Mak.7:1-2.9-14; 2Tes.2:16-3:5; Luk. 20:27-38
WARTA-NUSANTARA.COM-Bapak, ibu, saudara, saudariku yang terkasih, pada Minggu Biasa XXXII ini, dalam injil kita diperhadapkan dengan sebuah kelompok yang bernama “Orang Saduki.” Lukas dalam awal perikope ini menulis tentang kelompok ini yang datang untuk mencobai Yesus. Pertanyaannya, siapakah orang Saduki itu? Dari berbagai refrensi diberitakan tentang kelompok ini sebagai berikut:” Nama “Saduki” diduga berasal dari Zadok yang merupakan nama imam agung yang hidup pada masa raja Daud.
Kaum ini berlaku sebagai aristokrat atau kelompok yang memiliki kelas social yang tertinggi dan biasanya memegang pangkat warisan dan gelar spesifik. Mereka memiliki hubungan dengan Romawi karena dijajah oleh Romawi. Di dalam kehidupan sehari-hari, kaum Saduki condong menyesuaikan diri dengan kehidupan Yunani, sedangkan dalam bidang keagamaan mereka memegang teguh agama Yahudi seturut TauratMusa.
Menurut Yosefus, kaum Saduki menolak konsep takdir, kekekalan jiwa, dan ganjaran kekal setelah kematian. Selain itu, kaum Saduki menolak konsep kebangkitan orang mati, dan adanya malaikat dan roh. Karena mereka menolak konsep kebangkitan orang mati inilah yang menjadi motivasi mengapa mereka hendak mencobai Yesus dengan mengemukakan sebuah perumpamaan tentang seorang perempuan yang memiliki tujuh suami.
Akhir dari ilustrasi mereka itu, mereka bertanya hendak mencobai Yesus:” Bagaimana sekarang dengan perempuan itu, siapakah di antara orang-orang itu yang menjadi suaminya pada hari kebangkitan? Sebab ketujuhnya telah beristerikan dia.” Jawab Yesus kepada mereka, “Orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan, tetapi orang yang dianggap layak mendapat bagian dalam dunia yang lain itu dan dalam kebangkitan dari antara orang mati, tidak kawin dan tidak dikawinkan. Sebab, mereka tidak dapat mati lagi.
Mereka seperti malaikat-malaikat, dan menjadi anak-anak Allah, karena mereka telah dibangkitkan. Tentang bangkitnya orang-orang mati, Musa telah memberitahukannya dalam nas tentang semak duri, di mana Tuhan disebut Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub. Ia bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup.” Jawaban Yesus dengan mengutip perkataan nabi Musa, membuat mereka tidak berdaya. Mereka sungguh tertampar, karena kaum ini justru percaya pada Taurat Musa.
Dikatakan bahwa karena penekanan yang amat kuat terhadap kitab Taurat Musa, kaum Saduki amatlah memandang penting penyembahan Allah melalui kultus Bait Suci di Yerusalem. Kaum Saduki cenderung percaya bahwa selama mezbah-mezbah masih mengepulkan asap di Bait Suci, dan bila kultus-kultus masih dijalankan dengan setia, maka tuntutan-tuntutan agama akan dipenuhi, dan Tuhan ada beserta mereka. Karena itulah, setelah Bait Suci dihancurkan pada tahun 70 M, otomatis kelompok Saduki menghilang karena tidak ada ritual yang dapat dijalankan lagi.
Bapak, ibu, saudara, saudari yang terkasih, tentang – kaum Saduki menolak konsep kebangkitan orang mati, sebenarnya menggambarkan bahwa betapa kerdil iman dan pengetahuan mereka. Karena tentang kebangkitan orang mati ini telah dilukiskan pertama kali oleh Makabe. Makabe yang hidup sezaman dengan orang-orang Saduki ini sudah mengatakan kepada mereka dengan merujuk pada perkataan Musa dalam Taurat Musa. Makabe memberikan kesaksian kepada kita bahwa sejak zaman Musa, orang Israel sudah percaya tentang kebangkitan kekal.
Ada kebangkitan orang mati. Yang membangkitkan orang mati adalah Yahwe sendiri. Supaya seseorang memperoleh kehidupan yang kekal, hal yang perlu dia lakukan dalam hidupnya yaitu mengikuti Hukum Taurat. Apapun situasi dan kenyataan yang dialami dalam hidup, jangan pernah meninggalkan Tuhan. Kata-kata Makabe ini sebenarnya adalah tamparan keras bagi orang Saduki yang begitu percaya kepada Taurat Musa, tetapi tidak percaya pada kebangkitan kekal sebagaimana yang sudah diajarkan oleh Musa sendiri.
Makabe yang hidup sezaman dengan orang Saduki yang tidak percaya terhadap kehidupan kekal, terhadap kebangkitan orang mati, hendak diluruskan dan diyakinkan Makabe kepada mereka bahwa prinsip dan ajaran mereka itu salah, bila ajaran mereka benar-benar merujuk pada Taurat Musa. Ajaran Makabe tentang Kebangkitan Orang Mati/Kehidupan Kekal ini kemudian dinyatakan secara eksplisit dalam kisah tujuh orang anak dan ibunya yang dibunuh secara kejam. Makabe menulis:” Pada masa pemerintahan Raja Antiokhus Epifanes ada tujuh orang bersaudara serta ibu mereka ditangkap.
Dengan siksaan cambuk dan rotan, mereka dipaksa oelh sang raja untuk makan daging babi yang haram. Maka seorang dari antara mereka, yakni yang menjadi juru bicara, berkata begini, “Apakah yang hendak Baginda tanyakan kepada kami, dan apakah yang hendak Baginda ketahui? Kami lebih senang mati daripada melanggar hukum nenek moyang!” Ketika anak yang kedua hampir putus nyawanya, berkatalah ia, “Memang benar, Bangsat, engkau dapat menghapus kami dari hidup di dunia ini, tetapi Raja alam semesta akan membangkitkan kami untuk kehidupan kekal, oleh karena kami mati demi hukum-hukum-Nya!”
Kata-kata yang sama diulangi lagi oleh saudara mereka yang terakhir, tatkala sedang menghadapi maut:: “Sungguh baiklah sepulang oleh tangan manusia, dengan harapan yang dianugerahkan Allah sendiri, bahwa kami akan dibangkitkan kembali oleh-Nya. Tetapi, bagi Baginda tidak ada kebangkitan untuk kehidupan!” Namun dasar orang Saduki. Mereka tidak kalah dengan perlawanan Makabe. Malah kini, lanjut ke zamannya Yesus. Jawaban Yesus dengan mengutip Taurat Musa membuat mereka tidak berutik bahkan merasa dipermalukan di tengah banyak orang.
Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, baik ajaran Makabe maupun Yesus, hendak meyakinkan kita bahwa sesudah kematian, pasti ada kehidupan baru. Sesudah raga-fisik berbaur satu kembali dengan debuh-tanah, roh manusia itu tetap mengalami kebangkitan kekal, kebangkitan orang-orang mati. Sebab, mereka tidak dapat mati lagi. Mereka seperti malaikat-malaikat, dan menjadi anak-anak Allah, karena mereka telah dibangkitkan.
Saudara-saudaraku, masih bertepatan dengan bulan November, khususnya Pekan Indulgensi Penuh untuk para kekasih kita yang telah tiada, saya mengajak, marilah kita kenangkan umat beriman yang telah berpulang. Kita doakan sanak keluarga dan orang-orang tercinta yang telah marhum. Mereka telah pergi, namun tetap ada di hadirat Tuhan dan tetap hadir dalam kenangan kita.
Kita doakan mereka, semoga mereka seperti malaekat-malaekat. Semoga mereka menjadi anak-anak Allah karena mereka telah dibangitkan oleh Allah sendiri. Saya mengakhiri kotbah ini dengan mengutip kata-kata Gabriel Marcel, Filsuf Prancis itu: “Bagi mereka yang mencinta, orang terkasih tak pernah mati, hanya beralih ke hidup abadi.” ***