Ket Foto : Suasana ketika Fitri berdiri mengucapkan Pancasila dan diikuti oleh semua yang hadir. Fitri didampingi oleh Gerady Tukan dan Haji Arsad
Catatan : Gerardy D. Tukan dari Pulau Kera
PULAU KERA : WARTA-NUSANTARA.COM-Bertandang ke Pulau Kera, Minggu 11 Desember 2022, menjadi satu kisah yang indah dan unik. Pulau yang terlihat berukuran kecil dan berada di tengah laut sekitar 10,6 Km atau sekitar 6,58 mil dari pantai Kota Kupang, tampak sendirian, terpisah cukup jauh dari daratan lain sekitarnya. Untuk mencapai daratan berpasir tersebut, dapat dijangkau dari 3 arah yaitu dari Oeba Kupang, dari Namosain Kupang dan dari Sulamu Kupang. Kendaraan yang digunakan untuk mencapai pulau yang berpenghuni 130 lebih KK itu yakni kapal-kapal milik para nelayan warga penghuni Pulau yang mempunyai luas sekitar 25 hektar itu.
Bersua dengan Pulau Kera di Minggu 11 Desember 2022, atas ajakan pak Haji Arsad Jalating. Pak haji Arsad, salah seorang warga Pulau Kera yang saya kenal beberapa waktu sebelumnya, secara kebetulan, di kawasan kolam labuh kapal nelayan, Oeba Kupang. Obrolan yang makin sering melalui whatsApp, maka Pak Haji menawarkan diri menjemput saya. Waktu yang disepakati pun tiba. Minggu 11 Desember 2022 pagi, perjalanan itu pun terjadi. Dan, selama sekitar 35 tahun hidup di Kota Kupang, saya baru daratkan tubuh di pulau kecil berpenghuni nelayan atau pelaut-pelaut Bajo asal Sulawesi Tenggara.
Mereka orang pelaut. Hidup mereka di laut. Laut adalah lahan hidup dan sahabat mereka. Daratan kecil, Pulau Kera itu mereka jadikan tempat mendarat setelah mencari ikan di tengah samudera. Daratan kecil Pulau Kera itu mereka tempatkan istri dan anak menetap dan menunggu mereka berkebun di laut dan membawa pulang panenan. Hidup dari isi samudera biru pun tidak hanya untuk kebutuhan hidup mereka, namun juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Kupang dan sekitarnya, bahkan masyarakat Nusa tenggara Timur umumnya akan protein hewani dari laut.
Pak Haji menepikan perahu langsung di bibir pantai Pulau Kera. Tidak ada dermaga. Pantai yang berpasir putih dan halus itu, aman untuk menepikan haluan perahu tanpa terbentur batu. Saya pun melompat turun, langsung beridi di pasir putih halus yang kering. Seketika pula saya membalikkan arah pandang melihat ke daratan yang telah 30 menit saya tinggalka. Di sana, Kota Kupang. Megah terlihat.
Pak Haji menghajak saya mengikuti langkahnya menuju rumahnya. Kami melewati celah beberapa rumah yang berjejer di tepi pantai. Rumah pak Haji ternyata tidak terlalu jauh. Kami pun sampai di rumah permanen miliknya. Istri pak Haji dan putrinya, Ariska, menyambut kedatangan sya dengan ramah. Sejumlah bocah juga ada di situ, namun tampak malu-malu. Saya mendekati mereka, mengeluarkan jurus menyapa mereka dengan kata-kata dan sikap bak anak-anak, biar mereka langsung merasa bahwa saya adalah kawan mereka. Dan, itu ampuh. Langsung akrab. Bahkan, mereka tampak berani. Kami pun berteman. Anak-anak makin banyak berdatangan.
Pak Haji Arsad mengajak saya bersama bocah-bocah Pulau Kera itu ke rumah Pengajian yang dibangunnya untuk anak-anak berkumpul belajar mengaji. Di emperan rumah pengajian itu, saya mengeluarkan bahan-bahan belajar mengenal huruf, angka, kata dan membaca dasar, yang saya bawa. Ariska Jalating, putri dari pak Haji merapat ke saya dan tampak berusaha mempelajari serta mencermati bahan apa yang saya bawa, untuk apa, dan apa yang akan saya lakukan. Tampak dari wajah dan geraknya, siswi kelas 5 MIN Kupang cabang Pulau Kera itu ingin berperan, ingin membantu. Dan, benar saja. Inisiatif itu tampak kuat.
Ketika saya menganjurkan agar anak-anak kelas 1 dan kelas 2 serta yang belum sekolah masuk dan menempati ruang di dalam rumah pengajian, Ariska langsung beraksi, menghantar bocah-bocah kecil masuk dan mengatur mereka duduk rapih di lantai. Kemudian, saya menyodorkan kertas dan pena ke Ariska, lalu gadis kecil itu masuk dan membagi kertas serta pena itu adik-adik kecil itu lalu memberikan arahan pada adik-adik itu untuk menulis. Tidak hanya itu. Ariska juga membujuk mereka yang masih enggan, memegang tangan mereka untuk
mengarahkan pena menulis tiru huruf, lalu memotret serta merekam video aksi adik-adiknya menulis. Ariska peduli. Dua kata itu yang tiba-tiba muncul di pikiran saya ketika melihat aksinya.
Di emperan, ada anak-anak kelas 3, 4, 5 dan kelas 6. Kegiatan yang mereka lakukan adalah membaca buku Aku Suka Belajar IPA, buku yang saya bawa. Mereka dipersilahkan maju satu demi satu untuk membaca naskah yang saya tentukan. Dari sekian banyak mereka, tampak Khalifah dan Carmila Suhabu, keduanya kelas 3, yang lebih agresif maju mengambil buku dan membaca. Mereka membaca dengan suara lantang untuk didengar yang lain. Meskipun masih tampak tersendat, tidak patuhi tanda baca yang ada, namun mereka tetap maju bergantian menghabiskan naskah yang ditugaskan. Keduanya pun berusaha mencoba menceriterakan kembali isi naskah yang dibacanya. Merek berjuang, tidak sungkan. Dan, aksi akrab itu membuat anak-anak yang lain pun mencoba. Khalifah dan Carmila tampak sukses memicu yang lain. Itu yang saya dapatkan.
Usai belajar membaca dan menulis, kami semua padati emperan samping Timur rumah pengajian itu. Khalifah dan Carmila lagi-lagi muncul membakar suasana. Saya membantu membagi anak-anak itu dalam dua kelompok yang duduk berjejer dua baris dan saling berhadapan. Saya ajak kedua kelompok saling lontar pertanyaan dalam nyanyian “sedang apa sekarang”… Salah satu barisan dipimpin oleh Khalifah dan barisan lain dipimpin Carmila.
Awalnya kaku, sebab lagu ‘sedang apa’ untuk melatih nalar menjawab pertyanyaan lawan, itu mereka belum tahu. Namun, Khalifah dan Carmila berusaha lebih cepat menyesuaikna diri dan keduanya tampak sangat berjuang untuk kelompoknya tidak kandas. “Perang nalar” melalui lagu ‘sedang apa’ ternyata tidak cukup memanasi pikiran bocah-bocah Pulau Kera itu. Adalah si Khalifah, dialah yang memulai saling lempar pantun. Carmila tetap teguh jaga kelompoknya agar tidak kalah berbalas pantun. Suara merteka melengking melontar pantun. Saya terkejut, betapa kedua kelompok itu, anggota-anggotanya, bahkan yang mungil-mungil, rebutan untuk lempar pantun saling lawan. Banyak yang kata-kata terucap tidak jelas, tetapi keberanian mengalahkan yang tidak jelas itu. Adyiik dan heboh… itulah yang bisa saya gambarkan.
Di tengah panasnya saling lempar pantun, Fitri Latanden, siswi kelas 3, pun tidak mau kalah memperlihatkan perannya. Ia tidak minta diberi kesempatan melempar pantun. Ia tidak minta diberi tempat untuk membalas pantun. Namun yang Fitri mintadan bahkan berjuang rebut kesempatan adalah diberi tempat dan waktu untuk dia menyebut Pancasila agar diikuti oleh semua anak yang lain. :Lagi-lagi saya terkejut. Tetapi kami semua pun larut dalam teriakan membahana, menyebut kalimat sila-sila dari Pancasila yang dipandu oleh Fitri.
“Pak, air sudah surut. Kalau pak mau kembali ke Kupang hari ini memang maka sekarang juga kita harus jalan”. Kata-kata itu tampak berat dilontarkan dari bibir pak Haji Arsad. Bibirnya mengeluarkan kalimat itu namun pancaran matanya tampak tidak ingin saya kembali lebih cepat, apalagi sedang dalam kerumunan anak-anak. Wajahnya yang tadi gembira menyaksikan kesemarakan, berubah redup.
Anak-anak pun diam serentak. Suasana berubah jadi pamitan. Saya bergegas karena harus mengikuti irama pak Haji yang telah hafal betul tanda-tanda air laut. Anak-anak pun berbondong-bondong menghantar ke tepi pantai. Ternyata mereka tidak hanya hantar saya di tepi pantasi, namun mereka nekad berenang ke perahu milik pak Haji yang akan saya tumpangi. Mereka berenang kelilingi perahu yang sedang terapung itu. “Pak, pak pulang sudah..? Da.. pak Gerad…. Nanti pak datang lagi …..”. Di atas perahu, saya tertegun. Kalimat terakhir yang dilontarkan satu bocah sambil nafas terengah-engah; ‘Nanti pak dating lagi’, Itu bukan permintaan. Nadanya adalah pernyataan***.