Ket Foto : Yosefina Katarina Temaja Kromen, Sang Istri Terkasih
Oleh : Germanus S. Atawuwur
WARTA-NUSANTARA.COM–Waktu terus pamit pergi . Terkadang terasa begitu cepat, tetapi kadang terasa begitu lama. Cepat atau lambat bergulirnya sang waktu, tergantung perasaan hati, disposisi bathin seseorang tatkala sedang mengalami sesuatu peristiwa di dalam hidupnya.
Hari ini, 18 Januari 2023, 100 hari berlalu, telah kami lewati, setelah orang kekasih kami pergi sebegitu cepatnya. Tragedi maut 10 Oktober 2022, adalah kisah paling kelam dalam sejarah hidup kami. Kami kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidup kami. Sebuah kehilangan kekal yang hanya bisa dikenang sebagai mozaik kelam yang pernah “menghiasi” altar kehidupan kami.
Kenangan 100 hari kepergian mama/istri, kami hanya kenangkan dalam sunyi mendalam. Saya memutuskan untuk membuat sesuatu yang lain, melakukan sesuatu yang beda dari yang bukan lazimnya. Aku tidak mendesaign undangan khusus 100 hari kematian istriku. Aku juga tidak mengundang keluarga, sahabat kenalan dan handai taulan untuk merayakan kenangan 100 hari itu. Karena itu aku tidak memilih untuk menggelar Misa Kudus; tetapi aku memilih untuk menulis, menulis in memoriam tuam untuk kembaran hati, untuk belahan jiwaku yang nun jauh di sana. Tiada lagi olehmu langkahku akan selamanya dan selamanya.
Dalam sunyi ini aku menulis tulisan reflektif ini. Karena siapa sangka jejak digital kenangan dalam sunyi ini menjadi model pembelajaran iman secara berkelanjutan bagi siapa saja, – untuk sejak setelah membaca kenangan dalam sunyi ini -, dia harus sudah sadar bahwa hodie mihi cras tibi_ hari ini giliran saya, besok giliran Anda_.
Pukulan Tuhan Yang Telak Untukku
Saya kira, kami masih memiliki waktu lebih lama lagi; saya sangka, kami ada bersama hingga kakek-nenek. Maka dari itu, sepanjang tahun 2022, mulai dari bulan Maret hingga Oktober, belahan jiwaku harus pulang pergi Kupang-Larantuka untuk menghayati Firman Tuhan yang keempat: Hormatilah Ibu Bapamu. Ternyata pada perjalanan ke-10 di bulan ke-10, pada tanggal 10, belahan jiwaku mengakhiri pertandingan imannya dengan cara yang merobek sukma.
Ternyata, kiraku, sangkaku, sama sekali salah. Kisah tragis 10 Oktober 2022, di Larantuka, Kota Reinha, menjadi cerita akhir dari ziarah hidup orang kekasih kami. Tragedi yang merenggut nyawa istriku/mama seketika itu juga, membuat kami sungguh-sungguh mengalami kerkah bathin.
Di kala sedang terpuruk dalam kubangan duka mendalam, seorang temanku, yang terlebih dahulu mengalami kepergian istrinya, menganjurkan saya untuk membaca Kitab Ayub. Gumamku dalam hati, “Ayub itu jarang sekali saya jadikan sebagai refrensi kotbah kematian. Tetapi mengapa temanku justru menyarankan saya membacanya?”
Sejak hari itu saya membaca sambil merenungkan perikope demi perikope.
Tibalah saya pada Ayub 5:18 : karena Dia yang melukai, tetapi juga yang membebet; Dia yang memukuli, tetapi yang tangan-Nya menyembuhkan pula.
Sampai di sini aku berhenti. Apalagi setelah saya kaitkan dengan Ayub 5:17b:” Sebab itu, janganlah engkau menolak didikan Yang Mahakuasa”.
Pada ayat-ayat ini aku berhenti cukup lama untuk tidak melanjutkan pembacaan kisah Ayub. Saya bertanya, apakah tragedi kematian istri saya adalah cara Allah melukai aku? Kepergian istri tanpa meninggalkan pesan adalah cara Allah menampar Aku? Apakah kehilangan abadi sang istri adalah model Allah mendidik saya, karena itu saya tidak boleh menolak didikan Yang Mahakuasa karena berdampak pada kebahagiaan?
Mana mungkin saya bahagia sementara hati ini dipenuhi borok-borok luka yang sedang menganga? Apakah karena pengalaman traumatis ini, saya tidak boleh mengatakan:” Tuhan, Kau terlampau kejam menggambar tragis dalam kelana kembara hidup kami? Inikah cara-Mu Tuhan untuk melukis lurus di atas lekak-lekuk hidup kami? Bagiku saat sedang terpuruk begini, Kau adalah Yang Mahakuasa yang sedang berlaku tidak adil dalam kisah kasih hidup kami. Engkau merenda tenunan jejalanan hidup kami yang sedemikian rupa, karena hingga detik ini, aku masih nikmati betapa sakitnya tamparan-Mu Tuhan. Luar biasa pedih!! Perih!!
Di titik ini, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada-Mu Sang Mahakuasa: Allah Model Apa Engkau Ini? (Mohon sejuta maaf, Tuhanku).
IKHLAS: Model Bagaimana itu?
Tatkala kudigembleng dalam “Didikan Tuhan ” yang begitu dahsyat mengerihkan, banyak ungkapan belangsungkawa menghampiriku baik secara langsung maupun tidak langsung, yang datang dari mereka yang aku kenal tetapi juga begitu banyak yang tidak aku kenal. Kebanyakan ungkapan empathy diakhiri dengan kata magic ini: ikhlas/mengikhlaskan.
Di saat saya sedang berkubang dalam nestapa yang perih, bagiku kata itu tiada bermakna. Bahkan bagiku di saat luka hati itu masih meneteskan darah, kata itu adalah sebuah kebohongan. Karena, aku tak mampu menemukan sebuah situasi yang dapat menghantarkanku pada apa yang dinamakan ikhlas itu.Maka bagiku, saat itu, kata itu ibarat menabur garam di atas luka baru. Perihnya minta ampun!!
Karena saat itu, yang kualami adalah sakit hati mendalam; karena saat itu, yang kualami adalah stress; karena saat itu, yang kualami adalah nestapa tiada taranya; karena saat itu, yang kualami adalah bilur-bilur penyesalan tiada duanya; karena saat itu, yang kualami adalah luka mengiris sukma;
Kondisi hati seperti itu membuat saya dengan begitu mudah menemukan bahwa ikhlas itu bohong, karena ada sakit yang tidak bisa dijelaskan dengan airmata, dan ada kecewa yang tidak bisa diucapkan dengan kata. Bahwa ikhlas itu bohong karena yang ada itu rapuh, yang ada itu kecewa dan sakit hati. Bahwa ikhlas itu bohong, karena yang ada itu terpaksa lalu terbiasa.
Mau tidak mau kami terpaksa menjalani sisa-sisa hari tanpa orang yang sangat kami kasihi. Lalu, perlahan-lahan kami menjadi biasa berjalan dalam kesendirian di dalam rumah yang penuh cinta ini;
kemudian, pada akhirnya kami terbiasa dalam kekosongan tanpa adanya kekasih hati. Tidak ada lagi olehnya langkahku akan selamanya dan selamanya. Dalam ketiadaan nan abadi itulah kami harus perlahan tapi pasti terbiasa. Kami mulai harus terbiasa dengan prinsip: lebih baik mencintai dan kehilangan daripada tidak mencintai. Karena itu, kami mengucapkan limpah terimakasih kepada Sang Sumber Kehidupan, sekalipun kebersamaan kami masih seusia jagung, tetapi Tuhan telahberkenan mempertemukan dan mempersatukan kami di dalam cinta yang tiada bertepi. Sampai di sinilah, akhirnya saya menjadi sadar sendiri bahwa ikhlas/mengikhlaskan itu membutuhkan proses lama. Ia butuh waktu panjang, karena kami sedang berada pada situasi dialektika hati yang kalut, antara kerkah bathin dan sikap bathin.
Waktu itu akan tiba, sebagaimana pengalaman Ayub 42:12a:” Tuhan memberkati Ayub dalam hidupnya yang selanjutnya lebih dari pada dalam hidupnya yang dahulu.” ***