Oleh : Robert Bala
WARTA-NUSANTARA.COM-Pidato Surya Paloh (SP) pada HUT ke-11 cukup menarik. Hampir 18 menit pidato, 14 menit menyinggung tentang Jokowi. Itu berarti hanya 4 menit awal dimana SP mengucapkan selamat kepada kadernya. Selanjutnya isi dari pidato itu lebih berbicara tentang Jokowi sebagia pembina partai politik yang dikomandoi oleh Jokowi.
Yang jadi pertanyaan: mengapa pidato ultah yang ditandai oleh ‘ketidakhadiran’ Jokowi itu begitu penting kah menyinggung Joko Widodo? Atau apakah pidato itu menunjukkan kegalauan yang cukup besar tidak saja bagi SP tetapi juga mengapa tidak menjadi kegalauan anggota partai yang terkenal dengan semboyan restorasi ini?
Tidak mudah menjawab pertanyaan di atas. Lebih lagi karena gaya komunikasi politik yang oleh para pakar dikategorikan sebagai ‘low context culture’. Model komunikasi ini diartikan sebagai model komunikasi rendah dimana bahasa yang digunakan sederhana tetapi mengena dan dipahami oleh komunikan.
Saat berpidato dalam Ulang Tahun Golkar, Jokowi secara nyata menunjukkan bahwa pendeklarasian presiden yang terkesan ‘terburu-buru’ adalah sesuatu yang sembrono hal mana ditanggapi dengan tepukan tangan yang riuh. Lebih lagi ketika ia menyinggung bahwa orang yang jadi capres adalah orang yang ‘bener’. Sebuah ungkapan yang dengan logika sederhana orang bisa mengaitkan dengan ‘gubernur’ yang diplesetin dengan ‘ga bener’. Semua orang langsung memahami siapa yang dituju. Tetapi bukan Jokowi kalau ia masih memperjelas lagi: ‘isi sendiri’.
Gaya sangat nyata (tanpa kata-kata bersayap) dan gestikulasi tidak memeluk SP (meski coba dibenarkan oleh para pendukung SP), tetapi siapapun bisa melihat sebagai simbol kejujuran Jokowi. Ia tidak mau ‘buat-buat’. Ia ingin membahasakan apa yang ada dalam hati dan pikirannya dengan gestikulasi proxemics ekspresi kedekatan ajarak antara komunikator dan komunikan yang bisa mengekspresikan kedekatan atau ketidakdekatan hubungan antarmereka.
Gestikulasi fisik seperti ini sebenarnya sudah menjadi cukup terang-benderang bahwa Jokowi merasa tidak nyaman dengan Nasdem yang seakan menelan ludah sendiri atas kritik politik identitas yang selama ini dilansirkan oleh kadernya kepada Anies Rasyid Baswedan (ARB) selama PIlkada DKI.
Model komunikasi ‘low context culture’ seperit ini tentu berbeda dengan ‘high context culture’. Pada model ini yang disebut komunikasi tingkat tinggi ini kerap digunakan kata-kata bersayap, menggunakan bahasa tubuh yang tidak jelas dan bahasa verbal tidak langsung ke intisari. Model ini barangkali yang ditampilkan oleh presiden Soeharto, SBY.
Surya Paloh bisa dikategorikan dalam budaya konteks tinggi. Ia gunakan bahasa-bahasa kiasan dan berusaha menjelaskan secara detail apa yang terjadi (seperti pada hubungannya dengan Jokowi). Meski demikian orang bisa merasakan, yang sedang terjadi adalah kegalauan. Ia gunakan kata-kata bersayap dan bahasa tubuh yang multitafsir. Apa yang dikatakan tidak ditunjukkan dalam gestikulasi.
Pada sisi lain, gaya komunikasi tingkat tinggi yang selalu diungkapkan dengan model kinesic berupa gerak-gerik tubuh SP bisa saja menjadi boomerang. Pasalnya, dalam kaitan dengan nasionalisme, perjuangan kesederajatan, SP terkenal sangat vokal. Vokalitas itu terekspresi secara kinesik lewat gerak-gerik tubuh yang menunjukkan kenegarawan seorang SP.
Dalam arti ini, ketika hanpir 80% dari pidato berbicara tentang Jokowi dan bukannya tentang Nasdem, maka bisa terbaca, apa yang disampaikan mengindikasikan kegalauan Nasdem saat ini. Hal itu tentu bukan saja karena PKS dan Demokrat yang seakan tidak ‘sepanas’ Nasdem dalam mendeklarasikan ARB. Malah ada dugaan koalisi itu terancam menjadi ‘dingin’ dan semoga saja tidsak berpisah.
Salah Sangka
Mengapa nasib Nasdem bisa gamang seperti terjadi sekarang ini? Tentu banyak alasan. Namun beberapa hal ini bisa menjadi alasan dan sekaligus kalau dibenahi secara dini dapat menyelamatkan partai yang baru berusia 11 tahun ini.
Pertama, apa yang terjadi dengan Nasdem bisa saja hasil dari sebuah proses generalisasi. Pencapaian 6,74 % atau sekitar 8,42 juta pemilih. Nasdem lalu ‘menitipkan’ 35 orang wakilnya di DPR RI. Ini sebuah pencapaian yang spektakuler bagi sebuah partai baru seperti Nasdem. Di pileg 2019, hasilnya menanjak menjadi 12,7 juta atau 9,05%. Nasdem meloloskan 56 anggotanya di DPR RI bahkan mengalahkan partai tua seperti PKS, Demokrat, PAN, dan PPP.
Dari pencapaian ini bisa saja muncul upaya menggeneralisasi bahwa pada pileg 2024, Nasdem akan menanjak lagi. Dalam logika hal ini disebut generalisasi dengan tingkat kekeliruan yang besar. Pasalnya, dengan 2 fakta tidak bisa menjadi alasan untuk menarik kesimpulan bahwa pileg berikutnya Nasdem akan naik lagi. Kalau naik (ya syukur). Tetapi hal berbeda bisa saja terjadi hal mana telah ditunjukkan dalam survei tentang dampak Nasdem pasca pengumuman ARB sebagai capres.
Kedua, keberhasilan Nasdem tidak bisa dilepaskan dari keterikatannya dengan Jokowi. Dari analissi tentang data hasil pemilih, di daerah di mana Jokowi menang juga menjadi basis kemenangan Nasdem. Hal itu bisa ditunjukkan di NTT dan Papua. Artinya, kalau logika sebelumnya digunakan dan menjadi bukti kemenangan maka dalam 2 pileg ketika Nasdem bersama Jokowi maka ia menang. Dengan demikian tidak bisa dijamin bahwa dengan ‘berpisah’ dari Jokowi, Nasdem akan menang. Inilah fakta yang tidak bisa disangkal.
Yang terjadi, nampaknya Nasdem lebih memerhatikan grafik kenaikan dalam pileg 2014 dan 2019 dan tidak lebih jauh melihat keterkaitannya dengan Jokowi. Lalu apakah Jokowi akan memilih meminggirkan Nasdem dari koalisinya? Pengalaman ‘menyingkirkan’ ARB dari kabinet menjadi pembelajaran yang sangat berharga. Barangkali hal itu dilaksanakan saat itu atas pertimbangan lain oleh orang dekat (bisa saja) dan bukan dari Jokowi. Sebagai orang yang sangat dipengaruhi budaya Jawa, ia tidak akan menyerang malah ‘menyingkirkan’ Nasdem.
Lalu apa yang dibuat? Jokowi sangat mungkin akan mempertahankan Nasdem di pemerintahan. Ia tidak ingin mengambil resiko. Tetapi ada hal yang jauh lebih penting. Dengan mempertahankan di pemerintahan maka di situlah hukuman terberat bagi Nasdem. Dipercaya atau tidak (mengapa harus percaya hehehe), pemilih Nasdem akan melihat inkonsistensi Nasdem. Dengan demikian minat orang pada Nasdem akan berkurang secara singnifikan di pileg 2024.
Lalu apa yang masih dimiliki kalau perolehan suara berkurang karena pemilih setia meninggalkan Nasdem sementara pemilih baru pun tidak melihat bakal menjamin kepentingan mereka di pemerintahan dengan demikian suara baru pun tidak menjamin? Inilah akibat yang bisa saja menyeramkan dan bisa terjadi. Bayangan yang suram seperti ini juga bisa saja terkesan dibesar-besarkan. Tetapi kalau diungkapkan sekarang, itu karena banyak orang (seperti saya) masih cinta Nasdem sambil berharap, Nasdem minimal memahami kegalauan simpatisannya. Tetapi Nasdem sebagai partai besar bisa juga tidak perlu mendengar semua isi hati dengan konsekuensi yang tentu akan kita lihat di pileg 2024 yang menjawab apakah dugaan kita berlebihan atau memang terjadi seperti yang diduga? Nanti kita lihat.
Robert Bala. Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Universidad Complutense de Madrid Spanyol.