Ket Foto : Bersama warga Lewokurang Desa Nubahaeraka, Kecamatan Atadei
Catatan Jurnalistik : Gerardus D. Tukan
(Episode 1)
LEMBATA : WARTA-NUSANTARA.COM–Selasa, 27 Desember 2022, cuaca cukup bersahabat. Mendung, namun tidak memberikan tanda bahwa akan turun hujan. Awan yang membalut bola matahari, tampak bukan awan jenis stratus yang menghasilkan hujan. Awan yang menghalau cahaya matahari sehingga membuat kondisi cuaca tampak mendung itu rupanya terkategori jenis awan yang tidak menghasilkan presipitasi untuk terjadinya hujan. Kondisi cuaca tidak panas, juga tidak dingin. Tidak gelap oleh balutan awan hitam namun tampak terang karena hanya awan putih tipis yang menghalangi cahaya matahari menerpa muka bumi Lembata, khusus di tempat saya berada dan bergerak.

Sebagaimana biasa, jika berlibur natal dan tahun baru di kampung, saya memanfaatkan waktu di antara hari raya Natal dan tutup tahun serta Tahun Baru (27 – 30 Desember) untuk jalan-jalan. Berjalan ke tempat-tempat yang belum pernah didatangi atau pergi mancing ikan di laut. Namun untuk libur natal tahun ini, kesenangan pergi mincing ditangguhkan sebab gelombang laut kurang bersahabat. Sanak keluarga yang di dusun Dangalagu desa Lamalela yang berhubungan langsung dengan Pantai Bobu, pantai Selatan Lembata, memberi kabar bahwa gelombang laut di Teluk Bobu sangat tidak mendukung untuk mancing. Diinformasikan bahwa laut di teluk tersebut, yang pada 18 Juli 1979 lalu pernah terjadi tsunami yang merenggut puluhan jiwa orang Lamatuka (sanak keluarga) itu sedang gelombang tinggi dan arus yang deras sehingga sangat mengganggu saat mancing. Juga berpotensi bahaya.

Niat pergi mincing ditangguhkan. Saya tertarik pada ceritera dari adik Daton, salah satu sopir, tetangga rumah, tentang beberapa kampung di kawasan kecamatan Atadei Lembata. Adik Daton berbagi ceritera itu beberapa jam sebelumnya dan membuat niat membumbung tinggi untuk mencapai kampung-kampung itu. Memang, selain belum pernah mencapai kampung-kampung itu dan hanya mendengar nama saja, namun beberapa informasi unik dan penting dari adik Daton yang memprovokasi untuk harus segera ke sana.
Perjalanan dimulai. Lewoleba menuju Atadei, yang ada di kawasan pegunungan. Memasuki Namaweka, suasana gelap membalut dan hawa dingin menusuk. Bukan karena mendung dan ancangan hujan melainkan lebatnya pepohonan yang membalut ruas jalan. Aneka tanaman niaga tampak kokoh berdiri, dan yang paling dominan adalah tanaman kemiri. Itu tanaman sumber uang utama masyarakat. Ada juga tanaman kelapa. Memasuki desa Baolangu, ada hutan jambu mete. Memasuki desa Katakeja (Kalikasa, ibu kota kecamatan Atadei), tanaman-tanaman niaga ini, ditambah pula nenas, lebat mengerubuti muka tanah.
Di Kalikasa, di tepi Timur kompleks Kantor Camat Atadei, saya arahkan haluan sepeda motor berbelok ke kanan, medaki ke arah Selatan. Orang Atadei istilahkan sebagai jalur tengah. Itu pun atas petunjuk adik Daton. Memang, jalur itu belum pernah saya lewati, karena saya biasa ambil jalur lurus menuju ke arah Karangora, terus menuju Panas Bumi di Watuwawer hingga Lerek. Tidak pernah melintas jalur ke arah Selatan ini.
Langkah pasti ke arah Selatan. Mendaki yang tak tanjak. Landai saja. Kampung pertama yang saya masuki adalah Kolilerek. Itu nama lama atas kampung itu. Sejak kecil pun pernah dengar nama kampong itu, dan lebih dikenal. Sekarang sudah desa dan bernama desa Tubuk Rajan. Suasana sejuk. Aneka tanaman niaga yang cocok hidup di daerah pegunungan sejuk, ada di sini.
Atas arahan salah seorang bocah, saya mengikuti jalan asapal, hendak menuju ke kampung lain. Di tengah jalan, kawasan hutan kemiri, saya berjumpa seorang adik yang juga sahabat. Namanya Asten Kares.Ia cukup dikenal di seantero Lembata. Ia sedang tamasyah di kawasan pegunungan dengan anak-anak muda asal dari kampungnya. Saya berhenti. Ada pisang bakar. Ada tuak kelapa. Kami salaman Natal di situ dan menghabiskan beberapa buah pisang bakar. Sejenak saya berpikir, buah pisang dari kawasan subur ini harus bisa rebut pasaran di Kota Kupang. Asten, sebagai orang asal kawasan itu pun berceritera bahwa kawasan hutan di tempat kami duduk, dulunya merupakan hutan kopi. Namun karena harga kopi menurun, ketika itu, dan ada ekspansi budidaya vanili, maka masyarakat tempo itu (sekitar tahun 1980-an) menebang tanaman kopi dan diganti dengan tanaman vanili. Kemudian, tanaman vanili bermasalah di pasar, maka kawasan itu kembali dibiarkan jadi hutan belantara dan menyisahkan tanaman kemiri menguasai hutan tersebut. Asten berencana ingin mengembalikan kejayaan tanaman kopi di kawasan itu.
Perjalanan saya lanjutkan. Mendaki kemudian menurun dan memasuki kampung Bakan. Nama desanya adalah Ile Kerbau. Memasuki desa Ile Kerbau tersebut, tanaman kakao, kopi dan anakea tanaman niaga lainnya seakan menyapa. Saya jadi ingat kondisi hutan rempah-rempah di kawasan perjalanan Kota Masohi di Pulau Seram Maluku ke pulau Seram bagian Barat. Kawasan rempah- rempah. Kondisi hutannya relatif sama. Sama pula dengan di kawasan kecamatan Keo Tengah kabupaten Nagekeo, atau beberapa tempat di Ende.
Dari Bakan (desa Ile Kerbau), atas arahan simpatik dari beberapa warga yang saya temui, perjalanan saya lanjutkan ke kampung Lewaji atau desa Dori Pewut. Sejumlah mama yang saya temui di Lewaji, menunjuk jalan yang harus saya tempuh menuju Paulolo atau desa Lebaata. Di Paulolo ini ada jalan cabang menuju pantai selatan (di Labala, kecamatan Wulandoni), dan jalur lurus menuju kawasan Atadei yang lainnya. Sejumlah pemuda yang saya temui, mengarahkan jalur jalan yang harus saya lintasi yakni jangan berbelok tetapi memilih jalur lurus. Hutan tanaman niaga pun kembali saya arungi.
Bumi rempah-rempah saya lintasi. Saya menyinggahi satu kampung bernama Lewokurang. Di Lewokurang, sejenak bercandaria dengan masyarakat di situ, makan sirih pinang, nyanyi lagu Tanah Lembata Helero, lalu perjalanan dilanjutkan menuju ke arah pegunungan, di kampung yang bernama Waiwejak (desa Nubahaeraka). Kampung Lewokurang merupakan bagian dari desa Nubahaeraka. Di Waiwejak, pun saya jumpai tanaman kopi yang sedang berbuah lebat. Rumah yang saya singgahi, tuan rumahnya memberi buah naga dan buah nenas. Ibu tuan rumah sejenak berceritera bahwa buah nenas sangat banyak dan dijadikan makanan babi. Mendengar hal itu, saya memanggil anaknya yang sedang berlibur, (yang sedang duduk di bangku kuliah, jurusan Biologi dan yang sedang SMA jurusan IPA) lalu mengajak mereka membaca tentang olah buah nenas menjadi selai dan anggur buah, melakukan praktek, agar buah nenas masak dapat dioptimalkan. Lalu, perjalanan dianjutkan. Dari Waiwejak, saya menuju pertigaan di dataran rendah Baoraja yang ada di puncak pegunungan. Tiba di Baoraja, hari sudah gelap. Di pertigaan itu, saya memilih belok ke kiri untuk kembali ke kota Lewoleba.
Hutan bumi rempah-rempah di kawasan kecamatan Atadei yang saya arungi, tampak masih cukup jauh dari perhatian infrastruktur jalan. Memang, jalur jalan yang saya lewati merupakan jalan raya, yang terkategori Jalan Usaha Tani (JUT). Masih sangat panjang ruas jalan yang belum dibalut aspal. Ada beberapa segmen yang diatasi dengan beton (semen atau disebut jalan rabat), yang tentu diupayakan oleh desa-desa itu. Ada tiga harapan yang ingin diutarakan melalui ceritera ini atas apa yang dilihat dan dialami. Pertama, infrastruktur jalan yang perlu dipercepat peningkatan kualitasnya untuk memudahkan mobilisasi hasil bumi, termasuk jalur ke pantai Wulandoni untuk memanfaatkan pengangkutan oleh kapal TOL laut.
Kedua, perlu dipikirkan untuk dibentuk BUMDES bersama yang menampung hasil bumi masyarakat berbagai desa, kemudian dipasarkan ke luar dalam kapasitas atau volume yang tinggi sehingga dapat bersaing merebut pelanggan. Ketiga, digalakkannya jenis tanaman niaga unggulan yang kemudian menjadi kekayaan andalan dan gudang yang dilirik banyak pelanggan. Dengan demikian, akan menjadi ciri khas produk unggulan dari kawasan bumi rempah-rempah milik kecamatan Aradei, milik kabupaten Lembata ini, yang bisa bersumbangsih terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menekan pengangguran***.