang unik. Patung Perawan Maria yang diberkati adalah sebuah tempat ziarah yang ramai dikunjungi. Patung ini ditemukan oleh 3 orang di pantai saat mereka hendak mencari garam pada tahun 1600-an. Patung berbaring terapung di atas sebilah papan. Di Papan itu tertulis Iglesia De Nuestra Senora Del Carmen.
Hingga kini Patung ini ditahtakan di Gereja Katolik di Camaguey Kuba. Banyak orang Kuba percaya bahwa kehidupan mereka diselamatkan oleh Perawan Maria yang diberkati itu. Banyak juga yang menyimpan Rosario di sakunya, walapun mereka tidak berdoa. Ada orang yang suka memberikan intensi kepada Imam untuk didoakan dalam ekaristi. Adakah hal yang paling Pater sukai di Kuba?.
Orang Kuba juga sangat suka memberikan perhatian kepada orang lain. Misalnya kalau mobil saya mengalami kerusakan, akan ada banyak orang yang datang, mencari tahu kerusakan dan kemudian mencari teknisi untuk memperbaikinya. Apakah Pater tidak ingin meninggalkan Kuba? Karya Misi di Kuba adalah sebuah pilihan. Dan saya menjalaninya dengan senang hati. Saya bahagia dengan karya misi saya di Kuba, kata Pater Remi sambil berdiri dan pamit. Kita istirahat karena esok 2 November harus terbang dengan pesawat dari Lewoleba, Kupang dan Jakarta, selanjutnya Jakarta, Singapura, Perancis dan Kuba. Selamat menjadi duta integrasi Sosialis dan kapitalis hahahaha. ***