Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
(Minggu Anak Missioner)
Yes.60:1-6; Ef.3:2-3a.5-6; Mat 2:1-12
Bapak, ibu saudara saudari yang terkasih,
WARTA-NUSANTARA.COM-Hari ini Gereja Katolik merayakan Minggu Penampakan Tuhan. Pesta itu, dulu, lazimnya disebut dengan Pesta Tga Raja. Hari Raya Penampakan Tuhan, sekaligus sebagai Hari Anak Misioner Se-Dunia. Hari ini adalah Hari Misioner Anak Se-dunia yang ke-180. Temanya: Anak Misioner: Bersahabat Terlibat Menjadi Berkat.
Pertanyaannya adalah apakah hari ini karena diperingati juga sebagai Hari Anak Sedunia maka perayaan ini menjadi tidak relevan bagi Remaja, Orang Muda Katolik dan Orang Dewasa? Tentu tidak!! Karena gereja adalah persekutuan umat Allah, paguyuban kaum beriman lintas usia, maka dalam persekutuan itu berlebur-padu seluruh umat Allah mulai dari yang bayi hingga berusia renta. Kita semua adalah Gereja yang Kudus, Satu dan Apostolis. Oleh karenanya tema di atas, memiliki relevansi kepada kepada kita semua. Kata terlibat dalam tema di atas berarti Gereja harus berpartisipasi dalam seluruh situasi dan dinamika di dunia ini. Gereja, terlebih-lebih hierarkis, tidak boleh tinggal diam, manakala persoalan-persoalan sedang melanda dunia, entah berkaitan dengan sedang terlukanya persaudaraan universal oleh karena perang yang tiada hentinya antara Rusia dan Ukraina, ataupun oleh karena kerusakan ekologi yang diakibatkan oleh keserakaan kaum kapitalis.
Kita mengakui gereja sebagai suatu persekutuan kaum beriman yang sedang berziarah pergi dan terlibat untuk menjumpai manusia dan lingkungannya dan menjadikannya sebagai sahabat. Maka dari itu persekutuan tidak boleh dipahami secara eksklusif, melainkan harus dimengerti secara inklusif. Kita harus bersekutu-satu secara eksklusif untuk bermisi secara inklusif. Apa maknanya? Maknanya adalah bahwa kita harus menjaga soliditas, keutuhan, ke-esa- an secara kekatolikan dalam semangat Trinitaris untuk bermisi, – untuk terlibat, melaksanakan tugas – kepada semua bangsa, tanpa kecuali. Tanpa ada sekat yang memisahkan, entah itu atas nama golongan, ras, suku dan bangsa tertentu. Kepada semua itulah kita terlibat, bergerak maju untuk bermisi secara universal, secara lintas batas, dengan harus melewati batas-batasan ciptaan dan rekayasa manusia sendiri.
Maka di saat kita terlibat dalam batas yang tanpa batas, kita sejatinya sedang menjadikan sesama dan ekologi sebagai cermin, yang di dalamnya kita dapat mengenal dan mengamati diri kita serta perilaku kita. Apabila kita sudah berhasil melihat diri kita dalam sesama sebagai cermin itu, maka kita akhirnya merekatkan diri satu sama lain sebagai sahabat sebagaimana kata-kaya Yohanes:”Kamu adalah sahabat-Ku” (Yoh. 15: 14a).Kita semua akhirnya menjadi manusia yang bersahabat, –homo homini socius.-
Ciri khas sahabat yang baik adalah: mampu mendengarkan melodi hatimu, dan yang akan menyanyikannya untukmu, apabila engkau sudah melupakannya. Sahabat adalah dia yang mengetahui isi hatiku, artinya dia yang mengenalku, dan dia terus akan meningatkan aku tatkala aku mulai salah melangkah, “ (Budi Kleden, Aku Yang Solider, p. 60).
Karena itu bila kita mulai terlibat, jika kita sedang bermisi untuk menjadikan sesama dan lingkungan sebagai sahabat maka kita tidak boleh monoton dan datar. Kita musti memiliki strategi baru. Kita harus membarui komitmen kita yang silam, agar kita menjadi misionaris yang inovatif dan kreatif tetapi bukan oleh karena kuat-mampunya kita semata-mata melainkan oleh karena campur tangan Tuhan. Oleh karena Wahyu Ilahi. Oleh karena inspirasi Roh Kudus sebagaimana yang ditunjukan oleh – tiga orang Majus dari Timur. Mereka tidak kembali ke tempat seperti sedia kala, tetapi melalui “jalan lain,” oleh karena penampakan malaekat terhadap mereka.
Saudara-saudaraku, sebagai misionaris zaman now, kita musti belajar dari Tiga orang Majus itu. Harus memiliki waktu, berani “berkorban” untuk bertemu dengan Yesus. Mereka berkorban menjumpai Yesus Sang Bayi Raja Damai, dengan berjalan kaki. Entahkah berapa jauh. Mereka tidak peduli. Dengan tuntunan bintang, mereka bergerak maju, menyusuri gunung dan lembah, menapaki jalan bukit bebatuan dan padang belantara, hanya untuk bertemu dengan Raja Orang Yahudi. Perjalanan yang lelah-meletihkan itu, dibayar mahal dengan perjumpaan yang sungguh membahagiakan antara mereka dengan Keluarga Kudus Nasaret: Maria, Yusuf dan Bayi Itu.
Pertanyaannya adalah, sebagai misionaris masa kini, apa yang harus kita belajar dari Tiga Orang Majus itu? Pertama, Mempunyai waktu untuk berjumpa dengan Yesus. Maka kita pun harus memiliki waktu untuk datang menjumpai Yesus. DIA menunggu kita setiap hari dan kita boleh menjumpai-Nya setiap pagi atau setiap hari Minggu, dalam Perayaan Ekaristi Kudus. Sampai di sini kita bertanya pada diri sendiriApakah saya memiliki waktuuntuk berjumpa dengan Tuhan dalam Perayaan Ekaristi Mingguan atau harian?
Kedua, Rela Berkorban. Bila hendak terlibat, tatkala hendak bermisi, satu hal yang tentu tidak mungkin dielak adalah berkorban. Mengorbankan waktu, tenaga bahkan materi. Yang ketiga. Mengandalkan campur tangan Allah. Menselaraskan kehendak kita dengan kehendak Tuhan. Mengikuti intervensi ilahi-Nya, sebagaimana ketiga orang majus itu diarahkan untuk menyusuri “jalan lain”, menapaki jejalan baru. Ketiga orang majus itu diperingatkan dalam mimpi, supaya jangan kembali kepada Herodes, maka pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain.
Agar supaya jangan salah melangkah melalui jalan yang lain, Kitab Suci harus menjadi Pelita bagi kaki dan terang bagi langkah kita. Namun pertanyaanya adalah, apakah kita mempunyai waktu untuk membaca dan merenungkan Sabda Tuhan?
Bila sabda itu telah menjadi pedoman hidup kita, maka makna Maklumat Natal melalui Yohanes masih terus-menerus menjadi pedoman arah hidup kita.
“Pada mulanya adalah Firman.Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.Ia pada mulanyabersama-sama dengan Allah Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya.” (Yoh. 1:1-4).
Atau penginjil Mateus pun mengatakan:” Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Mat.4:16).
Kita berhasil menjadi sahabat dan terlibat selaras dengan kehendak Allah maka kita telah menjadi berkat bagi sesama dan lingkungan. ***