Praktisi Psikologi dari Yayasan Mariamoe Peduli (YMP), Jefrin Haryanto, (Dokumen pribadi )
Oleh : Jefrin Haryanto ( Konsultan & Praktisi Psikologi )
WARTA-NUSANTARA.COM-Seharusnya, kita semua masih ingat saat TV Nasional sekelas Metro TV dituduh memalsukan jumlah peserta aksi bela Islam. Tangkapan gambar bertuliskan “Massa Aksi Kita Indonesia Mencapai 100 Juta” menjadi viral di Facebook dan Twitter. Gambar itu menunjukkan tayangan Metro TV yang dituduh memalsukan jumlah peserta aksi di Jakarta.
Stasiun ini dianggap bikin kebohongan, berita palsu, dan sejenisnya. Tapi kemudian muncul klarifikasi dari Metro TV yang memperlihatkan video asli dan tayangan itu sama sekali tidak menulis angka 100 juta. Celakanya sekalipun telah diklarifikasi, efek sebaran yang luas itu kadung terjadi. Sebagian orang, yang termakan tangkapan layar bohong tersebut, menyerukan boikot kepada Metro TV.
Belakangan ketika media sosial menjadi ajang persebaran informasi, media-media online muncul sebagai pabrik penyedia berita. Sentimen terhadap media-media arus utama makin menguat, termasuk insiden intimidasi terhadap wartawan di lokasi demonstrasi. Sentimen terhadap media mainstream dimainkan secara membabi buta melalui media sosial. Gempuran media sosial membuat sebagian besar publik mengalihkan perhatiannya dari media konvensional.
Tak jarang kita temukan bagaimana pemberitaan atau karya jurnalistik yang telah dibuat rapi oleh media mainstream, bisa hancur karena amplifikasi oleh media sosial. Memenggal sebagian berita dan sengaja menampilkan ketidakutuhan sebuah informasi, bisa memicu kemarahan publik. Bahkan kemampuan editing bisa menggunakan tampilan media arus utama tetapi judul dan isi berita bisa dengan gaya ala media sosial yang alay-alay, dengan bumbu sensasional, provokatif, vulgar, sadism, dan click bait.
Sejujurnya jika kita berkaca pada situasi hari ini, kabar bohong itu tak bisa diredakan. Efek dari informasi palsu yang sudah menjadi viral sudah sulit dicegah. Hal semacam ini semakin sering terjadi terutama menyangkut isu-isu sensitif seperti agama dan politik. Fenomena informasi palsu bukan hal baru. Ia telah menjadi industri itu sendiri dan jadi tambang uang. Hal paling berbahaya dari menyebarnya berita palsu atau satire yang dipercaya adalah menurunnya kepercayaan terhadap institusi jurnalisme.
Perhatikan fenomena kabar palsu yang disebut post-truth, berpotensi mendorong orang melakukan kriminalitas. Dalam situasi Post-truth kebenaran tak lagi relevan bagi pembaca, pendengar, atau pemirsa berita dalam membentuk opini publik. Emosi dan keyakinan pribadi sendiri jadi dasar beropini. Menolak atau menerima kebenaran sebuah berita hanya pakai selera. Selera dan kesimpulan sendiri menjadi dasar menentukan kebenaran. Sebuah hal bisa benar jika sesuai dengan selera saya, dan sebaliknya sebenar-benarnya sebuah hal, tetap salah jika tidak sesuai selera.
Dalam situasi seperti inilah peran media sangat krusial. Memperkuat kualitas dan etik pemberitaan tanpa mengabaikan fakta, cover all side, cek dan recek, obyektif, hindari presepsi, dan verifikasi yang detail adalah sedikit dari banyak syarat baik yang seharusnya dilakukan media arus utama. Repotnya jika media arus utama justru menjadi ruang untuk menghebohkan kebohongan tersebut.
Jujur saja masyarakat kita kehilangan daya kritis dalam membaca berita, malah dengan semangat partisan. Media sosial merupakan ekosistem yang paling pas bagi berkembangbiaknya media-media partisan, penyebar hoax, dan satire. Orang makin sering membaca hanya pada judul berita dan tidak memeriksa isi berita. Napsu untuk sharenya lebih tinggi ketimbang membaca habis. Membuat asumsi dengan hanya membaca judul adalah hal buruk. Masyarakat kita selain tidak bisa mengendalikan emosi tapi juga kehilangan kemampuan mengendalikan jempol. Membaca sedikit tapi bicara banyak. Membaca satu artikel atau mengikuti satu pelatihan, mendadak menjadi ahli.
Lantas apa sebenarnya yang bisa membedakan antara jurnalisme dan kabar bohong? Verifikasi adalah kunci penting yang membangun kredibilitas produk jurnalistik. Jurnalisme mengutamakan akurasi dan bertujuan melaporkan fakta sebenar-benarnya. Verifikasi adalah metode jurnalisme untuk meyakinkan dirinya bahwa informasi yang diterima itu benar, tanpa menambahkan atau mengurangi, dan sesuai fakta, sebelum kemudian melakukan tahap selanjutnya: cek dan ricek serta konfirmasi. Artinya media-media penyebar hoax, berita palsu, satire dan propaganda bukanlah produk jurnalistik.
Dalam propaganda, kebenaran fakta bukanlah hal pokok, dan tujuannya bukan menyampaikan informasi ‘apa adanya’ seperti halnya jurnalisme. Propaganda mementingkan daya persuasi, meyakinkan orang lain dengan tujuan tertentu, dan mengharapkan si penerima punya pemahaman sejalan dengan si pengirim pesan. Satire juga bukan jurnalisme. Ia semacam gaya ungkap yang mungkin dekat dengan cara penulisan artikel bebas. Fakta kadang diplesetkan di sana.
Tugas penting para jurnalis dan penulis yang bekerja pada media jurnalistik adalah mengembalikan fungsi media sebagai “rumah verifikasi informasi.” Ia membersihkan informasi dari fitnah atau hoax. Menjelaskan kepada publik apa yang sebetulnya terjadi. Tanpa komitmen terhadap jurnalisme yang berdisiplin, maka kita akan menghadapi krisis tentang realitas yang benar, dan ini tentu saja mengacaukan kehidupan kita semua. Apalagi jika media jurnalistik mainstream justru tergoda untuk mengikuti gaya dan sensasi media sosial demi mendapat klick bait, maka selesailah sudah roh jurnalisme itu.