Ket Foto : Warga Uruor mengerjakan Rabat Jalan
Catatan Jurnalistik : Gerardus D. Tukan
(Episode 2, bagian 2)
LEMBATA : WARTA-NUSANTARA.COM-Uror, kampung itu di punggung bukit. Kampung yang merupakan sebuah desa bernama Desa Belobatang dalam wilayah Kecamatan Nubatukan itu merupakan daerah yang subur. Berbagai tanaman niaga ada di kawasan itu. Kopi dan rambutan sedang berbuah. Ubi kayu juga merupakan satu jenis tanaman andalan untuk dipasarkan setiap hari Senin di kota Lewoleba. Meskipun sebagai kampung yang subur dan berhawa sejuk namun Uror ternyata pernah punya suasana sulit. Penduduk pernah mengalami kesulitan air yang tergolong berat, meskipun terdapat sejumlah tempat munculnya mata air, seperti mata air Korpois, Waitaum, Waikora dan Waiwui.
Dikisahkan bahwa dari 4 mata air tersebut, hanya mata air Korpois yang jaraknya lebih dekat dari kampung, sekitar 100 meter. Sedangkan mata air yang lain jauh di lembah, dan harus dijangkau dengan jarak cukup jauh. Jalan menurun untuk mengambil air, kemudian harus membawa air melalui jalan tanjakan menuju ke kampung. Mata air Korpois, merupakan mata air yang paling dekat dengan kampung Uror, akan tetapi untuk memperoleh air dari mata ait tersebut, butuh perjuangan berat. Dikisahkan bahwa mata air itu berupa kolam kecil. Orang-orang harus antri memperoleh air dari kolam tersebut dengan cara menggayung. Jika kering, telah habis digayung, maka orang berikutnya harus menunggu hingga kolam itu kembali digenangi air agar dapat digayung lagi. Menanti untuk memperoleh giliran mendapatkan sedikit air dari kolam Korpois itu, membutuhkan waktu antri berjam-jam lamanya.
Dan, antrian di kolam Korpois oleh warga Uror, berlangsung setiap hari selama 24 jam. Perjuangan memperoleh air dari kolam mata air Korpois ini menyebabkan masyarakat Uror harus membeli air dari mobil tangki yang didatangkan dari Kota Lewoleba. Berbagai upaya pun telah dilakukan untuk mengatasi kesulitan masyarakat terhadap kebutuhan air tersebut, namun cukup mengalami hambatan. Barulah program Pamsimas (Program Air Minum dan sanitasi Berbasis Masyarakat) mampu menanggulangi kesulitas itu melalui cara menarik air dari mata air Waiwui menggunakan teknik hydram. Kini, air telah mendatangi rumah mereka dan masyarakat Uror telah menikmati air bersih.
Orang Uror juga punya mobil yang bernama Andes (Anak Desa). Mobil ini dikredit oleh salah satu warga bernama Padensius Rimo, di tahun 2020. Padensius menyampaikan secara terbuka kepada warga bahwa ia melakukan kredit atas kendaraan tersebut, dan untuk penyicilannya harus ditanggung bersama oleh warga setempat. Memang, kendaraan itu diadakan guna mengatasi kesulitan warga Uror dalam hal mengangkut hasil bumi warga ke pasar di kota Lewoleba, mengangkut kebutuhan warga Uror yang dibeli di kota Lewoleba, serta berbagai keperluan lainnya. Sebelumnya, warga Uror sangat kesulitan memobilisasi hasil buminya ke kota Lewoleba. Andes hadir dan sangat membantu mereka.
Andes pun dipelihara oleh semua masyarakat, bukan hanya oleh Pandensius, sebab Pandensius sigap melayani kebutuhan semua warga Uror setiap waktu. Usai minum kopi dan menggali banyak ceritera tentang Uror, perjalanan dilanjutkan menuju ke Udak. Mikel dan istrinya sempat memberikan arahan bahwa jalan menuju ke Udak, jarak tempuhnya serta kondisi jalannya relatif sama seperti dari Paubokol sampau di Uror. Saya sempat tarik napas panjang dan menghembusnya kuat-kuat. Namun tekad telah bulat untuk menaklukannya maka perjalanan pun saya lanjutkan.
Uror (desa Belobatang) ke Udak (desa Udak Welomatan), sebuah perjalanan yang indah namun cukup menguji nyali. Ruas jalan yang ditempuh, lebih dominan permukaan tanah asli dan tekstur tanah berupa tanah liat sehingga terdapat sejumlah titik yang cukup sulit dilewati. Kondisi jalan licin. Hutan yang dilewati, benar-benar hutan tanaman niaga. Tanaman kemiri yang lebih dominan. Sejenak saya berpikir, diperlukan upaya mutasi genetic terhadap tanaman kemiri agar diperoleh genetis tanaman yang rendah namun rimbun, berbuah lebat dan berbuah tanpa kenal musim seperti tanaman kelapa dan pisang.
Ada pula hal yang membuat saya sangat waspada sepanjang jalan di tengah hutan itu yakni tiang listrik yang patah dan kabel listrik terbalut tumbuhan lain. Seandainya ada aliran listrik melewati kabel-kabel itu maka tentu area yang saya lewati merupakan area berbahaya oleh sengatan arys listrik. Rupanya itu tidak. Namun, sarana milik negara itu tampak terlantar di dalam hutan belantara. Jalan mulai menyimpang dari puncak perbukitan dan mulai menurun ke arah Selatan.. Di lembah bagian itu terdapat jejeran perkampungan yang mencapai pantai Selatan, pantai Wulandoni. Saya menuruni jalan rabat dari puncak perbukitan itu ke kampung yang pertama, di lembah. Jalan turun cukup curam, dengan belokkan yang cukup tajam. Jika dari arah berlawanan maka kendaraan harus mendaki cukup tanjak dengan posisi gigi satu. Sambil menurun saya berpikir, kondisi jalan demikian tentu cukup menyulitkan kendaraan mengangkut hasil bumi dan mendaki menuju puncak bukit untuk kemudian menuji ke kota Lewoleba. Mungkin lebih mudah adalah pengangkutan menurun ke pantai, ke kota Wulandoni.
Tiba di tengah kampung, itu adalah kampung Udak, yang merupakan sebuah desa bernama desa Udak Welomatan. Kampung Udak tersebut masih dalam wilayah kecamatan Nubatukan yang beribukota di Lewoleba, pantai Utara. Udak merupakan kampung atau desa terjauh dari ibu kota kecamatan. Saya bermenung sedikit, apakah masyarakat desa ini lancar dan aman mengurus sesuatu ke ibu kota kecamatan dengan menempuh jarak yang cukup jauh ini? Bukan hanya jauh, namun medan jalan yang ditempuh pun cukup menguras waktu, tenaga dan biaya?
Kampung Udak itu boleh dijuluki sebagai hutan kakao. Sebab, tumbuhan yang memadati isi kampung atau desa itu adalah tanaman kakao. Ada pula pisang dan tanaman sayur Labu Jepang, namun kakao tampak lebih dominan. Meski demikian, semua pohon kakao tidak menunjukkan buah yang menggembirakan. Ketika bertanya pada warga yang dijumpai tentang pohon kakao yang tidak memperlihatkan buah yang baik, warga pun menuturkan bahwa pada beberapa tahun terakhir, tumbuhan kakao tampak gagal panen. Tumbuhan penghasil coklat itu tidak memberikan hasil panenan sebagaimana yang diharapkan.
Selepas desa Udak Welomatan, langsung memasuki desa Belobao atau lebih dikenal dengan nama Lewuka. Desa Belobao telah masuk dalam wilayah Kecamatan Wulandoni. Jadi, desa Udak Welomatan di kecamatan Nubatukan dan desa Belobao (Lewuka) dalam wilayah kecamatan Wulandoni, tampak sangat dekat berdampingan. Jarak antar pusat pemukiman warga kedua desa sekitar 100 meter. Kondisi alam dan jenis tanaman niaga antar kedua desa tampak sama saja. Kampung berikutnya dalam perjalanan ke arah pantai yaitu dusun Bakaor dalam wilayah desa Wulandoni, ibu kota kecamatan Wulandoni. Mulai dari kampung Bakaor ke arah pantai, , jenis tanaman niaga sudah mulai berbeda. Tanaman niaga yang dominan yaitu jambu mete, kemiri dan kelapa. Semakin mendekati pantai, kota Wulandoni, tanaman yang dominan adalah jambu mete dan kelapa.
Setiba di pantai Wulandoni, saya memperlambat laju kendaraan sambil mengarahkan pikiran ke pegunungan yang telah dilalui. Beberapa pikiran pun muncul. (1) Banyak jalan raya dengan jalur yang terjal atau tanjak, yang tentu mempersulit mobilisasi hasil bumi. Perlu perbaikan agar lebih aman untuk dilalui. (2) Peningkatan kualitas badan jalan tetap jadi prioritas. (3) Perlu adanya pengembangan tanaman niaga unggulan yang menjadi kekuatan dan kekhasan kawasan. (4) Tanaman buah-buahan seperti nenas, alpukat, rambutan, salak, hasilnya dapat dipasarkan ke luar Lembata dengan memanfaatkan kapal Tol Laut atau kapal feri, namun buah-buahan tersebut perlu penanganan yang baik saat mobilisasi, dan bila perlu dalam box pengawetan. Untuk kepentingan pemasaran ke luar pulau, perlu dibentuk agen-agen pemasaran.
Permenungan tiba-tiba terhenti ketika dikejutkan oleh suara seorang perempuan yang memanggil. Saya menghentikan kendaraan dan menoleh ke arah suara itu. Ia melepas kereta sampah dan tersenyum sambil berjalan menghampiri. Saya bingung. Ia mengulurkan tanganya. (Bersambung)